Cerita masih berlanjut? Woya jelas, yang kemarin kan cuma prank.
Muehehehe....
Bukan Baskara namanya kalau nggak nyebelin sekaligus ngangenin. Ibarat telapak kaki lo digigit sama nyamuk; geli banget pas digaruk, tapi gatelnya nggak nahan kalo dibiarin.
Nah, begitulah kira-kira analoginya.
Intinya, apa pun itu, gue cuma mau bilang kalau sampai kapan pun Baskara Anthony selalu mempunyai caranya sendiri untuk bertahan hidup; entah berdamai dengan luka atau belajar memahami diri sendiri.
Menurut gue, kedua hal tersebut jauh lebih efektif dibandingkan metode lain karena nggak akan ada seorang pun yang bisa menolong selain diri lo sendiri.
Perlu bukti konkret? Mungkin Aiyana Maulana bisa jadi contoh nyata.
Gue dan Aiyana mempunyai kasus mental yang serupa. Meski berbeda situasi, gue berani menyatakan kalau kasus gue lebih ringan daripada Aiyana.
Ada sesuatu dalam diri gue yang menolak untuk mengingat peristiwa traumatis di masa lalu, sehingga melupakan adalah solusi gue bertahan hidup.
Itulah sebabnya, gue bisa menjalani hari-hari seolah tanpa beban. Gue benar-benar mirip cecak, yang memilih untuk memutuskan ekor alih-alih mati konyol.
Sedangkan Aiyana, dia membawa-bawa luka hingga enam tahun lamanya.
See? Lo bisa lihat sebesar apa rentang perbedaan antara gue dengan Aiyana, padahal kami sama-sama berubah drastis hingga nggak ada yang bisa mengenal wujud kami yang dulu.
Gue memilih melupakan. Kesimpulannya, gue memilih untuk berdamai dengan luka alih-alih membiarkannya menjadi momok mentalitas.
Lagi pula, meski sebagian insiden dipicu oleh Aiyana dan papanya, tetap aja gue turut andil dalam peristiwa itu.
Ibarat kata, Aiyana mengerjakan setengah proyek dan gue yang menyelesaikan sisanya.
Teknisnya, Aiyana nggak membunuh papa gue. Teknisnya, Aiyana hanya bocah yang belum tahu bagaimana cara berinteraksi dengan teman seusianya. Teknisnya, Aiyana hanya anak manja yang terbiasa dituruti keinginannya.
Dia juga sama polosnya kayak gue.
Bahkan hingga sekarang pun, usia kami masih belia.
"Maaf... sa-saya minta maaf...."
Tiga kata--ralat, empat kata dari 'maaf, saya minta maaf' begitu sulit diucapkan di antara tangisannya yang sulit dikendalikan. Kayak... kalian pasti pernah nangis sampai ingusan, kan?
Kenapa gue bilang ingusan? Ya, gitu deh. Soalnya pas mau ngomong, lo kudu nyedot tuh lendir sambil ngomong biar cairannya nggak meluber ke mana-mana.
Gue nggak lagi ngelawak, plis deh. Gue cuman berusaha supaya... supaya....
Sialan, pandangan gue udah mulai kabur.
Gue mengalihkan fokus ke jendela. Nggak ada hal indah di luar sana, tapi itu cuma pengalihan biar tangisan gue nggak makin parah.
Gengsi dong sama pembawaan gue yang udah gue bangun sedari awal.
Gue nggak suka eksistensi awan menyelimuti matahari. Gue harus terus bersinar.
Gue, Baskara sang mentari.
"Udahan nangisnya." Gue masih memandang keluar jendela selagi mengucapkan kata-kata penghiburan buat Aiyana. "Gue baik-baik aja, jadi lo udah gue izinkan untuk lepasin penyesalan itu."
Gue benar-benar serius soal ini. Tadinya di awal-awal, gue memang bertekad mau membuat Aiyana kapok sekapok-kapoknya, tapi setelah semuanya terjadi, semua kekesalan dan niatan untuk balas dendam udah raib entah ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
He was Nerd | Mini Story [END]
Teen FictionPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Comedy (70%), Sad (30%) (Mostly menggunakan POV 1, jadi narasinya tidak full baku) Naskah full revisi ✅ Terinspirasi dari drama populer Korea berjudul She was Pretty, yang sempat diad...