Sampai di rumah kontrakannya yang kecil dan kumuh, berdinding kayu papan yang sudah banyak dimakan rayap. Atap yang hanya ditutup seng sekadarnya terlihat berkarat dan lubang di mana-mana. Jika hujan, banyak bagian seng yang bocor. Sehingga Puspita dan neneknya harus sibuk mencari baskom atau ember sebagai penadang tetesan air hujan yang masuk ke dalam rumahnya. Jika musim panas, udara di dalam rumah kontrakannya terasa pengap. Seperti sekarang ini. Panas, tanpa embusan kipas yang sekadar mendinginkan ruangan.
Dengan hati berbunga Puspita bergegas membuka pintu reot yang tidak dikunci. Tangan kirinya menenteng beberapa kantong makanan sementara tangan kanannya mendorong lebih keras pintu dengan engsel berkarat dan kulit kayu yang mengelupas di sebagian permukaannya. Pintu terbuka, tapi Puspita tak mendapatkan sambutan dari neneknya. Hal yang tak biasa, kemana nenek?
“Nek, Nenek!” Berkali-kali Puspita memanggil, namun tak ada jawaban. Dia mencari neneknya di kamar yang hanya ditutup sehelai korden usang berwarna merah muda pudar. Tak ada juga. Dia bingung harus mencarinya kemana lagi. Sebab, ruang dalam rumahnya hanya terdiri dari kamar dan ruang utama yang digunakan sebagai dapur sekaligus ruang tamu dan makan. Hanya berukuran delapan meter persegi.
Puspita berlari keluar sambil terus memanggil-manggil neneknya. Berharap sang nenek ada di kamar mandi atau tempat untuk mencuci yang berada di luar rumah, biasa mereka gunakan bersama tetangga.
Akan tetapi hasilnya sama. Nenek pun tak ada di sana. Puspita panik dan semakin bingung. Harus ke mana lagi dia mencarinya?
“Bu Maria, lihat Nenek aku, tidak?” tanya Puspita kepada wanita tetangganya yang sedang menjemur pakaian dekat halaman rumahnya.
“Waduh, enggak itu, Neng. Dari tadi ibu sibuk ngurusin anak-anak di dalam. Jadi nggak lihat Nenek, deh. Mungkin Nenek lagi ke warung, Neng,” jawab ibu itu sambil melanjutkan pekerjaannya.
“Oh, ya. Bisa jadi ya, Bu. Ya sudah, Puspita coba cari Nenek ke warung. Siapa tahu dia ada di warung dekat-dekat sini.”
“Lebih baik begitu, Neng.”
“Ya, Bu. Puspita cari Nenek dulu. Terima kasih ya, Bu Maria.”
Puspita berlalu untuk mencari nenek setelah berpamitan dengan Bu Maria tetangganya. Namun baru beberapa langkah ….
“Puspita!” Seketika gadis itu menoleh, mencari suara yang tengah memanggilnya. Dia mengernyitkan dahi. Melihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang tergopoh menghampirinya. Puspita memastikan bahwa dia mengenal laki-laki itu.
“Ya. Apakah saya mengenal Paman?” Puspita memiringkan kepalanya. Mencoba mengingat-ingat pria yang sudah berada di hadapannya saat ini.
“Eh, tidak. A-anu … sa-saya Pedro.” Pria berambut putih itu seketika tergagap. Suaranya agak gemetar saat memperkenalkan diri. Matanya menatap Puspita sendu. Dia takut Puspita tak berkenan berbicara dengannya.
“Ah, iya, Paman. Saya Puspita. Saya sedang mencari Nenek. Apa Paman Pedro tahu Nenek saya ada di mana?”
“Yah.” Pedro mengangguk berulang-ulang.
“Dimana dia sekarang, Paman?” Puspita meraih kedua bahu Pedro dan mengguncang-guncang tubuh Pria itu. Pria setengah tua berbadan kurus tak terurus itu maju mundur mengiikuti gerak akibat gucangan yang dilakukan Puspita.
Pedro terdiam sejenak. Dia menghela napas. Mencoba mengatur udara yang dihirupnya kemudian kembali diembuskannya.
“Nenek kamu ….”
“Nenek aku kenapa, Paman? Di mana dia sekarang? Dia baik-baik saja, kan?” berondong Puspita tak sabar menunggu Pendro menyelesaikan kalimatnya.
“Nenek … di mana kamu? Apa yang sudah terjadi denganmu, Nek?” Puspita menangkupkan kedua telapak tangan hingga menutupi wajahnya. Isakannya pun mulai terdengar. Kristal-kristal bening mulai mencair dan membanjiri kelopak matanya.
“Sabar, Puspita.” Pendro mencoba menenangkan Puspita. Tangannya yang gemetar perlahan menepuk bahu gadis itu.
