Hyeonjin mencumbu bibir pemuda dihadapannya dengan tekat dan keberanian luar biasa. Dia sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa se-nekat ini. Namun dari dalam dirinya sekarang, seolah sedang ada desakan batin yang membuat Hyeonjin sanggup melakukan apapun agar perasaan aneh dalam dadanya mendapatkan kejelasan. Pemuda itu membuka netranya sedikit, menemukan pemandangan menggemaskan dimana Jeongin terpejam seperti tidak keberatan dicium sembarangan. Kedua tangan mungilnya merenggut jaket kulit yang lebih tua seakan terancam ternggelam, menikmati sensasi debaran jantung yang bertalu-talu memukul rusuk masing-masing.
Saat ciuman mereka terlepas, Hyeonjin tidak tahu harus melakukan hal lain selain tersenyum dan menggaruk tengkuknya malu-malu.
"Maafkan aku..."
"Oh, um... k-kakak tiba-tiba sekali... kakak membuatku terkejut."
Pemuda Hwang menegak salivanya yang tiba-tiba terasa pahit, takut membuat bocah kesayangannya marah, "Aku benar-benar minta maaf, Jeongin."
Jeongin mengangguk dengan wajah yang memerah padam, "Bisa kita pulang sekarang, kak?" Bukan karena ciuman Hyeonjin, melainkan tatapan ambigu dari orang-orang disekeliling mereka-lah yang membuatnya merasa tidak betah di tempat itu.
Keheningan menyongsong kemudian. Hyeonjin memilih bungkam sembari memainkan piercing bibirnya dengan lidah. Berusaha tetap fokus menyetir meski diam-diam masih menyecap sisa rasa manis dari bibir Jeongin.
Sementara di duduk sampingnya, Jeongin juga terlihat tak jauh beda. Bocah itu terus menggigit bibirnya kikuk; melirik jika Hyeonjin tidak melihat, kemudian merunduk lagi saat Hyeonjin menoleh. Seulas senyum terbibit di wajah sulung Hwang saat pandangan mata mereka akhirnya tidak sengaja bertemu.
"Apa aku membuatmu takut?"
Jeongin menggeleng. Tidak tahu harus menjawab apa. Karena menurut Jeongin, perasaan dalam dadanya kali ini lebih kearah gelisah, alih-alih takut.
"Lalu kenapa kau tidak mau melihat wajahku? Apa aku se-seram itu?"
Yang ditanya mengerinyit sesaat sebelum menggeleng kembali, "T-tidak takut, kak..." rengeknya tidak terima, "Aku hanya... malu..."
Hwang Hyeonjin lantas mematikan suara radio mobilnya untuk menciptakan suasana hening ketika ia memulai percakapan serius. Tangannya yang penuh akan tattoo terulur lebar menyentuh milik Jeongin.
"Karena aku menciummu tiba-tiba, ya?"
Jeongin mengangguk tanpa ragu. Tak hanya pipi, kini bahkan telinga serta tengkuknya ikut memerah malu-malu.
"Itu tadi adalah ciuman pertamaku, kak."
Shit. Saliva Hyeonjin kembali terasa pahit. Pemuda itu berharap mereka sedang tidak berada di jalur cepat agar ia bisa berhenti untuk bersujud di kaki Jeongin dan meminta atas ketidak sopanannya.
"Maafkan aku, Jeongin. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukan itu. Kau hanya terlihat begitu... cantik... begitu menawan, dan saat melihatmu, otakku mendadak beku dan tidak ada hal lain yang ingin aku lakukan selain... s-selain menciummu..."
Jeongin melongo atas penuturan itu. Otaknya yang polos belum sampai akal untuk mengerti bahwa pria di sampingnya saat ini sedang benar-benar jatuh cinta. Dia sedang menyampaikan perasaannya.
Jadi tanpa tahu harus berbuat apa, Jeongin
berakhir diam beberapa saat, merangkai kalimat yang ingin ia katakan dibalik isi kepala yang sedang berpuntal-puntal."Bisakah kita lakukan itu lagi?" Tanyanya kemudian.
"Lakukan apa?"
"Bisakah kakak menciumku lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
As He Pleases
FanfictionJeongin tidak pernah sadar betapa besar pengaruhnya bagi hidup seseorang. Dihadapkan dengan romansa yang rumit, Jeongin dipaksa harus "bertanggung jawab" atas perasaan yang dibuat beberapa orang untuknya. A hyunjeongs fanfiction.