LIMA (Revisi) ✔️

702 85 0
                                    

Ayo sini sayang. Jangan lari-lari.

Terlihat wanita berpakaian serba putih dengan mahkota daun tengah bermain bersama anak-anak lain seusia Denis. Tidak jauh dari posisi wanita itu, Denis berdiri menatap mereka. Denis tersenyum lebar saat tahu wanita itu adalah bundanya.

Bunda!” teriak Denis.

Wanita itu dan beberapa anak lainnya menoleh dan berhenti bermain. Denis berlari mendekati mereka. Tetapi wanita itu hanya tersenyum.

Bunda, Denis kangen.

Denis berurai mata seketika. Menangis. Namun seketika cahaya putih menyilaukan datang. Semuanya menghilang dalam sekejap.

“Bunda! Bunda! Bunda!” racau Denis lagi. Suaranya yang nyaring hampir membuat tiga pasien anak terbangun di tengah malam begini.

Bik Asih yang tertidur tadi langsung terbangun karena teriakan Denis. Ia melihat jam dinding yang menunjuk di angka dua.

Sedangkan Denis meracau dalam kondisi tertidur. Apalagi Bik Asih juga melihat wajah mungilnya basah. Ekor matanya juga nampak bekas buliran air mata.

Beruntung tak lama kemudian, dua dokter dan empat suster datang untuk mengecek kondisi anak-anak ini. Tetapi mereka semua kini teralihkan pada Denis yang masih meraung-raung memanggil nama bundanya.

“Dokter, pasien anak ini sepertinya butuh penanganan segera.”

Salah satu dokter menghampiri ranjang Denis. Sementara orang tua pasien yang lain memberikan pengertiannya. Mendahulukan Denis lebih utama.

Dokter dan satu suster memeriksa Denis. Mengecek infusnya.

“Suster, suntik obat penenang saja. Dosis rendah untuk pasien.”

“Baik, dokter.”

Beberapa detik setelah obat penenang disuntikkan, Denis yang tadinya meraung-raung perlahan mulai tertidur lagi tepat setelah tiga anak lainnya selesai diperiksa. Ruangan ini kembali hening bersamaan dengan dinginnya malam.

Dibalik Senyum Denis

Singkat cerita, enam hari dirawat sekarang Denis sudah pulih. Apalagi pagi ini ayahnya datang untuk pertama kali. Meskipun sangat terlambat saat Denis sudah boleh dinyatakan pulang oleh dokter sekarang.

“Ayah!” pekiknya girang. Melompat-lompat di ranjangnya, menunggu kedatangan.

“Kamu udah sembuh?” ujar Mas Harun datar kemudian tanpa sadar ia melepas kedua tangan mungil Denis dari lehernya.

“Udah. Kok kemarin Ayah nggak ke sini?”

“Ayah kerja. Ya udah sekarang 'kan ayah jemput kamu.”

Denis mengangguk. Lalu turun dari ranjangnya sendiri dibantu Bik Asih. Sementara Bik Asih membawa tas Dino besar berisi pakaian kotor Denis.
.
.
.
Mas Harun tahu jika rumah sakit ini tempat istrinya, Maya, masih dirawat. Makanya sepanjang ia berjalan dari bangsalnya Denis ke tempat parkir, ia sengaja akrab dan terus mengajaknya mengobrol supaya perhatiannya teralihkan dari bundanya.

Sayangnya perlakuan lembut sesaatnya Mas Harun pada Denis berubah dingin kembali.

“Turun! Masuk, kamu duduk di belakang sama bibi.”

“Tapi Denis mau duduk di depan sama ayah.”

Kaca mobil terbuka. Ternyata kursi depan sudah terisi oleh Retno.

“Ayah, tante ini yang waktu itu ke rumah Denis, kan? Yeay, tante ikut jemput Denis. Tapi tante kok nggak ikut ayah ke kamar Denis? Bibi kasihan tahu bawa tas baju Denis, berat.”

Dibalik Senyum Denis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang