Sad, Bad, & Mad

716 104 68
                                    

Ini panjang!

Enjoy!





Sudah empat hari berlalu sejak acara pemakaman Song Kwangmin, baik Mark maupun Jihoon sama-sama mengurung diri di kamar setelah pulang dari rumah duka.

Meski sama-sama terpuruk, kondisi Jihoon masih lebih baik karena tetap membiarkan pelayan masuk ke kamarnya untuk mengantarkan makanan. Sedangkan Mark benar-benar kacau, ia mengunci pintu kamar dan membiarkan perutnya kosong selama dua hari.

Pada hari ketiga Sean akhirnya nekat masuk dengan menggunakan kunci cadangan. Entah bagaimana caranya membujuk Mark yang kerasnya melebihi batu, yang jelas dia berhasil membuat Mark menelan beberapa suap nasi.

Seperti tiga hari belakangan, hari ini Jihoon menghabiskan paginya dengan berbaring nyalang, menatap hampa langit-langit kamarnya yang berlukiskan langit biru cerah.

Kedua matanya bengkak karena menangis setiap malam, rasa sesak dari penyesalan dan kejengkelan terus menghantuinya hingga sulit terlelap.

Entah berapa lama ia dalam posisi itu hingga tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Jihoon tak begeming dari keasikannya menatap, punggungnya seolah terpaku pada kasur. Ngomong-ngomong itu siapa ya? pelayan? Eh, tapi sekarang jam berapa? Memang sudah waktunya makan siang?

“Ji…”

Suara berat itu membuat nyawa Jihoon yang separuhnya melayang entah kemana tertarik kembali.

Jihoon bangun dengan lesu dan disambut wajah khawatir Haruto yang entah sejak kapan sudah duduk di tepi ranjang, ada empat kawannya juga,”Oh, hanya mereka rupanya….”batinnya.

Keduanya berpandangan, tanpa keinginan untuk bicara, hanya saling memandang selama beberapa menit. Empat orang di belakang Haruto juga membisu, tak bergeming dari posisi mereka.

“Kisah cinta mereka sudah lengkap sekarang,”Jihoon akhirnya buka suara, nadanya datar senada dengan ekspresi wajahnya,”Sang raja sudah bertemu lagi dengan pujaan hatinya, kisah tragis mereka sekarang sudah berubah happy ending.”

Haruto menghela nafas pelan,”Ke sini,”Ia menarik tangan Jihoon pelan supaya beringsut mendekat.

Jihoon beringsut ke tepi ranjang, berhenti di sebelah Haruto, dan menurunkan kedua kakinya menggantung di atas lantai.

Perlahan Haruto menariknya, mendekapnya, dan menepuk-nepuk kepalanya pelan,”Tapi si bungsu pangeran pasti sedih kehilangan orang tuanya kan.”

“Tidak,”Jihoon menyamankan dagunya di pundak Haruto,”Yang lebih sedih itu putra mahkota, kan dia anak kesayangan.”

“Jadi si pangeran tidak sedih hmm?”

Jihoon menggeleng lemah,”Untuk apa, buang-buang air mata, kan mereka sekarang bahagia, kenapa malah ditangisi.”

“Tapi mata si pangeran kelihatannya bengkak.”

“Itu karena begadang.”

“Begadang? Begadang karena sedih dan menangis?”

“Bukan, si pangeran kebanyakan minum kopi.”

“Bukannya si pangeran masih kecil?”

“Permen kopi kan ada, boleh dimakan anak-anak.”

“Kalau tidak sedih harusnya si pangeran tertawa kan.”

Jihoon mendorong Haruto pelan, sekali lagi mereka bertatapan dan Jihoon tertawa kecil, tawa yang sangat-sangat dipaksakan,”Sudah tertawa kan?”

TREASURE [The Death Of Shiroibara] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang