Menjadi pembaca yang baik itu tidak sulit, tolong hargai karya singkat ini dengan meninggalkan jejakmu ya.
Umumnya, ketika manusia terbangun di pagi hari cerah, mereka akan menemukan seberkas cahaya. Ya, setidaknya seberkas, atau bahkan hanya secuil cahaya. Berharap hari-harinya akan indah dan mudah untuk sebuah alasan meski cukup sederhana.
Make today amazing, kata para motivator.
Aku sendiri sudah enggan mengharapkan sesuatu yang berada di atas langit sana. Karena harapanku saat ini hanya satu. Aku akan kembali melihat dunia, bukan ketika aku hanya bermimpi, dan semuanya seolah menghilang tergantikan gelap gulita di saat aku telah terbangun.
Sepertinya, kalian sudah bisa menebak bukan?
Ya, aku adalah seorang gadis buta.
Semua bermula sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya seminggu setelah hari kelulusanku. Waktu itu mataku secara tidak sengaja tersentuh gas beracun akibat insiden yang terjadi di sebuah pusat perbelanjaan. Hari yang seharusnya indah itu berujung tragis, dan aku harus berpisah dengan penglihatanku di luar dugaan.
Well, bila ditanya aku sedih—ya pastinya sedih. Tapi aku enggan berlama-lama bersama air mataku, karena mau bagaimana pun juga, dunia tak seperduli itu.
Setidaknya aku masih bisa berjalan, merasakan bumi yang berputar, meski itu sekadar berjalan tanpa arah, pun menghentikan pijakan saat mendengar intrupsi dari petugas stasiun melalui speaker itu.
Aku masih bisa mendengar orang berlalu-lalang yang beberapa di antaranya tak sengaja menyambar bahu dan tongkat yang menjadi pemandu langkahku. Tak lupa dengan suara deru kereta yang kencang hingga menghempaskan angin.
Tak masalah dengan orang-orang yang tidak peduli, tidak apa bila mereka tak ingin menganggap aku ada. Namun, jangan sampai mereka hendak mencelakakan orang sepertiku.
"Eh, stop."
Seseorang mencegat tanganku.
"Mau ke mana? Bahaya sekali, itu kan rel kereta."
Aku menjadi bingung, dan sepertinya dia juga.
"Oh, kamu—"
Aku tersenyum.
"Maaf ya, aku kira kamu sengaja ingin ke rel keretanya. Kamu sendirian?"
"Iya."
"Kamu mau ke mana?"
Aku tidak tahu rupanya seperti apa, aku pun tak tahu tingginya sebagaimana. Yang aku tahu, dia adalah seorang lelaki. Begitu jelas dari suara rendahnya yang juga membuatku menebak bahwa mungkin saja kami sepantaran.
"Tiket kamu mana?"
Pelan-pelan, tuan.
Aku menyodorkan tiket padanya yang biasanya aku berikan ke petugas penjaga di sekitar sini. Uniknya, hari ini dia yang lebih dulu menghampiriku daripada si petugas.
"Oh, tujuan kita sama."
"Kenapa?"
Wajahnya mendekat persis di sampingku, aku bisa merasakan itu. "Tujuan kita sama. Kamu bersama aku saja ya?"
"Uh—" dehemku ragu.
"Sumpah, aku tidak akan bertindak jahat. Aku hanya tidak bisa membiarkan kamu sendirian seperti ini."
"Ah, begitu ya."
"Iya. Nah itu keretanya sudah datang, sini aku pegang. Hati-hati jalannya."
"Kamu mau ke mana? Apa kamu tidak terlambat jika kamu menemaniku?"
"Iya, tenang saja."
"Terimakasih, ya."
Dia menuntun langkahku dengan satu tangannya bertengger di bahuku. Ternyata dia serius dengan ucapannya yang ingin menemani gadis tunanetra sepertiku. Bahkan ketika di dalam kereta dia sama sekali tidak pergi, dia terus ada di dekatku.
"Maaf, teman saya membutuhkan kursi untuk duduk. Kasihan bila dia terus berdiri, dia sedang sakit."
"Eh, aku tidak perlu—"
Aku tidak paham dia sedang apa, namun dia beralih menggenggam tanganku agar diam. Tidak lama berselang dia membuatku duduk di hadapannya setelah meminta kursi itu dari orang lain.
"Kamu terlalu repot, aku jadi sungkan padamu."
Dia tertawa renyah. "Memang kamu lebih membutuhkan kursi ini daripada orang yang tadi, kok."
"Oh ya? Hm, itu—kalau kamu mau pisah dari aku sekarang, tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri."
"Kenapa?" Dia seperti menunduk, menyebabkan tubuhku sedikit maju untuk mengulang ucapanku yang tadi. "Oh, tidak. Jangan terlalu dipikirkan, toh aku yang mau menemanimu." Balasnya.
Seperti yang aku katakan, aku tidak pernah peduli kalau orang-orang akan menatapku aneh akan kekuranganku. Namun aku takut kalau saja mereka menatap lelaki ini karena sedang meringkuk bersama gadis sepertiku.
"Nama kamu siapa?"
"Ya?
"Nama kamu."
"Oh." Dia kembali tertawa ringan. "Jeno, Lee Jeno."
"Kamu kuliah?"
"Iya, tapi aku mau kerja dulu. Part time di kafe, kebetulan stasiunnya sama dengan tujuan kamu. Kalau kamu namanya siapa?"
"Euna."
"Wah cantiknya."
Aku tertawa, dia juga. Jeno kemudian berjongkok sepenuhnya di depanku sambil tergelak ringan, masih dengan menggenggam jemariku. Uniknya, sentuhan Jeno tidak membuat risih atau risau, karena dia sangat tanggap menempatkan dirinya sebagai orang baru.
Biasanya aku sekadar berdiam diri di atas kereta, menunggu pemberhentian berikutnya. Merasa seperti orang dungu di saat orang lain pasti sedang menggenggam ponsel masing-masing.
Tapi lihat, kini aku sedang menggenggam tangan Lee Jeno.
Seperti apa ya wajahnya?
"Jeno."
"Iya."
"Kamu mau jadi temanku?"
"Aku?"
"Iya."
"Hm, bagaimana ya?"
"Kenapa?"
"Aku bukan orang baik."
Tapi, suara lembutmu lebih daripada indahnya suara sahutan paus di lautan lepas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely.
Hayran Kurgu[✓.] Buta yang kualami membuatku tak mampu lagi melihat indahnya hidup. Tak kusangka, kehadiran seorang Barista bernama Lee Jeno mampu menggambarkan eloknya dunia dalam kegelapan ini. © HATESTRAWBERRY