Jika harus memberi nilai atas bekal makanan yang dikasih cewek berkepang barusan, gue akan menghadiahkan satu kata; enak.
Ya iyalah, enak. Apalagi gue makannya sambil membayangkan ekspresi Dave yang tertampar saat tahu gue yang menghabiskan olahan mahakarya fans-nya.
Betul saja, Dave auto mendekat saat ekor matanya melirik wadah yang gue letakkan begitu saja di bangku panjang. Isinya ludes tak bersisa, bahkan gue sengaja membiarkannya terbuka.
"I-itu...." Dave bersuara seraya mengacungkan jari telunjuknya ke arah bekal.
Gue mengelus perut gue dan sengaja memasang ekspresi menyebalkan. Tanpa menjelaskan, seharusnya dia tahu apa arti bahasa tubuh gue. Kalau nggak mengerti, ya, bego namanya. Soalnya bocah ingusan saja bisa mengelus bagian perutnya saat kenyang, 'kan?
"Bekal itu... punya Yana, 'kan?" tanya Dave. Gue yakin dia udah tahu jawabannya, tetapi masih saja bertanya.
Ck, kesal jadinya.
Perlu diketahui, gue kurang suka menjelaskan. Apa pun itu. Seperti kode-kodean tadi, gue lebih suka berkomunikasi dengan gerak-gerik tubuh meski kesannya jadi clueless dan berujung salah paham.
Terutama cewek-cewek. Biasanya sih pada ngamuk-ngamuk gereget, gitu. Jika diartikan, kayak pengen nampol tapi ada hasrat ingin nempel di saat bersamaan.
Ya sudahlah, ya. Gue nggak bisa melarang mereka. Manusia itu berhak untuk berekspresi.
"Entah." Gue menjawab simpel. Satu kata, satu jawaban, dan satu sasaran.
Begitulah gue.
"Yang ngasih lo itu... cewek berkepang, 'kan?" tanya Dave lagi. Ekspresinya kalem, siapa saja bisa langsung menebak kalau dia tipikal orang yang tidak bisa marah.
Memang, sih. Itu gue akuin. Selama gue mengenal dia, gue nggak pernah melihat sarafnya berkedut atau minimal melihat alisnya bergelombang karena amarah.
Dave berbeda jauh dari gue. Ibarat langit dan bumi, sejauh itu rentang perbedaannya. Dari segi penampilan aja, kalian bisa menilai siapa yang lebih rapi. Gue seumpama icon berandal termasyhur sementara Dave layak menjadi penerus dan panutan bangsa.
Bahkan dari segi prestasi saja berbeda. Selayaknya arti nama depan (Dave berarti tersayang), dia seperti harta di SMA Berdikari; nilai akademik yang tidak pernah mengecewakan dari tahun ke tahun, tidak pernah absen mengikuti olimpiade, selalu aktif dalam kegiatan OSIS termasuk menjadi ketuanya, hingga koleksi piala dan sertifikat yang totalnya ngalah-ngalahin orang mengantre di Chatime kalau lagi promo.
Sedangkan gue, prestasi gue nggak buruk-buruk amat meski peringkat tertinggi sebatas ranking ke-50 dari nilai total angkatan se-jurusan. Julukan gue biang onar di sekolah, sering membantah perintah guru walau masih sanggup menjawab sopan--lebih tepatnya gue jago masang tampang innocent dan berdalih. Nggak hanya ke guru, tetapi juga murid lain sampai-sampai nggak ada yang betah ngomong lama-lama karena gue selalu mempunyai cara untuk mengelabui. Hmm... gimana, ya? Lebih tepatnya kayak menghasut mereka untuk jadi suruhan gue, muehehehe....
Dave tentu saja tidak pernah absen menyandang 'profesi' itu. Selain menganggap gue sebagai bagian dari keluarganya, dia memang sepeduli itu dengan lingkungan sekitar. Atau dengan kata lain, jiwa sosialnya tinggi. Wajar sih, namanya juga siswa berdedikasi. Aura positifnya juga mendominasi meski semua itu nggak ada efeknya buat gue.
Andai Dave adalah dokter, dia nggak bakalan bisa nyelamatin gue yang udah divonis tumor stadium akhir, kecuali doa dan sejumput mukjizat.
Gue hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang tadi. Sepertinya itu cukup bagi Dave untuk mengerti karena dia bertanya lagi, "Trus... seharusnya bekal itu ngasih ke gue, 'kan?"
"Ngasihnya ke gue, jadi buat gue." Gue mengoreksi santai.
"Ta-tapi--"
"Nggak usah ngomel. Percuma--tuh, udah bel. Gue duluan, ya." Gue tersenyum puas melihat ekspresi Dave sebelum melangkah menuju kelas, diiringi backsound yang menjadi pertanda waktu telah menunjukkan pukul tujuh.
Ah, iya. Gue sampai lupa cek mading buat tahu yang mana kelas gue. Biarin, deh. Gue bisa nanya ke siswa random nanti.
"Bas! Kelas lo di sini!" seru salah satu siswa sewaktu gue melewati ambang pintu kelas XII IPA-4. Suaranya teredam di antara keributan, berhubung belum ada guru yang masuk.
Tuh, kan. Gue bilang juga apa. Eksistensi gue selalu dipedulikan orang sekitar di manapun gue berada.
Sebesar itu daya pikat yang gue miliki meski sayangnya, kebaikan siswa itu gue balas dengan cara yang tidak berakhlak.
"Minggir, gue mau duduk di sini." Alih-alih meminta maaf, gue malah merebut tempat duduknya.
Lagian, siapa suruh dia duduk di bangku belakang paling sudut dekat jendela? Itu kan spot favorit sepanjang masa meski pada akhirnya gue selalu dipindahkan ke barisan tengah, selayaknya sang surya yang menjadi pusat peredaran.
Siswa itu memberengut kesal, tetapi dia tidak mempunyai pilihan selain patuh. Lantas, sudut bibir gue tertarik hingga menciptakan seringai menyebalkan seperti biasa.
Gue melempar tas punggung di atas meja. Berkat bebannya yang seringan sarung bantal, tas gue sama sekali tidak mengganggu. Namun, semua perhatian spontan teralihkan saat beban tubuh gue menubruk bagian bangku secara refleks.
Ada apa ini? Tunggu... jangan bilang....
Gue nggak sempat berkata-kata bahkan bermonolog karena dada gue sesak hingga tidak bisa bernapas secara tiba-tiba. Gue bisa merasakan keringat dingin mulai mengalir secara dramatis dari pelipis ke sisi wajah gue.
Tunggu. Gue familier dengan rasa ini; dada sesak, sulit bernapas, berkeringat dingin, seluruh tubuh serasa mati rasa....
Penglihatan gue menggelap secara bertahap yang diawali dengan pandangan mengabur sebelum menghitam total. Gue nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya tetapi yang jelas, gue mendengar suara Dave di antara kehebohan yang lain.
Mengapa gue bisa yakin itu suara Dave? Ya iyalah. Seperti yang gue bilang tadi, 'selama gue mengenal dia'.
Lama dari kata 'selama' yang artinya gue mengenal Dave lebih lama dari yang kalian kira.
Kok bisa? Penasaran? Nanti saja keponya. Gue mau pingsan dulu, ya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
He was Nerd | Mini Story [END]
Teen FictionPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Comedy (70%), Sad (30%) (Mostly menggunakan POV 1, jadi narasinya tidak full baku) Naskah full revisi ✅ Terinspirasi dari drama populer Korea berjudul She was Pretty, yang sempat diad...