Lost

21.7K 762 4
                                    

Gue melihat wajah lemah istri gue yang terbaring di ranjang rumah sakit. Sudah 3 hari Diandra tak sadarkan diri. Polisi menemukannya saat ia sedang dicekik oleh Renata. Terlambat beberapa waktu saja Diandra takkan selamat.

Lengannya penuh dengan luka sayatan. Mukanya biru lebam akibat tamparan serta pukulan. Gue adalah orang yang patut disalahkan atas kejadian ini. Kalau saja gue nggak mengenal Renata. Kalau saja di masa lalu gue adalah laki-laki baik-baik mungkin takkan terjadi hal seperti ini.

Keajaiban pun datang. Diandra membuka matanya. Ia memandang sekeliling lalu ia meraba perut datarnya. Bayi kami telah pergi dan sepertinya ia menyadarinya. Lalu ia menatap gue dengan pandangan dingin. Ya, gue yang salah Di. Maafin suami bodohmu ini. Tetapi, kata-kata itu tak kunjung keluar dari mulut gue.

Gue menatap lembut ke arahnya mengelus pelan puncak kepalanya. Ia memalingkan muka dari gue. Tak lama kemudian dokter datang memeriksa keadaannya. Dokter memanggil gue ke ruangannya untuk berdiskusi.

Dokter itu memandang prihatin ke arah gue. Lalu ia mulai berbicara. "Istri bapak mungkin akan pulih dalam waktu 1 minggu." Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Tetapi, ada yang tak bisa disembuhkan dalam waktu hitungan bulan dan tahun. Kejadian yang telah dialaminya mungkin akan menyebabkan trauma. Jiwanya terguncang, apalagi ia telah kehilangan bayinya. Apa Bapak telah meberitahukan istri Bapak bahwa ia mengalami keguguran?"

"Belum dok." jawab gue lemah.

"Segera beritahu istri bapak dengan bahasa yang halus. Dan beritahu saya apa reaksinya." gue mengangguk pelan. Lalu berjalan keluar ruangan dokter tersebut menuju ruangan rawat Diandra.

Gue mendekatinya perlahan. Mengelus rambutnya pelan. "Di, kamu lapar?" tanyaku lembut. Ia diam membisu. "Di, ada yang ingin aku sampaikan."

Ia menatapku dengan ekspresi yang sama seperti tadi. Dingin.

"Anak kita udah nggak ada Di. Dia udah di surga." kataku lirih.

Ia menatap gue marah. Membanting apa saja yang ada di dekatnya. Diandra mengamuk sampai dokter dan suster datang untuk menenangkannya dengan obat bius. Diandraku jiwanya terguncang.

Gue bukan hanya kehilangan anak gue tetapi juga istri gue. Jiwanya telah mati terkubur bersama anak kami. Selama masa pemulihan 1 minggu Diandra telah mengamuk 4 kali. Dokter menyarakan gue untuk membawa Diandra ke rumah sakit jiwa untuk diobati. Tetapi, mama tak setuju melihat menantu kesayangannya masuk rumah sakit jiwa.

Hingga akhirnya Tiffany menyarankan gue untuk membawa Diandra ke temannya yang merupakan dokter kejiwaan. Ia baru saja menyelesaikan studinya di USA. Umurnya hampir sama dengan Diandra. Dia adalah teman sekolah Diandra saat SMA. Namanya Kelvin Abraham.

Hari ini adalah jadwal Diandra untuk bertemu dengan Dokter Kelvin. Saat gue memasuki ruangan membawa Diandra yang bagaikan mayat hidup. Pucat pasi tak bersuara. Kelvin menyambut gue dan Diandra dengan jabatan tangan.

"Di, elo masih ingat gue? Gue Kelvin teman SMA lo dulu." tanya dokter itu lembut.

"Kelvin..." untuk pertama kalinya Diandra bersuara sejak ia tersadar dari komanya di rumah sakit.

"Apa kabar Diandra. Elo makin kurus aja. Lagi diet ya?" Diandra membalas jawaban dokter tersebut dengan senyuman.

"Saya akan mendiagnosa Diandra dengan beberapa pertanyaan. Maaf kamu suami Diandra?"

"Iya, saya suaminya. Perkenalkan nama saya Aldo." gue mengulurkan tangan padanya.

"Pasti kamu sudah tahu nama saya dari Tiffany. Saya Kelvin." katanya menjabat tanganku. "Baiklah Aldo. Saya akan memeriksa Diandra kamu bisa tunggu di luar."

Bad Boy to be Good ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang