Aldo POV
Pagi ini aku terbangun oleh teriakan Diandra. Dia pasti mengamuk lagi. Aku bergegas ke kamarnya. Melihatnya sedang ditenangkan oleh suster Sarah dan Bu Rita. Ya, nama ibu tua itu adalah Rita. Saat ini tugasnya adalah menjaga dan menemani Diandra. Apalagi aku harus bolak-balik Bogor - Jakarta.
"Diandra kenapa Bu?"
"Nyonya Diandra membanting pigura yang berisi foto pernikahan Tuan dan Nyonya Diandra."
"Siapa yang memajangnya disini?"
"Maaf Tuan. Saya yang memajangnya tadi malam."
"Sudahlah Bu, tak usah minta maaf. Tolong panggilin Bi Sari ya Bu. Suruh beresin pecahan kacanya. Saya takut keinjak Diandra."
"Baik Tuan."
Aku memandang Diandra yang terlelap karena pengaruh obat penenang dari sudut kamarnya. Aku tak berani mendekati ranjangnya. Takut jika aku mengganggu tidurnya. Kelvin datang memeriksa Diandra. Sudah tiga bulan kami pindah ke villa ini kondisi Diandra belum juga stabil. Dia masih sering mengamuk hanya karena persoalan kecil.
"Elo nggak ke kantor Al?" tanya Kelvin sambil duduk di sebelahku.
"Enggak, percuma ngantor kalau pikiran gue masih disini."
"Mungkin gue akan bawa dia ke ruang terapi nanti. Gue mau tahu kenapa Diandra menghancurkan pigura foto pernikahan kalian." salah satu kamar di villa ini telah disulap menjadi ruang terapi untuk Diandra.
"Ya silahkan." kataku lirih. Kelvin sering mangajak Diandra ke ruang terapi untuk di analisa dan diterapi. Diandra hanya akrab pada Kelvin dan Bu Rita. Hal itu kadang membuatku cemburu melihat Diandra hanya tersenyum jika bersama laki-laki itu. Padaku Diandra bahkan tak mau berbicara. Hanya bahasa non verbal berupa anggukan dan gelengan.
"Jangan putus asa Al. Semangat, gue yakin Diandra pasti sembuh." katanya menyemangatiku.
"Gue cuma rindu Diandra, vin. Sampai kapan pun gue pasti bakal setia nungguin dia sembuh." Ya, sampai kapanpun aku takkan pernah meninggalkan dia.
"Bye the way elo teman kakaknya Viviane kan?" tanya Kelvin tiba-tiba.
"Iya, elo kenal sama Davin?"
"Ya kenal lah dia kan tetangga gue dulu. Sekarang sih orangtua gue udah pindah ke Bandung. Gimana kabar Viviane?"
"Elo nggak tahu kabar tentang Viviane?" tanyaku hati-hati.
"Emang Viviane kenapa? Gue emang nggak tau apa-apa lagi tentang Viviane kan gue tamat SMP langsung pindah ke Bandung. Makanya gue jadi kenal sama Diandra dan Tiffany."
"Vin, Viviane udah lama meninggal."
"Apa? Kok bisa?" tanya nya terkejut.
"Itulah yang namanya Takdir. Kalau gue pikir sih kadang Tuhan nggak adil ngasih umur yang pendek buat dia. Viviane itu cantik, pintar, baik pula. Seharusnya orang yang kaya dia umurnya panjang."
"Gue juga nggak nyangka orang sebaik dan secantik Diandra bisa ngalami kejadian buruk seperti sekarang. Dia kayak bukan Diandra yang gue kenal."
"Itulah tugas lo sebagai dokter buat nyembuhin Diandra." kataku sambil menepuk bahunya. Ia tersenyum padaku.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kamar Diandra. Aku butuh udara segar dan asupan nikotin. Merokok memang bukanlah gayaku. Aku sudah lama berhenti merokok sejak aku lulus SMA tetapi, rokok selalu menjadi pelarianku di saat aku banyak masalah dan pikiran seperti saat ini.
Aku benar-benar merindukan Diandraku. Aku hancur melihatnya seperti ini. "Tuan mau kopi?" kedatangan Bu Rita mengejutkanku.
"Ah, Ibu ngagetin saya aja. Boleh deh Bu. Diandra udah bangun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy to be Good Man
RomanceDiandra Jelita Admoedjoe wanita cantik nan mempesona setelah menikah dengan Aldo Yunanda Alielanor ia bertekad untuk merubah semua tabiat buruk suaminya demi mangabdikan diri untuk keluarga dan suaminya. Berhasilkah Diandra?