Hyunjin tidak akan mau mengaku dengan mudah bahwa dirinya adalah seorang bajingan. Tapi jauh dari lubuk hati yang paling dalam... Hyunjin jelas tahu bahwa ia memang salah satunya. Bagaimana tidak, pemuda itu selalu mendapatkan cara untuk memerah apapun yang bisa orang berikan sampai kering, sebelum kemudian membuang mereka layaknya sampah bekas pakai. Well, perlakuan itu tidak berlaku hanya untuk keluarganya saja— Karena, for fuck sake, Hyunjin bahkan harus berbagi rahim sang ibu dengan kedua kembarannya yang menyedihkan. Bagaimana mungkin ia tidak sayang pada mereka berdua. Pokoknya selain pada saudara-saudara dan ibunya, Hyunjin tidak akan sungkan-sungkan.
Semua. Hanyalah. Sampah.
Tapi apa bisa dikata? Dia dilahirkan seperti ini. Hyunjin tidak pernah meminta para gadis atau homo-homo sialan itu untuk membuka kaki mereka secara cuma-cuma, bukan? Ia tidak pernah meminta untuk dikejar-kejar, dibelikan hadiah ini itu dan di idolakan. Bukan salahnya kalau dia terlahir mempesona. Ia tampan sejak lahir! Siapa yang bisa menyangkal fakta tersebut?
Tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk menjadi congkak dan besar kepala. Karena sekarang, Hyunjin hanya bisa terduduk di kelas detention (lagi) tanpa mampu berbuat banyak. Salah seorang dari kembar Hwang melamun. Memorinya mengulas kembali momen ketika dia dan Jeongin bertemu beberapa hari yang lalu; tubuhnya yang mungil dan berisi, rambutnya, senyumnya, serta kedua iris matanya yang berbinar-binar dengan begitu jernih dan lugu—Namun juga sangat intens, gemerlap seolah menyimpan banyak emosi yang mengganggu isi pikiran Hyunjin sejak tadi. Dia bahkan masih bisa merasakan dadanya berdegup lebih cepat kala pandangan mereka bertemu.
Rasanya Hyunjin ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding. "Si Minho brengsek itu pasti sudah terlebih dahulu mendapatkan nomor ponsel Jeongin." Padahal targetnya kali ini mungkin akan mudah sekali. Dia hanyalah pemuda kecil yang polos dengan pengalaman minim. Seks mungkin bisa mengubah bocah itu sehingga inner beast-nya bisa keluar. Ya, itu sangat mungkin...
Kini Hyunjin hanya perlu berharap Jeongin tidak jatuh pada pesona Minho terlebih dahulu. Bukan karena dia takut kalah saing atau apa, melainkan karena ia telah lelah kucing-kucingan bersama presiden sekolah sok segalanya itu selama bertahun-tahun.Dulu Hyunjin sempat mengira Minho selalu ngikut dan memberinya hukuman ini itu karena Minho punya sedikit "crush" padanya. Tapi ternyata tidak, setelah selama ini menjalin permusuhan, Hyunjin segera sadar bahwa itu bukanlah crush, melainkan pure kebencian mendalam, melihat bagaimana Minho memperlakukan Haejun dan Yeji dengan perlakuan serupa.
"Hwang. Kau boleh pulang sekarang."
"OH! AKHIRNYA!" Hyunjin berseru kencang setelah berjam-jam menelan frustasi. Dan tanpa babibu lagi, ia segera bergerak keluar kelas, kalau-kalau ada sedikit harapan baginya untuk bertemu Jeongin sekali lagi.
"Hyunjin!"
Hwang Hyunjin menoleh cepat dengan sumringah. Namun hanya untuk dikecewakan karena bukan Jeongin, yang memanggilnya ternyata hanyalah seorang gadis asing. Oke, mungkin Hyunjin pernah tidur dengannya, tapi whatever... Mana mungkin di dunia ada orang yang masih ingat siapa-siapa saja yang pernah mereka tiduri.
"... Apa?"
"Kau tidak membalas pesanku. Kau bilang mau serius dengan hubungan kita? Kenapa kau mengabaikan pesanku?"
Hyunjin meringis. Sesuatu seperti ini jelas bukan lagi hal baru baginya. Kadang jika kurang beruntung, dalam tiga kali seminggu, setidaknya akan ada orang-orang bodoh mendatanginya dan meminta "pertanggung jawaban" atas seks mereka seolah Hyunjin memaksa, dan mereka tidak melakukannya atas dasar suka.
"Aku mengatakannya pada semua orang."
"Apa?"
Pemuda Hwang dapat melihat dunia gadis itu sedang runtuh dari sorot matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
As He Pleases
FanficJeongin tidak pernah sadar betapa besar pengaruhnya bagi hidup seseorang. Dihadapkan dengan romansa yang rumit, Jeongin dipaksa harus "bertanggung jawab" atas perasaan yang dibuat beberapa orang untuknya. A hyunjeongs fanfiction.