Metanoia

24 7 2
                                    

Metanoia

Oleh: Nakuyaa

[ PROJECT RAMADHAN BPC ]

Alarm di atas meja sebelah ranjangku berdering, membuatku mengerang dalam setengah kesadaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alarm di atas meja sebelah ranjangku berdering, membuatku mengerang dalam setengah kesadaran. Dengan mata berat dan sempoyongan aku menggapai benda kecil itu lalu menekan salah satu tombolnya agar berhenti.

Lantas aku bangkit dari posisi terbaring untuk duduk, sayup-sayup suara desingan mesin pendingin ruangan beradu kontras dengan detik jam yang terus berjalan melewati angka tiga dini hari. Di luar jelas masih gelap, penduduk bumi bagian ini sudah pasti setia terlelap.

Setelah puas mengusak kedua kelopak mata, selanjutnya aku mengeratkan seluruh otot tubuh dan beralih menatap remang kamar penginapan. Aku harus memasak untuk sahur.

Jadilah aku bangkit, mengeratkan tubuh sekali lagi, menelusupkan sepasang kakiku pada sandal beludru yang ku dapat dari privilage saat awal aku memesan kamar ini untuk beberapa hari kedepan. Kamar mandi menjadi hal pertama yang aku datangi.

Menit kembali berlalu dan kini aku disibukkan oleh beberapa bahan dapur yang akan terolah menjadi santapan sahur aku dan kakak. Beberapa lembar daging sapi tersampir rapi di atas panggangan.

Desisannya sungguh membuatku merasa tidak sepi. Mungkin karena itu juga –terlepas dari aroma bumbu yang sudah menguar sampai ke kamar kakak- lelaki berbalut piyama biru tua itu muncul dari balik bilik sana, terundang dengan desis dan aroma lezat daging barbeque.

"Cuci muka dulu, kak." ucapku.

Kak Fal bergumam dengan bariton beratnya, mata bengkaknya mengerjap perlahan. Aku terkekeh seraya membalik lembar daging. Dia memang kakakku, tapi kalau soal masak dan bangun pagi, dia lebih pantas disebut bayi besar ayah dan bunda.

Kak Fal memutar tubuhnya guna mencapai kamar mandi, detik setelahnya bisa ku dengar percikan air bergemerisik. Dari sana juga aku termenung akan satu hal, di Korea selatan kali ini musim gugur, bertepatan dengan tanggalan hijriyah yang jatuh pada bulan Ramadhan.

Oh, ya. Aku cerewet sekali, haha. Untuk mempersingkat, panggil saja Fia, ya?

Karena itu aku bangun lebih pagi dan mempersiapkan makanan khas negeri gingseng yang masih cocok dengan lidah Indonesiaku untuk sahur.

Kakakku itu sudah berjalan kembali mendekati meja makan dengan handuk kecil yang digunakan untuk mengusap wajah basahnya. Oke, kini rupa tampannya sudah lebih baik ketimbang bengkak seperti tadi. "Coba Fi mau tebak. Pasti kakak cium bau barbeque, kan? Makanya bangun sebelum Fia panggil?" aku melepar pandangan mengitimidasi padanya –berpura-pura.

Lantas kak Fal mencebik, "Ngga, tuh."

Dengan senang hati aku balik mencibirnya, "Yee, ngga usah bohong," ledekku.

Kolang KalingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang