Bunda cepet bangun, ya. Denis kangen dibuatin sarapan sama bunda, kangen dijemput sekolah sama bunda.
Grafik mesin EKG yang terhubung dengan alat yang terpasang di tubuhku menampilkan grafik yang sama. Belum ada tanda-tanda kondisiku mulai membaik.
Sudah setahun lebih aku terbaring lemah di ranjang rumah sakit pasca kecelakaan mobil. Kondisiku saat dibawa ke rumah sakit memang sudah sangat parah. Beberapa tulang rusukku patah karena benturan keras dan terjepit badan mobil sementara yang paling fatal adalah sebagian tulang tengkorakku retak dan mengenai bagian otak yang khusus mengendalikan kesadaran. Alhasil setelah beberapa kali operasi dan perawatan intensif, jadilah aku sekarang. Tertidur dengan bantuan alat medis. Bahkan untukku bernafas saja harus dipasangkan selang yang langsung dimasukkan melalui tenggorokan.
Sementara keluargaku sendiri, aku meninggalkan suami dan anak laki-lakiku yang masih berusia 5 tahun-Denis Dirgantara. Kupikir keluargaku akan baik-baik saja. Namun, tanpa kuketahui ternyata suamiku sendiri memanfaatkan momen ini untuk selingkuh. Tetapi perselingkuhan itu akhirnya diketahui oleh anakku sendiri yang kala itu Mas Harun membawa pulang wanita lain ke rumah.
Denis memang masih balita tapi pikiran dan sikapnya sudah terbilang dewasa. Buktinya sekarang anakku bolos sekolah dan memilih datang ke rumah sakit sekedar menjengukku. Awalnya suster dan para dokter berpikir negatif pada orang tuanya karena membiarkan anak kecil seperti Denis datang sendirian kemari. Tapi Denis punya sejuta akal dan bilang kalau ia kemari dengan ayahnya.
Setelah itu Denis meminta ditunjukkan ruangan tempatku dirawat pada suster jaga. Mungkin karena Denis anak kecil, akhirnya suster itu mengantar sampai ke depan ruang inap kelas satu.
"Makasih suster baik, udah anter Denis ke kamar bunda."
Suster itu tersenyum padanya lalu pergi kembali.
Selepas suster tadi pergi, Denis menaruh tas ranselnya di sofa lalu dengan susah payah mendorong kursi yang ada di samping ranjang bundanya agar bisa mendekat. Lalu Denis segera naik dan duduk di sampingku yang masih terbujur lemah. Denis memegang tanganku yang dingin.
"Assalammualaikum, Denis dateng lagi. Bunda jangan marah, ya, kalo Denis bolos. Denis ke sini cuma mau ketemu Bunda," ucapnya lalu mencium pipiku. Kemudian ia bercerita panjang lebar padaku. Mengenai sekolahnya, teman-temannya. Seperti kebiasaanku dulu pada Denis.
Denis memandangiku sambil mengelus lembut puncak kepalaku. Sesekali ia juga memelukku erat, menyalurkan kerinduannya. Meski tidak lama.
"Bunda ... udah dulu, ya, Denis mau berangkat sekolah. Nanti bu guru hukum Denis lagi. Denis janji besok dateng lagi ke sini. Denis sayang bunda. Assalammualaikum," ucapnya polos, mencium pipiku lagi. Derap langkah kaki mungilnya menjauhi ruangan lalu menghilang bersamaan dengan lalu-lalang petugas medis.
Dibalik Senyum Denis
Mas Harun menerima telepon dari TK-nya Denis bilang katanya Denis belum juga sampai sekolah. Padahal Mas Harun yakin kalo Bik Asih tadi sudah mengantar Denis ke sekolah.
"Baik, Bu. Nanti saya tanyakan sama asisten saya yang nganter Denis. Terima kasih infonya," ujar Mas Harun menutup teleponnya. Ponselnya ia banting ke meja. Kesal melihat tingkah anaknya yang bandel dan selalu bolos sekolah. Ia juga lelah harus menerima keluhan dari wali kelasnya Denis.
Tanpa pikir panjang, Mas Harun meminta sekretarisnya untuk menunda semua jadwal meeting-nya pagi ini hanya karena Mas Harun harus mencari anaknya, Denis.
"Dasar anak nakal! Bisanya ngerepotin aja!" gerutunya.
Meninggalkan aktivitas kantornya, Mas Harun bergegas buru-buru mencari Denis dan menelepon Bik Asih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Senyum Denis [END]
General Fiction[Terinspirasi dari kisah nyata yang author alami]. Cerita sudah didramatisir dari kejadian aslinya. 'Kalo Denis nanti nggak bisa peluk ayah bunda lagi, apa Denis masih jadi anak nakal?' Kalimat itulah yang diucapkannya pada semua orang. Mereka pikir...