Maya siuman?
Apa aku harus bahagia dengan kabar ini setelah penantian satu setengah tahun pada Maya?
Nggak! Itu dulu. Sekarang aku ....
“Halo? Pak Harun?”
“Lalu gimana kondisinya sekarang?” ulang Harun.
“Kondisinya masih belum stabil. Bu Maya juga belum merespon sepenuhnya reaksi dari luar, tapi setidaknya Bu Maya masih bisa merespon walaupun hanya dengan mengedipkan mata.”
“Oh gitu. Baik dokter, terima kasih. Saya segera ke sana nanti.”
Tut. Mas Harun membuang napasnya kasar. Memutar bola matanya malas. Sudah bisa diterka jika Mas Harun tidak senang mendengar kalau aku kembali sadar.
“Pak, ibu udah sadar?”
“Hm.”
“Alhamdulillah. Allah Maha Baik, Pak. Masih kasih kesempatan buat Bu Maya kembali sama bapak dan Denis.”
Retno yang duduk di samping Mas Harun menengok ke belakang, menatap Bik Asih sinis.
Dasar wanita tua, kamu mau mancing saya bilang begitu?
Bik Asih menatap Denis yang tertidur di pangkuannya. Mengelus lembut puncak kepalanya penuh sayang. Raut penuh kerinduan dan kesedihan mendalam yang terpancar di balik wajah mungilnya.
.
.
.
“Ayah hati-hati di jalan, ya. Dadah ...,” kata bocah laki-laki ini melambaikan tangan.Selepas mengantar pulang Denis dan Bik Asih ke rumah, Mas Harun langsung pergi lagi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika aku sudah sadar dari koma panjangku.
“Yuk, kita masuk. Adek mau ikutan bikin puding nggak?” tawar Bik Asih sambil mencubit pipi gembul anak ini.
“Mau! Mau! Yang coklat, ya? Denis sama ayah suka rasa coklat,” jawabnya antusias. Bahkan sampai melompat-lompat.
Tetapi sesaat kemudian perhatiannya teralih saat mendengar ada suara kucing mengeong dari halaman rumahnya. Denis menoleh dan melihat seekor anak kucing lucu berbadan gemuk dan berbulu putih tengah menatapnya. Karena di mata Denis hewan berbulu itu sangat lucu, ia langsung menghambur ke halaman dan mengejarnya. Sesekali tawanya terdengar Bik Asih yang sudah lebih dulu ada di dalam rumah.
“Huahaha ... kucing, jangan lari. Denis nggak nakal. Huahaha ...”
“Miaoww!”
Tak lama terdengar suara benturan keras. Menyusul suara Denis yang mengaduh dan menjerit. “Aduh! Bibi! Bibi! Kucingnya nakaaal! Kucing, tuh liat lutut Denis berdarah 'kan? Sakit, Bibiii! Huaaa ...”
Bik Asih yang saat itu hendak menaruh pakaian Denis di mesin cuci, bergegas keluar dan mendapati Denis yang sudah jatuh tengkurap sambil menangis. Selain kepalanya benjol, lututnya juga berdarah, tergores batu penyangga. Sedangkan kucing berbulu putih tadi terdiam dekat lampu taman sambil terus mengeong melihat Denis yang menangis.
“Sakit. Huhu ... Hiks, hiks, huaaa ... lutut Denis sakit! Kucing nakal! Nakaaal!”
Bik Asih langsung menggendong Denis. Membersihkan kausnya yang kotor lalu mencuci kaki Denis di kran air dekat garasi mobil sambil mengajaknya berbicara supaya Denis melupakan tangisannya yang menjerit. Lalu menyuruh Denis duduk diam di teras sembari menunggu Bik Asih mengambil kotak P3K.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Senyum Denis [END]
General Fiction[Terinspirasi dari kisah nyata yang author alami]. Cerita sudah didramatisir dari kejadian aslinya. 'Kalo Denis nanti nggak bisa peluk ayah bunda lagi, apa Denis masih jadi anak nakal?' Kalimat itulah yang diucapkannya pada semua orang. Mereka pikir...