3 - Drama Rumah Iswara

2 2 0
                                    


Tubuhnya terhuyung ke belakang setelah tamparan keras dari sang Ayah, Iswara hanya bisa menangis dalam diam seraya memegang pipi kirinya yang berjejak tangan.

"Dari mana saja kamu?" tanya Ayah membentak. Tangannya kembali terangkat memukul pipi sang putri tanpa berpikir panjang.

"Pulang selalu larut, coba tiru Selsa dan Endru, mereka selalu pulang ke rumah tepat waktu." Iswara memutar bola mata malas saat sang Ayah mencoba membandingkan dia lagi dengan kedua sepupunya yang padahal bermuka dua, andai saja dia tidak memiliki Ayah se-naif ini agar mereka segera diusir tanpa sopan.

"Nilai kamu bahkan jauh dari mereka berdua, seharusnya pulang sekolah kamu jadikan peluang untuk giat belajar bukan keluyuran nggak jelas." Iswara menggigit pipi bagian dalam dengan geram, ingin dia melawan tapi akibatnya akan lebih buruk. Seperti ponsel disita, tidak diberi uang jajan, atau tidak diberi jatah makan. Dan yang paling mengesalkan adalah didatangkan kembali guru pembimbing.

Nenek Buyut memegang lengan Ayah yang akan menampar Iswara lagi. "Sudahlah jangan memukulnya lagi, dia pasti sangat kelelahan setelah bersenang-senang," ucapnya menekan kata bersenang-senang sembari menatap Iswara sok perhatian.

"Kamu pasti senang kan pulang larut setelah melayani pria kaya," lanjutnya disambut tawa sinis satu keluarga. Sedangkan Ayah mematung tak percaya menatap Iswara, hatinya berkata tidak mungkin sang putri melakukan itu, tapi iblis di hatinya terus menyuruh untuk percaya.

"Kamu menjadi kupu-kupu malam?" tanya Ayah memastikan dengan raut datar.

Iswara terus menunduk, semua orang mulai menatapnya rendah, dengan begitu pekerjaan Iswara menjadi mudah. Dia akan membuat orang-orang itu menindasnya sampai waktu terjawab.

"Menurut Ayah?" Kini Iswara balik bertanya, dia menatap bola mata legam milik sang Ayah yang pupilnya membesar.

Ayah melangkah besar menghampiri Iswara dan melayangkan tamparan dua kali lipat, merasakan itu Iswara hanya bisa terkekeh pelan.

"Anak kurang ajar kamu Iswara!" bentak Ayah menghempas tubuh sang putri ke belakang hingga terjungkang.

"Kurang ajar? Tau apa Ayah tentang kurang ajar? Mau gue beri tahu sekurang ajar apakah putri lo ini?"

Iswara bangun dari lantai dengan susah payah, ucapannya membuat satu keluarga pucat begitupun dengan Ayah, jika sudah begini Iswara merasa seperti penguasa yang tahu kartu AS mereka.

Dia berjalan mengitari Nenek Buyut setelah itu menghampiri Ayah, suasana ini telah diambil alih oleh Iswara.

"Bunda, darah, guci, dan kematian." Hanya beberapa kata itu mereka berubah bisu, tadi tertawa sekarang terdiam seperti mayat. Berganti dengan Iswara yang tertawa terbahak-bahak.

"Siapa dalangnya?" tanya Iswara berdesis, hanya ini yang belum dia ketahui. Pertanyaan lampau yang masih ingin dia ungkit sampai ke akar-akarnya.

"Itu kecelakaan biasa Iswara, tidak ada yang membunuhnya," jawab Ayah yang membuang nafas gusar.

Iswara menjentik jarinya sebanyak tiga kali. "Ouch! Gue nggak ada tuh nuduh siapapun membunuh Bunda."

"Emm, Iswara sebaiknya kamu beristirahat setelah pulang dari sekolah pasti lelah," tukas Tante Delvi yang merupakan adik dari Ayah, dia tersenyum lembut dan aku mengacuhkannya.

"Iya, kamu mau makan apa? Nanti nenek buatin," sahut Nenek Buyut tersenyum sumringah seperti tidak bersalah saja.

"Mau makan apa ya?" Iswara mengetuk-ngetuk keningnya dengan pelan, matanya naik keatas melihat langit-langit rumah, seolah dia sedang berpikir.

"Gue mau makan burger," putus Iswara bersemangat.

"Kamu nggak boleh makan burger, nanti berat badan kamu naik," peringat Ayah dengan mata tajam menatap sang putri.

"Sudah tidak apa-apa, sekali-kali cucu nenek makan fast food, iya kan Delvi?" Mereka saling berpandangan dan menyiratkan sesuatu, Iswara mengangguk-angguk menafsirkan perkataan dari bibir mereka yang bergerak tanpa suara.

"Gue mau makan 5 burger, kalau ada sisa gue mau Selsa dan Endru yang makan. Gimana setuju?"

Semua orang mengangguk pasrah, Iswara memperhatikan Selsa dan Endru yang bergumam tak jelas, dia memutar bola mata jengah.

"Antar ke kamar gue kalau tuh makanan udah dateng."

Sepeninggalan Iswara, mereka semua mulai bernafas lega. Saling berpandangan setelah itu mengumpat atas tindakan semena putri bungsu rumah ini.

"Apakah kamu tidak berniat memasukkan dia ke asrama perempuan, Gas?" tanya Nenek Buyut dengan raut wajah datar.

"Sebenarnya ingin, tapi Bagas mana tahan jauh-jauh dari Iswara, dia putri kesayangan Bagas." Ayah Iswara nampak mengusap wajahnya kasar.

"Kamu yang harus membiasakan diri, lihat tingkahnya sudah seperti binatang liar," bujuk Nenek Buyut diangguki semua orang.

"Mah, sumpah Bagas nggak bisa melakukan itu,"

Tiba-tiba punggung Nenek Buyut ditepuk dari belakang, melihat siapa itu membuatnya gelalapan. Tante Delvi, Selsa dan Endru menahan nafas melihat senyuman Iswara yang tampak polos.

"Nek, gue lupa bilang ada tambahan pesanan. Ice coffee, okay?"






























_Kepergok ngomongin orang padahal orangnya disitu

Ada yang pernah kejadian kayak Nenek Buyut?_

Jangan lupa voment guys🔥

Say HappyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang