"Ayo turun!" titah Harun pada Denis.
Sementara Bik Asih sudah menunggu di teras. Majikannya ternyata sudah menemukan anaknya yang tadi sempat dikabarkan kabur dari sekolah. Denis langsung menghambur kepada asisten rumah tangganya dan memeluk erat karena takut melihat sang ayah yang masih marah.
"Ya allah, Dek. Adek abis dari mana?" tanya Bik Asih khawatir. Sementara Denis membenamkan wajahnya di pinggang wanita paruh baya ini.
"Jaga Denis yang bener, Bik. Jangan kasih izin keluar apa pun alesannya dan terus awasin Denis."
"I-iya, Pak."
"Jaga Denis yang bener. Saya nggak mau terima lagi ada laporan Denis kabur dari rumah."
Setelah memberi wejangan pada sang asisten rumah tangga, kemudian Harun berjalan meninggalkan Denis dan Bik Asih yang menunggunya di teras rumah. Diam-diam Denis mencuat setelah mobil sang ayah pergi. Melambaikan tangannya sambil berkata, "Dadah ayah! Ayah hati-hati dijalan, ya. Denis sayang ayah."
Usai mobil Harun pergi, Bik Asih dan Denis masuk ke dalam. Mengganti seragam Denis dengan pakaian biasa. Anehnya, saat Bik Asih mengganti pakaian Denis, ia melihat memar kebiruan di paha kanan, lengan kanan dan benjolan di kepala anak ini. Bik Asih yakin jika majikannya pasti melakukan kekerasan lagi pada Denis. Jujur saja, selama setahun belakangan Bik Asih memang merasa kasihan pada Denis yang selalu mendapat perlakuan kasar oleh Harun sepeninggal Maya di rumah sakit.
"Bibi pelan-pelan, ya. Kepala Denis sakit, tadi Denis kejedut mobil ayah."
"Iya, Dek. Habis ini dede mau makan apa mau belajar dulu?"
"Denis mau belajar dulu. Denis tadi bolos jadi Denis nggak belajar. Nanti kalo Denis nggak belajar, Denis nggak pinter. Ayah nanti marah," katanya.
Bik Asih tersenyum. Menahan rasa iba dan air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Bersikap biasa saja seolah ia tidak tahu apa-apa. Padahal dalam hatinya ia tidak sanggup melihat anak sekecil Denis terus menerus diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. Apalagi ucapannya barusan yang mengatakan seolah Denis baik-baik saja dan membela sikap ayahnya yang jelas-jelas sudah di luar batas.
"Siap. Dede belajarnya di bawah aja, ya, biar bibi bisa liatin dede."
Selanjutnya, Bi Asih menggendong Denis ke ruang tengah seperti permintaan Denis tadi.
Dibalik Senyum Denis
Sambil beres-beres, sesekali Bik Asih juga memperhatikan Denis yang tenang dan tidak rewel. Bik Asih sudah paham kesukaan Denis jika sedang luang. Hanya diberikan buku gambar dan krayon saja sudah cukup bagi anak 5 tahun itu karena memang hobinya adalah menggambar.
Sambil bersenandung menyanyikan lagu anak-anak, Denis masih tetap pada kegiatannya. Menggambar. Bahkan ia juga betah sampai berjam-jam hanya berkutat dengan sketsa-sketsa yang dibilang gambar sederhana khas anak TK.
"Ini ayah, di tengah Denis, samping Denis bunda. Terus Bibi di mana, ya? Denis bingung," gumamnya pelan.
Bik Asih yang baru selesai memasak dan beres-beres langsung bergabung dengan Denis diruang tengah. Anggap saja istirahat sebentar.
"Kenapa?"
"Denis lagi gambar tapi Denis bingung mau gambar bibi di mana. Di sebelah ayah apa di sebelah bunda?" tanyanya polos. Sementara Bik Asih terharu melihat gambar sebuah keluarga yang diidamkan Denis. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda.
"Kok bibi ikut?"
Denis mendongak. Melihat wajah asisten rumah tangganya sepersekiam detik. Kemudian tersenyum dan mengatakan hal yang membuat wanita paruh baya ini hampir tak kuasa menahan buliran bening jatuh bebas. "Bibi 'kan juga bundanya Denis. Kaya sekarang, bunda masih bobo di rumah sakit, 'kan bibi yang urus Denis. Ayah kerja cari uang buat Denis sekolah sama bayar obatnya bunda."
Lagi dan lagi Bik Asih tersentuh hatinya. Haru melihat masih ada anak seperti Denis yang berhati malaikat. Padahal siapa pun tahu kalau anak ini sebenarnya pasti mengalami trauma akibat perlakuan yang tidak wajar.
Dibalik Senyum Denis
"Pak Harun, jadwal sudah saya re-schedule. Nanti siang sekitar pukul 11 klien dari Jogja datang untuk rapat yang tadi pagi ketunda," lapor sang sekretaris.
"Oke," balasnya datar.
Harun berjalan dengan langkah yang sedikit menghentak. Para karyawannya dibuat takut dengan sikapnya hari ini. Mereka tahu jika sikap.atasannya sedang tidak bersahabat, berarti sedang ada masalah entah dengan para kliennya atau masalah pribadi.
Brak!
Pintu ruangannya dibanting keras. Seseorang yang sudah menunggu di dalamnya tersentak kaget.
"Harun! Ah ya ampun! Kaget tahu."
"Retno? Ngapain ke sini? Mending kamu pergi sekarang, aku lagi nggak mood," usir Harun pada Retno.
Catatan. Retno, adalah selingkuhan Harun. Apalagi usianya masih muda sekitar 25 tahunan. Jauh lebih muda 8 tahun dari usia Harun sekarang yang sudah 33 tahun.
Wanita itu masih diam bahkan saat Harun sudah siap untuk menendangnya keluar dari ruang kerjanya.
Bagi Retno, ini adalah kesempatan bagus untuk meredam amarah Harun. Mengandalkan tubuhnya dan gerakan-gerakan sensualnya, Retno mendekati Harun kembali yang masih kalut dalam pikirannya.
"Kamu kenapa lagi? Klien kamu batalin kerja sama?"
Harun menggeleng, "Denis."
"Emang anak itu ngapain lagi?"
"Bolos sekolah."
"Lagian kenapa kamu nggak ambil tindakan tegas aja sih, Mas? Misal kurung dia atau gimana gitu."
"Maksud kamu?"
"Kasih dia pelajaran. Sekali bikin kesalahan tetap harus dihukum, 'kan?" Retno, wanita yang juga dikenal berlidah panjang terus saja meyakinkan dan memprovokasi Harun dengan segala macam kalimat provokatifnya.
Harun sempat menimbang. Ada benarnya juga, tapi, di sisi lain Harun juga tidak tega melakukannya karena Denis juga anak kandungnya, darah dagingnya.
"Tapi Denis juga anakku, No. Lagipula dia masih kecil. Tadi kubentak aja dia langsung nurut. Kayanya nggak perlu sampe hukuman yang aneh-aneh. Daripada kamu provokasi aku yang nggak-nggak, mending kamu keluar. Kepalaku sakit. Aku mau istirahat dulu sebelum rapat. Udah sana!"
Diusir. Retno diusir. Itu pantas. Sesekali kamu harus begitu. Dengan langkah yang lunglai dan ekspresi cemberut, Retno keluar.
Dibalik Senyum Denis
KAMU SEDANG MEMBACA
Dibalik Senyum Denis [END]
Aktuelle Literatur[Terinspirasi dari kisah nyata yang author alami]. Cerita sudah didramatisir dari kejadian aslinya. 'Kalo Denis nanti nggak bisa peluk ayah bunda lagi, apa Denis masih jadi anak nakal?' Kalimat itulah yang diucapkannya pada semua orang. Mereka pikir...