Dari pintu ruangan juga terdengar seseorang ingin masuk juga.
Derap langkah yang terdengar begitu padu dari sepatu pantofel sekarang terhenti tepat di depan pintu. Sedetik kemudian sosok itu membuka pintu dan ... seorang pria berjas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya datang bersama dua perawat wanita. Mereka tersenyum pada Denis.
“Selamat pagi.”
“Pagi juga, Pak Dokter. Bunda Denis mau diperiksa lagi, ya?”
Dokter pria itu tersenyum. “Iya, adek. Pak Dokter mau periksa bundanya dulu, boleh?”
“Boleh, Pak dokter. Denis juga mau lihat bunda diperiksa.”
Dokter pria itu mengajak Denis ke ranjang bundanya. Denis juga melihat dari dekat bagaimana dokter dan dua suster merawat bundanya dengan sangat baik. Sampai sang dokter hendak memeriksa bundanya dengan membuka kancing depan dan menempelkan stetoskop di tubuhku membuatnya heran dan sempat mencegah dokternya.
“Pak dokter, bunda Denis bilang, 'kan, nggak boleh selain ayah buka baju bunda. Bu guru TK Denis juga bilang gitu sama Denis. Kalo mau periksa bunda jangan dibuka bajunya bunda. Kasihan bunda Denis nanti kedinginan.”
Dokter dan dua perawatnya menatap lekat Denis. Sesaat kemudian tawa mereka mengiringi setelah Denis melontarkan kalimat itu.
“Kok pak dokter sama tante suster ketawain Denis? Denis salah, ya?”
Seorang suster bertubuh jangkung menghampiri Denis usai mengecek kantung infusku. Berjongkok mensejajarkan dirinya dengan tinggi tubuh Denis.
“Tapi suster sama pak dokter cuma mau periksa bunda aja. Ade mau bundanya sembuh kan?” jelasnya perlahan.
Denis mengangguk mantap. “Mau. Yaudah, tante suster sama pak dokternya boleh periksa bunda tapi abis itu bajunya bunda dikancing lagi, ya.”
Mereka hanya tersenyum kilas lalu kembali pada pekerjaannya masing-masing.
Tidak lama kemudian aku sudah selesai diperiksa. Sesuai janjinya, kemeja yang tadi bagian atasnya terbuka, dikancing kembali oleh salah seorang suster melihat Denis yang terus mengawasinya.
“Makasih pak dokter,” ucap Denis.
“Sama-sama anak pinter. Pak dokter pergi dulu, ya.”
“Iya.”
Berselang beberapa detik setelah dokter kekuar dari ruanganku, giliran Mas Harun yang datang. Denis yang duduk membelakangi pintu tidak mengira jika ayahnya datang kemari.
Di sela Denis yang sedang mengurusku, Mas Harun masuk dengan emosi yang memuncak. Denis yang melihat kedatangan ayahnya langsung berhenti dengan aktivitasnya. Tidak berani menatap ayahnya yang sangat marah. Tanpa disuruh, Denis sudah tahu. Ia langsung memasukkan handuk dan pakaiannya yang tadi berniat mandi di sini lalu beranjak ke ranjangku untuk berpamitan pulang.
“Bunda, Ayah udah jemput Denis di sini. Denks pulang dulu, ya. Bunda cepet sembuh. Assalammualaikum. Da—”
Mas Harun menarik Denis keluar.
Dibalik Senyum Denis
Di dalam mobil Mas Harun memarahi Denis habis-habisan. Tidak terkecuali sentuhan fisik yang biasa Denis terima. Tapi kali ini lebih dari biasanya. Selain dicubit, dipukul, tetapi Mas Harun tanpa ada nurani dan rasa kasihan pada anak sekecil Denis sangat berani membenturkan kepala Denis ke kaca mobil hingga terdengar samar suara Denis menangis yang tertahan.
“Mau kamu apa sih? Nggak nurut sama ayah? Siapa yang ngajarin kamu kabur begitu? Siapa? Jawab ayah, Denis!!”
Buk. Buk. Mas Harun tetap memperlakukan anaknya seperti binatang. Bahkan sampai kepala Denis berdarah pun, Mas Harun tidak sekalipun membiarkan Denis berkilah lagi dengan alasan yang sudah biasa ia dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Senyum Denis [END]
Ficción General[Terinspirasi dari kisah nyata yang author alami]. Cerita sudah didramatisir dari kejadian aslinya. 'Kalo Denis nanti nggak bisa peluk ayah bunda lagi, apa Denis masih jadi anak nakal?' Kalimat itulah yang diucapkannya pada semua orang. Mereka pikir...