VII: Perdebatan Tak Berjudul

18 2 0
                                    

Aku melarikan diri lagi.

Kali ini, dari ayahku. Si tua bangka berotak mungil, tapi berlagak cerdas.

Aku berlari darinya. Untuk kesekian kalinya.

Kuharap catatan ini tak menggelikan saat kubaca di masa mendatang.

Secara harfiah, aku kabur dari rumah. Dan catatan tolol ini kutulis di kamar temanku, teman perempuan yang terkadang membuatku jengkel. Aren.

"Pulang sana. Bicara baik-baik sama ayahmu, Antara," katanya berlagak bijak. Padahal, aku tahu, masalahku dengannya lumayan mirip. "Barangkali maksud Om Padhawa berbeda–"

"Kau kira arti 'anak kurang ajar' yang diteriakinya padaku akan berubah menjadi anak baik?" Aku melempar bantal ke perempuan berseragam itu. "Kau bodoh, Ren."

"Makasih. Aku memang bodoh." Dia mengedikkan bahunya tidak peduli.

"Ti-tidak bukan begitu maksudku." Aku mendesah menyadari temanku sudah kembali sibuk dengan buku bacaannya. "Aren, astaga, kenapa jadi kau yang marah?"

"Emangnya aku marah?"

"Enggak sih ... kayaknya."

"Nah, mungkin Ayahmu juga tidak marah. Sama sepertiku. Sama sepertimu yang meneriakiku bodoh, padahal tidak." Dia menyengir dan menaikkan alisnya usil. "Atau mungkin beliau hanya menyesal punya anak sepertimu."

Sekali lagi kulempar bantal miliknya. "Kamu nggak pandai menghibur orang, Ren," keluhku.

"Tapi bibirmu melengkung , 'kan?" Dia menyengir lagi.

"Tidak, Manusia Bodoh."

Temanku melengos, lantas lanjut membaca. Membiarkanku kembali gelisah di atas kasur standarnya.

===

[catatan dari en–maksudku, Antara]

Gak tau mau nulis apa, tapi setelah aku baca ulang, catatan ini menjijikkan.
Aku harap kalian tidak muntah.

Salam,
Antara yang galau habis dimarahin.

Kita Semua Pernah Melarikan DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang