[17] it's hard for me

1K 341 44
                                    

Aku mau ngucapin terimakasih atas 4K viewsnya! Sudah sejauh ini ternyata. Maaf kalau aku update semalam ini, besok aku usahain double update sampai lusa. Sekali lagi makasih!

Salam cinta dari Euna, Jeno dan author!❤️🐾
—————












Bangkit dan berlari sekencang mungkin, tinggalkan rasa pahit itu jika memang kamu akan terus merasakan pilu.

Euna, kamu harus bisa. Kamu tidak boleh terperangkap dalam sangkar penuh luka itu.

Kuamati wajahku melalui cermin yang berada tepat di samping ranjang, menyadari bahwa diriku masih berada di dalam tempat tinggal yang sama. Aku pikir, meski diriku masih di sini, aku akan mampu berdiri kokoh dengan berjuang melupakan segala kenangan itu.

Aku yakin, selama aku mau, aku akan bisa berpijak.

Dering telepon menyahut dalam pendengaranku, menyita lamunan ini untuk segera meraih ponsel lipat di atas ranjang. Kubaca nama pemanggilnya, yang di mana itu adalah Lee Haechan.

Begitu kubuka,

"Euna." Sapanya.

"Ya, Chan?"

"Kamu sudah makan malam?"

"Iya, sudah."

"Minum vitamin?"

"Sama, sudah kok."

Sejak dia tahu bila aku sudah sadar akan siapa sosok Lee Jeno sebenarnya, Haechan menjadi pria yang semakin maju dari tempatnya yang terdahulu.

Tidak. Bukannya aku tak bersyukur dengan teman baru sepertinya, tapi—aku dibuat trauma jika itu akan berakhir dengan perihal: memberatkan seseorang.

Haechan kian memberi segudang perhatian, seolah menggeser posisi pria sebelumnya yang setiap waktu akan berada di sisiku. Itu tak mudah, aku tak mau dia melupakan dirinya hanya untuk aku yang masih bisa berusaha sendiri.

Dan aku perlahan sadar, semakin waktu, dia lebih cerewet, perhatian, serta lumayan menggemaskan sekaligus.

"Chan, bukannya kamu besok ada meeting ya?"

"Eh, kok kamu tahu?"

"Tadi, kamu sendiri yang bilang di kafe."

"Oh, iya juga ya?"

"Semisal kamu sibuk, kamu tidak perlu menjengukku di kafe ya. Kamu sudah mulai masuk ke dunia kantoranmu, aku mohon kamu fokus pada diri sendiri."

"Tak apa, aku senang kok melakukan ini semua."

Tapi aku tak ingin kamu seperti itu.

"..."

"..."

"..."

Kami sama-sama terdiam, dengan otakku yang berusaha mencairkan sambungan ini. Aku sedang berada dalam posisi yang begitu dilema.

Pria sebaik dia membuatku tak nyaman karena takut untuk kembali memberatkan.

Ting tong!

"Chan, maaf ya. Di luar ada orang."

"Semalam ini?"

"Iya, mungkin ada sesuatu."

"Jangan dimatikan teleponnya, aku akan menunggu."

"Jadi aku bawa saja ponselku?" Tanyaku seraya bangkit dan mendekati pintu luar. Mendengar dehemannya yang sepertinya setuju, aku pun mengintip pemandang luar melalui lubang kecil pintu. Aku heran saat menemukan sebuah teddy bear di luar sana.

Dahiku mengernyit, lantas membuka benda persegi panjang di depanku. "Ini siapa—"

"Na, malam ini awan sangat indah."

Dalam sekejap kakiku seolah membeku, mendengar ucapan yang hampir sama dengan apa yang selalu kudengar di masa lalu.

"Di luar ada bunga, banyak sekali yang sedang bermekaran!"

Lambat laun nafasku terengah.

"Malam ini sangat indah, ada beberapa klakson dari kendaraan kan yang menciptakan keramaian, bukan?"

Penjelasannya hampir sama, namun orangnya berbeda.

"Tada!"

Aku dibuat terkejut meski sudah tahu, menemukan sosok Lee Haechan yang muncul dari balik boneka cokelat gendut itu, tentu, masih dengan kemeja kantorannya.

Kututup ponselku dan berusaha tersenyum, menyambut pria yang sudah begitu repot datang kemari.

"Chan."

"Tadi aku lewat di toko boneka, aku tak tahu mengapa aku teringat akan wajahmu. Cukup tak jelas, bukan?"

Aku kurang paham.

"Ini buat kamu, Euna."

"Aku?"

Haechan mengangguk.

"Makasih banyak, Chan. Kamu seharusnya tak perlu serepot ini."

"Hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja."

Hanya, dan itu telah berlangsung selama beberapa bulan lamanya. Aku takut, aku takut kalau itu ternyata lebih dari hanya.

"You okay?"

Aku mengangguk. "Ya."

Kutatap sorot matanya yang damai, menyadari bahwa Haechan pasti tau bila aku berbohong meski dia menutupinya dengan senyuman. Aku menerima hadiahnya, sudah seharusnya karena aku merasa senang masih ada yang memperhatikanku dengan meluangkan hal berharga: yakni waktunya.

Namun di sisi lain, ada hal yang juga membuatku kesal pada diri sendiri.

Aku sulit melihatnya sebagai seorang pria menyayangiku, sebagai seseorang yang selalu ada. Semuanya masih terasa sulit, sangat sulit.

Sincerely.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang