IX: Aku Benci

14 0 0
                                    

Aku benci kamu, Ananta!

Dia berteriak histeris. Matanya meleleh dan hidungnya kembang kempis seperti kucing yang mencari makan. Kulitnya semerah tomat dan terdapat gumpalam hitam di bawah matanya.

Badannya tremor. Aku sempat mengira jantungnya berhenti memompa, tapi dia kemudian menatapku tajam. Air matanya membeku, tangisan itu mengudara begitu saja. Tergerus angin malam yang tak manusiawi.

Kenapa, Ananta?

Dia bertanya. Dengan tak sabaran menarik kerah seragamku. Setelahnya, dadaku menjadi samsak tinju rapuhnya. Tidak menghitamkan dadaku, tapi rasanya cukup sakit di dalam.

Aku masih bergeming ketika dia berangsur melorot memelukku.

Ananta, besok aku harus pergi.

Dia memelukku tanpa harap, meremas kemeja lusuhku yang basah air matanya. Aku tersenyum, mengusap pundaknya yang runtuh, dan bertanya. Kenapa kamu benci aku?

Lantas dia mulai mengendorkan pelukannya, tapi makin mencengkram punggungku. Lamat-lamat aku cerna setiap gelombang suaranya.

Aku benci kamu ada. Kamu bikin aku takut.
Takut jika aku akan sama dengan kedua orang tuaku. Aku takut bahwa selama ini aku hanya membohongimu, Ananta. Aku takut.

Jadi, tolong tinggalkan aku ya?

Kita Semua Pernah Melarikan DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang