Tak terasa kini sudah waktunya Gathan ke luar kota dan menyelesaikan masalah di rumah sakit cabang. Dia sudah siap dengan penampilan formalnya, mini koper berisi beberapa pakaian dan keperluannya tergeletak di lantai tepat di samping kakinya. Sementara empunya masih fokus menatap wajah teduh yang amat dia kenal. Hatinya berat untuk pergi, tapi pikirannya terus berusaha mengambil alih bahwa ini tanggungjawabnya sebagai kepala rumah sakit. Dia bahkan masih belum merasa cukup lega setelah meminta sepupunya menjaga Aniela selama dia pergi. Kenapa ini harus terjadi saat Aniela belum siuman? Gathan benar-benar tidak mau menggerakkan kakinya sama sekali sejak tiga puluh menit yang lalu dari sisi ranjang Aniela. Dia bahkan tak peduli jika nanti kakinya akan kesemutan karena dipaksa berdiri terlalu lama.
"Sampai kapan kau akan berdiri di sana menatapnya seperti idiot?" Gathan tak menoleh mendengar pertanyaan sarkas dari suara yang familiar.
Itu sepupunya Gaby yang tiba-tiba masuk dan berdiri di samping Gathan dengan melipat tangan di depan dada. Ah sepupunya itu memang sedikit menyebalkan.
"Jika begini terus kau tidak akan pernah pergi kemanapun bodoh," sinis Gaby. Itu bukan hal yang aneh. Jika ada seseorang yang paling berani mengejek Gathan dengan kata-kata idiot dan bodoh, maka Gaby lah orangnya. Sekarang hanya satu orang, tapi dulu Aniela berada paling atas sebelum Gaby. Istrinya itu adalah gadis unik yang berani mengatainya idiot, bodoh, dan hinaan lainnya.
Tanpa sadar Gathan kembali mengingat salah satu kenangan manisnya bersama Aniela.
Saat itu Gathan tengah menghabiskan waktu sore hari yang damai bersama Aniela di balkon kamar mereka yang menghadap taman belakang rumah. Matahari terlihat cerah dan membiaskan warna jingga di langit senja. Udara terasa hangat berhembus menerpa Gathan dan Aniela yang mengobrol ringan diselingi candaan dan nostalgia tentang masa lalu keduanya sebelum menikah.
"Ah, rasanya aku masih seperti tengah bermimpi bisa menjadikanmu istriku, Ela." Gathan mengeratkan pelukannya di pinggang Aniela yang menyandarkan kepalanya di dada pria yang telah berhasil menaklukkan hatinya.
Keduanya sedang duduk berpelukan di sofa empuk yang berada di balkon. Aniela yang sebelumnya memejamkan mata karena rasa nyaman pun membuka matanya setelah mendengar pernyataan Gathan.
"Ini nyata. Aku sudah berada dalam pelukanmu sekarang." Aniela mendongak menatap Gathan yang menunduk menatapnya. Keduanya bertatapan sejenak dan berakhir saling lempar senyum. Gathan bergerak mengecup pucuk kepala Aniela lama, menghirup aroma sampo yang entah kenapa terasa menyenangkan hingga membuatnya candu.
Tapi ada hal yang ingin dia katakan, jadi Gathan menarik kepalanya dan kemudian bersandar pada sofa seperti sebelumnya. Wajahnya menghadap langit secara langsung melihat matahari yang begitu besar hampir tenggelam di antara awan.
"Aku tahu, aku harap kita akan selamanya seperti ini. Mengingat perjuanganku dulu, rasanya aku benar-benar tak akan sanggup untuk kehilanganmu, Sayang." Tatapan Gathan berubah sendu dengan nada suara yang sama sendunya.
"Astaga! Aku tidak ingat pada pria idiot yang mengirimiku berbagai macam benda tak berguna setiap hari. Kau pikir kost ku akan berubah jadi taman bunga? Kau sangat idiot karena mengirimi begitu banyak bunga hanya untuk menyatakan perasaanmu yang berakhir dengan penolakan." Aniela terkekeh ringan. Tidak dengan Gathan yang mengerucutkan bibirnya merajuk.
"Terus saja ejek suamimu ini, Sayang. Kau akan menerima akibatnya nanti malam." Kali ini bibir Gathan menyeringai penuh rencana jahat tentang malam menyenangkan bersama istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Need You
Romance"Sayang, bangunlah... aku merindukanmu." Gathan "Tuan, aku mencintaimu." Clara Tapi, Aniela tak bisa berkata apa-apa karena tidur panjangnya.