Wow! Apakah aku sedang melihat seorang pangeran yang berwajah tampan? Atau … ini hanya halusinasiku saja?
Wanita itu menepuk-nepuk pipinya, mencoba menyadarkan diri, menyangka bahwa dirinya sedang bermimpi. Namun, ini nyata. Dia sedang berhadapan dengan malaikan berparas sempurna.
Garis rahangnya tampak tegas, diselimuti tipis bulu-bulu jambang di dagunya serta di hiasi hidung yang bangir. Tubuhnya terlihat gagah dengan dibalut kemeja putih dan lengan panjang yang digulung hingga siku. Semakin terlihat sempurna pesona ketampanannya.
“Eh, iya. Maaf,” sahut Puspita. Kemudian ia berdiri di depan Andreas di seberang meja kerja.
Andreas mengibaskan tangannya. Mengisyaratkan agar John yang sedang berdiri di belakang pintu, keluar meninggalkan mereka berdua.
John sangat mengerti isyarat itu. Tanpa ada perintah kedua, dia pun segera angkat kaki. Dia tak peduli apa yang akan terjadi dengan wanita itu. Dia hanya memikirkan keselamatan nyawa dan pekerjaannya saja.
Ruangan tampak hening. Hanya mereka berdua yang terdiam membisu. Ruang kerja yang luas terpasang mesin pendingin dengan suhu rendah. Mampu membekukan aliran darah siapa pun yang masuk ke ruang ini. Apa lagi harus bertemu dengan Tuan Muda Andreas yang siap untuk menerkam siapa pun yang menurutnya sudah tak layak bekerja dengannya.
Dari kursi kebesarannya, lagi-lagi Andreas bersikap dingin. Tangan ia lipat di depan dadanya sambil duduk merebahkan bahunya di sandaran kursi. Matanya liar menatap wanita itu. Menyusuri dari pucuk kepala, hingga ujung kaki.
Wanita itu semakin gugup. Kedua kakinya yang beralas sandal jepit samar-samar gemetar, dengan kedua telapak tangan yang ia satukan di depannya. Dia menggigit bibirnya yang merah tanpa polesan. Menahan debaran jantung yang berirama di luar batas normal, agar tak terdengar dari luar dadanya. Wanita itu merasa seolah-olah sedang dilucuti. Sehingga membuatnya menjadi salah tingkah dan tak nyaman dengan tatapan Andreas.
Tuhan, apa yang akan dia lakukan padaku? Apakah sebaiknya aku keluar saja dari ruangan ini? Atau, tetap berdiam di sini hingga mengetahui apa yang akan dia lakukan padaku? Awas saja, sampai dia macam-macam terhadapaku, aku akan teriak sekencang-kencangnya. Wanita itu bergumam seraya mengepalkan kedua tangannya. Bersiap-siap mengambil sikap jika kejadian yang mencurigakan akan menimpa dirinya.
“Ma-maaf, Tuan. Kata penjaga tadi, Tuan memanggil saya. Apakah itu benar?” pertanyaan wanita itu membuka kesunyian.
Andreas tak langsung menjawab. Dia bangun dari sandarannya. Mencondongkan tubuhnya mendekati meja. Kedua tangannya yang gempal terjulur dan menumpuh di atas meja. Sehingga tiga kancing bagian atas kemeja putihnya tersingkap, memperlihatkan sebagian bulu-bulu yang tumbuh di dadanya.
“Lebih dekat lagi.” Andreas menjentikkan jari telunjuknya. Memerintahkan kepada wanita itu untuk lebih dekat di hadapannya.
Wanita itu menuruti perintah Andreas. Dengan kaki yang masih gemetar ia maju dua langkah dan berdiri di samping antara dua kursi.
“Heeemmm … lumayan. Nggak jelek-jelek amat,” ucap Andreas lirih nyaris tak terdengar. Membuat wanita itu memiringkan kepalanya, berusaha mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Andreas.
“Apa, Tuan?”
Andreas tersenyum miring sambil menghentakkan napas tipisnya. “Siapa nama kamu?” Andreas mengalihkan pertanyaan Wanita itu.
“Puspita. Nama saya Puspita, Tuan.” Dengan penuh semangat wanita itu menjawab dan membalas tatapan Andreas. Walau rasa was-was masih menyelimutinya. Dia lupa dengan kalimat sebelumnya yang di ucapkan pria itu.
Mendengar Puspita menyebutkan namanya, kembali Andreas memiringkan senyumannya, sinis. “Puspita … Cih! Nama yang jelek, sejelek penampilannya.”
“Apa maksud, Tuan? Itu adalah nama terbaik yang diberikan ibu saya. Dan saya bangga dengan nama itu. Anda jangan pernah menghina nama saya. Walaupun penampilan saya tidak menarik di mata Anda, Tuan!” Puspita mengangkat kepala. Matanya tajam menatap Andreas yang tak peduli dengan reaksinya. Wanita itu tak terima. Dia protes atas ucapan Andreas yang menurutnya sangat merendahkan. Seketika saja rasa gugup itu pun hilang berganti dengan kekesalan.
