Ditilik dari cara berjalannya usai menyerahkan tas bekal pada Baskara Anthony, kentara sekali bagaimana cewek berkepang itu berusaha menutupi parasnya dengan menundukkan kepala sedalam yang bisa ia lakukan.
Ekspresinya muram, seolah-olah tidak ada yang diinginkannya selain menghilang dari bumi. Mungkin di antara murid yang berlalu-lalang di sepanjang koridor menuju kelas, hanya dia satu-satunya yang menunjukkan ketidaktertarikan pada keramaian. Bahkan saking tertutupnya, dia rela memutari lapangan basket di mana sinar matahari sedang terik-teriknya.
Peluh mulai bercucuran dari keningnya selagi melangkah, tetapi cewek yang bernama Yana tidak merasa keberatan. Baginya bagus, sebab dia tidak perlu berinteraksi langsung dengan siapa pun.
Termasuk berkontak mata.
Ya, kelihatan sekali bagaimana pasifnya Yana seolah-olah dia menderita gangguan kecemasan sosial.
Bisa jadi asumsi tersebut benar karena matanya membelalak ketakutan saat ujung sepatunya berhadapan dengan sepasang sepatu lain.
Jelas, pemilik sepatu yang mengilap itu sedang menunggunya.
Penampilan mereka sangat kontras. Jangankan dari segi penampilan, sepatu mereka saja sudah menunjukkan kasta masing-masing.
Tentu saja, cewek itu--yang name tag-nya terbordir nama Mira Lesmana--mewakili kasta 'langit' dan Yana adalah 'tanah'-nya.
Mira mempunyai dua kualifikasi utama untuk menjadi selebriti bahkan model asal dia mau; lekuk tubuh yang proporsional dan tinggi. Parasnya juga di atas rata-rata, sehingga tidak heran banyak yang percaya pada rumor kalau Dave yang sempurna tergila-gila padanya. Bibirnya dipoles lip tint dengan warna girly dan ada sapuan make up di wajah. Meskipun demikian, jatuhnya jadi alamiah alih-alih menor.
Yana lain lagi. Dia mungkin termasuk segelintir cewek yang tidak pernah tahu cara berdandan. Rambutnya dikepang asal dengan karet warna-warni, kesannya jadi seperti anak yang baru dilepas dari home schooling dan mencoba beradaptasi di sekolah baru. Ukuran seragamnya terlihat terlalu besar untuknya, bahkan panjang roknya melewati batas lutut.
Teknisnya, Yana lebih cocok menjadi murid di tahun pertama sekolah padahal dia juga seangkatan dengan Mira-Baskara-Dave; sama-sama di tahun terakhir SMA.
"Udah kasih ke Dave, kan?" tanya Mira dengan nada rendah pada Yana, sementara matanya berseliweran ke sana kemari untuk berjaga-jaga kalau ada penguping di antara mereka. "Dia bilang apa?"
Yana masih bungkam. Sepasang bahunya tampak gemetar dan sepertinya tidak ada yang ingin dia lakukan selain berubah menjadi bunglon agar eksistensinya tak lagi terlihat.
"Yana, kalo ditanya jawab dong!" desis Mira dengan ekspresi kesal, tetapi guratan di alisnya raib saat irisnya menangkap sosok Pak Yunus di belakang. Senyumannya terbit dalam waktu kurang dari sedetik selagi menyapa, "Pagi, Pak!"
"Pagi, Mira. Nggak terasa ya udah di tahun terakhir SMA. Kelas berapa, Mir? Mana tau Bapak yang jadi wali kelasmu, muehehehe...."
"XII IPA-3, Pak."
"Sekelas lagi sama Dave Anthony, dong. Wah-wah-wah, couple goals banget. Ditunggu pengumuman jadiannya, ya."
"Hehehe.... Trus Bapak gimana? Jadi wali kelas berapa, Pak?" tanya Mira. Obrolannya dengan Yana lantas terabaikan, tetapi cewek mungil itu masih bertahan pada posisinya berdiri seakan telah dipaku di tempat.
"XII IPA-4. Ck, jadi males. Ada si biang onar."
"Baskara, maksud Bapak? Nanti saya kasih tau biar nggak terlalu nakal ya, Pak?" hibur Mira dengan senyum manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He was Nerd | Mini Story [END]
Teen FictionPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Comedy (70%), Sad (30%) (Mostly menggunakan POV 1, jadi narasinya tidak full baku) Naskah full revisi ✅ Terinspirasi dari drama populer Korea berjudul She was Pretty, yang sempat diad...