Seminggu berlalu, seraya mempersiapkan acara pernikahan bersama dia, aku juga sibuk mencari keberadaan papa. Kami terus berusaha menemukan beliau. Setidaknya, nanti aku bisa berpamitan sebelum memulai tahap kehidupan yang baru lagi.
Walau aku gak yakin, dia mau menemui aku setelah pergi seperti dulu.
Ditambah lagi, akhir-akhir ini Lee Jeno mudah kelelahan. Wajahnya selalu pucat, malas makan dan hanya ingin beristirahat denganku setelah pulang bekerja di perusahaan. Aku menduga dia punya banyak pikiran, tapi dia kalau aku tanya ada apa, terus menjawab jika semuanya baik-baik saja dan cuma mau aku terus bersamanya.
Dua hari lalu, aku mendapati dirinya terlelap sambil meneriakkan beberapa kalimat. Keringat membajiri pelipisnya, dan dia terlihat sangat menyesal.
"Maafin aku."
"Gak seharusnya aku melakukan itu."
"Aku bukan anak siapa-siapa."
"Aku sendiri."
"Aku gak baik."
Mengingatkanku pada waktu dulu, waktu dimana dia selalu bilang kalau dirinya bukanlah orang baik. Aku takut, jika saja dia mempunyai trauma dan aku sebagai orang dekat tidak membantunya.
Tok tok tok—
Aku mendongak, menemukan Lee Jeno sudah pulang dan sedang memeluk sebuah bantal. Ini masih sore, dia pulang lebih awal. Awalnya dia cuma diam mematung di ambang pintu.
"Loh—"
"Aku cepet pulang, kepalaku sakit."
Aku memanggilnya untuk mendekat. "Sini."
Jeno menyeret langkah, merebahkan kepala di atas pahaku dan memeluk bantal tadi usai meletakkan ponselnya di atas meja.
"Tadi pagi aku bilang, sebaiknya kamu gak ke kantor dulu."
Jeno hanya berdehim, menutup matanya.
Aku yang paham kondisi lelaki Lee ini membiarkannya tidur sambil mengusap helaian rambutnya. Sebenarnya aku ingin menanyakan hal yang tadi membayangi diriku, namun waktu ini sepertinya gak begitu tepat.
"Katanya tadi ayahku kesini?" Tanya Jeno.
"Iya."
"Dia bilang apa?"
"Gak banyak, katanya cuma mau liat tempat ini."
"Hm, baguslah." Balasnya. "Dia gak palsu, atau sekadar formalitas."
"Jeno."
"Sebenarnya, ada sesuatu yang kamu gak tau."
"..."
"Aku punya trauma sangat buruk, dan keluargaku selalu berusaha sembunyikan itu. Makanya, aku gak tinggal dengan mereka dulu."
Aku menatapnya lamat.
"Dan bisa kamu lihat, ibu, saudaraku, mereka mudah menyepelekan orang, memaksa. Aku gak suka itu, aku gak mau jadi mereka. Apalagi saat ayah bilang kalau aku yang mengambil alih perusahaan, mereka semakin mengatur."
Akhirnya aku paham, kenapa Jeno cukup membangkang pada mereka. Lalu kenapa dia bilang kalau dirinya buka orang baik?
"Jeleknya, trauma itu masih terbayang sampai detik ini."
"Aku gak tau kenapa kamu baru bisa cerita ini sekarang, tapi maaf ya kalau aku gak bisa membantu banyak. Aku paham, mungkin kamu belum bisa sepenuhnya percaya sama aku."
"Nope, gak gitu."
"..."
"Aku bukannya gak percaya, aku bukannya gak mau cerita. Cuma— saat aku liat kamu, apa yang ingin aku ceritakan itu semuanya adalah tentang kamu."
Aku mendengus. "You flirting."
"Gak." Jeno tersenyum.
"Jeno hebat bertahan sejauh ini, Jeno selalu begitu. Jeno lebih istirahat, nanti aku bangunin untuk makan malam."
"Makasih ya." Balasnya menutup obrolan kami dan terlelap dalam waktu yang cepat.
Aku sendiri meraih sebuah buku bacaan, dengan serius menikmati alur cerita yang sudah memasuki masa konfliknya. Selagi Jeno tidur, aku menggunakan waktu untuk membaca buku kesukaanku ini dan menyetel musik klasik.
Tiba-tiba ponsel Jeno yang terletak di atas meja berderit, itu dari bawahannya. Aku termenung, menatap isi pesan itu.
Katanya, papaku sudah ditemukan.
Ingin basa-basi sedikit, istg— aku haru banget sama ucapan kalian.
Kalian orang baik, dan masih banyak lagi selain yanh di atas. Sulit untuk dimuat semua, but makasih banyak sekali lagi atas dukungannya✌🏻
Kedepannya aku akan kasih yang terbaik untuk cerita Jeno & Euna, juga kalian. Happy free-day!🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
SINCERELY ✓
FanfictionSingkat saja: Jeno bagi Euna, ialah dunia yang indah meski dirinya tak dapat melihat rupanya. 2021.