Semua orang pernah berada di titik terendah dalam hidup. Ibarat tercemplung ke dasar samudra—–ralat, kejauhan soalnya. Oke, gue ganti. Ibarat tercemplung ke dasar kolam renang—–ahhh, tapi... terlalu dangkal mah kalau kolam renang.
Muehehehe... iya-iya, gue serius sekarang. Kita pilih laut saja. Setuju nggak setuju, harus iya-in kayak lagunya Twice berjudul Yes or Yes. Lo nggak ada pilihan lain soalnya gue tokoh utama di sini.
Ibarat tenggelam ke dasar laut, lo sendirian. Nggak ada siapa pun yang nolongin lo, bahkan bisa jadi nggak ada yang tau kalau lo sedang berjuang untuk tetap hidup di dalam air.
Tangan lo menggelepar, tetapi lo nggak kuasa buat berenang ke permukaan. Seolah-olah di saat yang sama, ada yang menarik lo semakin ke bawah hingga lo merasa akan lebih membahagiakan kalau Tuhan merenggut nyawa lo saja.
Sama halnya ketika berada di titik terendah dalam hidup. Lo berusaha untuk lepas dari belenggu luka dan kesedihan, tetapi di saat yang sama, cobaan yang lo hadapi terlalu sulit untuk dihindari.
Manusia nggak bisa puas. Manusia itu tamak. Manusia selalu meminta lebih dan lebih, tetapi nggak mensyukuri apa yang dia punya. Kalau kata pepatah, 'Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri'.
Kalau kata pengalaman gue, 'Anak tetangga lebih jenius daripada anak sendiri'.
Jika kalian peka, kalian bakal mengerti kata-kata gue menjurus ke mana. Inget nggak sama pengungkapan tentang gue pernah terkenal pada masanya? Nilai gue sempurna sampai-sampai penampilan gue mendukung profil ke-kutubuku-an gue.
Gue pernah menjadi seperti Dave Anthony. Gue pernah mendapat sederet prestasi walau piala yang diperoleh nggak sebanyak Dave—–wajar dong, gue kan masih SD saat itu. Gue juga pernah menjadi anak idaman yang akan membuat siapa saja iri.
Nggak ada yang nggak kagum sama gue, tapi lo akan heran sendiri kalau penilaian orang tua gue berbeda. Ya, begitulah fakta dari pepatah yang sengaja gue pelesetin dari rumput hijau tadi.
Di mata mereka, rekor gue nggak pernah bisa memuaskan. Gue selalu saja dituntut lebih dan lebih seolah-olah gue robot yang bisa diatur sepuasnya. Padahal kalau mau menyangkut realisasi, jangankan manusia, robot saja bisa rusak jika dipaksakan beroperasi melebihi kemampuannya.
Seperti yang gue bilang tadi, manusia yang nggak pernah bisa mensyukuri apa yang dia punya, suatu saat akan merasakan kehilangan. Situasinya kayak lo menyia-nyiakan apa yang lo punya, jadi Tuhan merebut kembali apa yang udah lo abaikan.
Bisa kalian tebak apa yang terjadi seiring berjalannya waktu. Gue—–Baskara—–bukanlah diri gue yang dulu lagi. Lagi pula, impian bokap-nyokap udah terwujud, kan? Dave Anthony yang mereka puja-puja setengah mampus waktu itu, berhasil diangkat menjadi anak secara hukum.
Meski sayangnya, bokap gue nggak sempat merasakan itu karena udah telanjur dipanggil oleh Yang Mahakuasa.
Bisa dibilang, insiden itulah yang mendorong perubahan drastis gue. Semuanya terjadi secara beruntun tanpa ampun, sampai gue takjub sendiri karena nggak jadi gila padahal gue pernah berkali-kali berdoa biar dikabulkan.
Gue ngomong realistis. Andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu mengingat masa lalu. Andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu menghadapi cobaan hidup yang sangat-sangat melelahkan. Juga... andaikan gue benar-benar gila, gue nggak perlu capek-capek ke sekolah.
Muehehehe.... Udah, udah. Nggak usah ikutan sedih. Biasa aja, keles.
"Muka kamu kenapa, Baskara?" tanya suara sopran yang udah gue hapal di luar kepala hingga tanpa menoleh pun, gue udah tau siapa yang bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He was Nerd | Mini Story [END]
Teen FictionPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance, Comedy (70%), Sad (30%) (Mostly menggunakan POV 1, jadi narasinya tidak full baku) Naskah full revisi ✅ Terinspirasi dari drama populer Korea berjudul She was Pretty, yang sempat diad...