“Nenek aku di mana? Katakan, Paman,” tanya Puspita seraya menurunkan telapak tangannya dari wajah. Dia memandangi Pedro dengan tatapan yang nanar. Berharap Pedro segera memberitahunya.
“Tadi, saya mengantar Nenek kamu. Dan, dia sekarang ada di rumah sakit.” Pelan Pedro menyampaikan. Dia tak ingin Puspita shock mendengar berita ini.
“Di rumah sakit? Dia kenapa? Di rumah sakit mana? Ayo, Paman. Tolong antar saya ke rumah sakit. Cepat, Paman. Cepat!” Tanpa berpikir panjang Puspita menarik tangan Pedro. Dia tak peduli sikapnya mengundang perhatian tetangganya. Membuat satu per satu penghuni pemukiman itu keluar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan Puspita.
Gadis itu ingin cepat-cepat menemui neneknya. Dia sangat mengkhawatirkan kondisinya.
“Puspita. Ada apa, Neng? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Bu Maria tetangga yang sempat ditanyai Puspita saat menjemur pakaian tadi.
“Nenek aku, Ibu. Nenek aku di rumah sakit,” jawab Puspita yang tak dapat membendung tangisnya.
“Di rumah sakit? Sakit apa? Perasaan tadi Nenek baik-baik saja. Tadi pagi dia masih sempat ngobrol kok sama aku di sini,” sahut tetangga yang berada di seberang rumah Puspita.
“Belum tahu, Bik. Aku juga pengin lihat Nenek dulu. Minta doanya saja ya, Bik, Bu Maria. Supaya Nenek nggak kenapa-kenapa.”
“Ya, ya, Neng. Mudah-mudahan Nenek nggak kenapa-kenapa. Sehat-sehat saja. Kamu yang sabar, ya.” Bu Maria menyahut. Mencoba menenangkan Puspita.
“Terima kasih, Bu.” Puspita mengangguk.
“Bu Maria, Bibik, titip rumah aku, ya,” imbuh Puspita sambil mengusap air matanya. Dia berjalan sambil menarik tangan Pedro. Hingga pria itu terseok-seok mengekor langkah Puspita.
***
“Nenek. Nenek!” Puspita segera berhambur memeluk neneknya yang masih terkapar di atas ranjang di dalam kamar perawatan. Gadis itu menciumi pipi sang nenek yang sudah mulai terlihat kempot dan keriput dibagian kulitnya. Tak henti-hentinya ia meratap di samping neneknya.
“Kenapa Nenek bisa sampai di sini? Apa yang sudah terjadi, Nek?” Puspita meraih tangan neneknya. Dia mengepalnya dan berkali-kali menciuminya. Namun, nenek masih diam tak menjawab walau matanya terbuka dan memandang Puspita dengan sayu.
“Maaf, Nona. Apakah anda keluarga dari Nyonya Gracia?” Tiba-tiba suara wanita menegur Puspita dari balik punggungnya.
Dengan cepat Puspita menoleh. “Ya, betul. Apa yang terjadi dengan Nenek saya, Suster?”
“Bisakah Nona ikut saya untuk menemui Dokter?”
“Tentu. Tentu, Suster,” jawab Puspita tak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan neneknya.
“Kalau begitu, mari ikut saya.” Tanpa ada perlawanan, Puspita mengikuti langkah perawat itu dengan berjuta rasa penasaran.
Sampai di sebuah ruang, perawat itu menghentikan langkahnya. Mengetuk pintu, kemudian membuka tanpa menunggu perintah masuk dari dalam. “Selamat siang, Dok. Salah satu keluarga Nyonya Gracia sudah ada yang datang. Apakah Dokter mau berbicara dengan keluarga pasien sekarang?”
“Oh, ya. Tentu. Lebih cepat mereka mengetahuinya, itu akan lebih baik,” jawab dokter itu menyambut Puspita dan perawat itu dengan senyum yang ramah.
“Silakan, Nona.” Perawat itu menggeser kusir mempersilakan Puspita duduk di seberang meja berhadapan dengan dokter yang akan memberikan penjelasan. Sedangkan perawat itu, berdiri di sisi lain meja sambil mempersiapkan beberapa file yang akan disampaikan dokter pada Puspita.
Jantung Puspita berdebar. Pikirannya kosong. Dia tak tahu sesungguhnya apa yang telah terjadi dengan neneknya. Sehingga dokter rumah sakit ini memanggilnya secara pribadi di ruangannya hanya untuk memberitahukan tentang kondisi neneknya.
Bersambung …!
KAMU SEDANG MEMBACA
PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)
Storie d'amorePuspita, seorang gadis yang mempunyai mimpi-mimpi indah. Dia ingin mencari cinta sejatinya. Cinta dari seorang pria yang tulus mencintainya, apa adanya. Namun mimpi itu hancur dalam sekejap di saat seorang pria hadir dalam kehidupannya. Tanpa peduli...