“Kenapa? Nyatanya seperti itu. Tidak terima?” jawab Andreas acuh.
“Puuus … Puuus … meong,” oloknya dengan gelak tawa yang menggelegar memenuhi ruang.
Huh! Ternyata sifatnya tidak setampan wajahnya. Dasar manusia tak punya akhlak! Dengus Puspita kesal.
Puspita menyimpulkan dan menghubungkan bahwa cerita penjaga tadi benar, pria yang berada di depannya ini adalah orang yang tak punya hati. Seenaknya saja dalam menilai orang yang baru saja dia kenal. Dan bisa dipastikan, setiap mengambil keputusan sudah tentu seenaknya saja tanpa memikirkan akibat yang akan diderita oleh orang lain.
Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa. Puspita kembali berpikir dan berharap agar besok dia bisa kembali bekerja di rumah ini dan mendapatkan upah paling tidak bisa membeli makanan untuk neneknya yang sudah renta. Yang sudah tak sanggup lagi bekerja sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang kaya di sekeliling rumahnya. Jadi, Puspita harus bisa menggantikan posisi neneknya sebagai tulang punggung keluarga.
“Lalu, untuk apa kamu ada di sini?”
“Sa-saya ingin bekerja, Tuan,” jawab Puspita cepat walau hatinya masih berdenyut kesal. Dia berharap Andreas menerimanya.
“Bukannya John sudah kasih tahu, kalau di rumah ini tidak menerima pekerja? Semua job sudah terisi oleh pekerja-pekerja yang ada di sini. Jadi, silakan kamu cari di tempat lain saja. Saya rasa, di luar sana banyak pekerjaan dan tempat yang lebih cocok untukmu.”
“Tapi saya ingin bekerja di sini, Tuan. Tolong lah saya, Tuan. Supaya saya bisa membelikan sekadar makanan untuk Nenek.” Puspita menundukkan kepala. Dia memohon dan melupakan kekesalannya demi sebuah pekerjaan untuknya.
“Nenek?”
“I-iya, Tuan. Sejak lahir saya tinggal bersama Nenek. Ibu saya meninggal sejak melahirkan saya. Sedangkan Ayah saya, entahlah. Dari usia saya lima tahun dia pergi meninggalkan kami. Sampai saat ini kami tidak pernah mengetahui kabarnya, apakah dia masih ada atau tidak. Bahkan saya sudah lupa dengan wajahnya,” beritahu Puspita. Wajahnya tampak memelas, mengenang masa kecilnya yang pahit, tanpa kasih sayang dari orang tuanya. Semula menatap Andreas penuh permohonan, seketika menunduk lemas.
Suasana ruang kerja kembali hening. Andreas memainkan ujung jemari di bibirnya dan menatap lekat Puspita. Tak lama kemudian dia tersenyum sinis sambil mendengus, “cih! Itu bukan urusan saya.”
Sebuah amplop cokelat yang dia ambil dari laci meja kerjanya, diletakkan di atas meja. Kemudian, Andreas beranjak dari kursi. Melangkah mendekati Puspita yang masih berdiri terpaku di depan meja kerjanya yang hanya berjarak satu kursi.
“Kira-kira kamu bisa apa? Sampai-sampai kamu lancang dan merasa yakin akan diterima di sini, hah?” Andreas berdiri di belakan Puspita dan mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. Membuat Puspita terlonjak, tak menyangka pria itu berada sedekat ini.
Lancang? Siapa yang lancang? Apakah seseorang yang menginginkan suatu pekerjaan dikatakan lancang? Aneh nih orang. Gerutu Puspita dalam hati.
Seketika kuduk Puspita berdiri. Pikiran kotor satu per satu menyusup dalam benaknya. Mau apa dia?
“Ba-banyak, Tuan. Hampir semua kebisaan wanita saya bisa.” Puspita asal menjawab. Walau dia tak berbohong, namun merasa gugup dan risih dengan sikap Andreas yang seakan-akan hendak menelanjanginya.
Mendengar jawaban Puspita, seketika tawa Andreas menggelegar untuk kedua kalinya memenuhi ruang kerja yang semula terasa sunyi. Hingga membuat tubuh Puspita semakin menggigil mendengar tawanya.
Ish! Apakah ada yang salah dengan jawabanku tadi? Puspita gelisah, mencoba mencari kesalahan dari jawaban yang dia sampaikan tadi.
“Termasuk menemaniku tidur?”
Bersambung …!
![](https://img.wattpad.com/cover/270634939-288-k586018.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)
RomancePuspita, seorang gadis yang mempunyai mimpi-mimpi indah. Dia ingin mencari cinta sejatinya. Cinta dari seorang pria yang tulus mencintainya, apa adanya. Namun mimpi itu hancur dalam sekejap di saat seorang pria hadir dalam kehidupannya. Tanpa peduli...