Perang

12 0 0
                                    

“Pus Meong, tunggu!” Suara seorang pria yang dirasa pernah dia kenal, memanggilnya.

Puspita terdiam sejenak. Gadis itu mencoba mengingat-ingat, kira-kira siapa yang telah memanggilnya dengan gaya panggilan yang menjengkelkan?

Puspita teringat, dengan orang yang suka memanggil namanya seenaknya saja. Gadis itu menoleh dengan memasang wajah tak suka. Matanya menatap tajam, bagai hendak menghunjam dan mengoyak mulut orang yang telah mengganti namanya.

“Hah! Ternyata Anda yang sedang dikeroyok pemuda-pemuda tadi?” Puspita Mendekat tepat di depan orang itu dengan jarak yang hanya sejengkal.

“Kalau tahu itu Anda, tidak sudi saya mengusir mereka. Sekali pun Anda dilucuti hingga telanjang bulat!” Gadis itu memberi penekanan pada kalimatnya. Matanya membulat dan semakin tajam menatap.

“Dasar pengecut. Beraninya hanya dengan perempuan. Melecehkan bahkan mengganti nama orang seenaknya saja. Lebih baik Anda pergi ke dokter bedah untuk operasi, mengganti kelamin Anda, Tuan.” Nada bicara Puspita semakin penuh kebencian.

“Apa kamu bilang? Berani sekali, kamu bicara seperti itu!” balas orang itu yang ternyata Andreas. Suaranya pelan dengan penekanan. Tangannya mencengkeram lengan Puspita dan menarik hingga tubuh mereka semakin berdekatan. Nyaris tak berjarak.

“Ya, Anda memang pengecut. Kenapa? Anda mau memukul saya? Silakan!” suara Puspita meninggi. Dia memiringkan wajahnya untuk diserahkan kepada Andreas jika pria itu ingin memukulnya. Dia sudah siap bila hal itu terjadi. Maka, gadis itu pun bersiap-siap untuk membalasnya.

Akan tetapi, Puspita salah. Pria itu sama sekali tak memukulnya. Andreas menarik tangannya sedikit kasar agar Puspita mengikuti perintah dia untuk masuk ke dalam mobilnya.

“Mau apa Anda, Tuan?” Puspita memberontak. Menarik-narik tangannya, berusaha untuk melepaskan cengkeraman Andreas. Tapi, semua itu sia-sia. Tangan Andreas semakin mengunci erat. Hingga Puspita tak mampu berbuat apa-apa.

“Anda mau apakan saya, Tuan? Anda sudah menyakiti saya. Lepaskan! Kalau tidak, saya akan teriak. Biar pemuda-pemuda tadi datang dan mengeroyok Anda lagi,” ancam Puspita. Namun, Andreas bergeming. Dia tetap memaksa Puspita untuk masuk ke mobil.

“Sudah, diam saja. Masuk!” perintah Andreas setelah membuka pintu mobil itu. Kemudian tangan kanannya mendorong tubuh langsing Puspita. Sedangkan tangan kirinya diletakkan di bawah chap mobil, agar kepala Puspita tak terbentur atapnya.

“Tidak mau!” Puspita membantah dengan suara yang menyentak.

Gadis itu mengeluarkan lagi kakinya dari mobil. Namun, dengan sigap Pria itu menghadang. Kemudian, memasang sabuk pengaman, lalu bergegas menutup pintu mobil dan menguncinya.

Andreas setengah berlari mengitari bagian depan mobilnya. Kemudian dia duduk di belakang kemudi dan memasang sabuk pengamannya. Lalu, bersiap-siap menyalakan mesin mobilnya.

“Tolong! Tolong! Saya diculik sama penjahat kelamin! Tolong! Saya mau diperkosa! Tolong!” teriak Puspita dari dalam mobil sambil memukul-mukul kaca jendela. Dia memberontak mencoba melepas sabuk pengamannya.

“Hai, hai hai! Bisa diam, tidak, hah? Atau, jangan-jangan kamu memang pengin aku perkosa?”

Mendengar teriakan Puspita yang asal ucap, Andreas pun menoleh ke samping, tempat Puspita duduk.

“Coba saja kalau berani!” teriak Puspita yang semakin menantang.

“Hah!” Andreas tersenyum miring. Tak menghiraukan tantangan Puspita yang semakin brutal. Pria itu menggeleng seraya menyalakan mobilnya kemudian perlahan menjalankannya.

Akan tetapi, baru beberapa meter berjalan, mendadak Andreas menginjak pedal rem.

“Hai! Kamu pengin kita celaka dan mati?!” bentak Andreas. Dia memandangi Puspita dengan tatapan kesal. Karena mencoba merebut setir mobilnya saat dia menyetir tadi. Sehingga mobil jalan berkelok-kelok tak sesuai dengan marka jalan. Sudah tentu hal itu sangat membahayakan.

“Atau, apa memang kamu ingin aku perkosa di sini, hah?” Andreas mencondongkan tubuhnya yang kekar mendekati Puspita. Membuat gadis itu mundur dan terpojok di dinding pintu mobil sambil tangannya mendekap  untuk melindungi bagian tubuh di dadanya.

Wajah Puspita seketika tampak pucat. Tubuhnya gemetar, telapak tangannya menghadap ke wajah Andreas, seolah-olah dia sedang menahan dan memerintahkan Andreas untuk berhenti dan tak mendekatinya. Dia takut Andreas benar-benar akan melakukan perbuatan yang menjijikkan itu.

“Ti-tidak. Jangan, Tuan. Jangan lakukan itu pada saya. Saya mohon.” Dengan wajah menunduk, mata tertutup serta suara yang gemetar, Puspita memohon.

“Mangkanya, diam. Nurut. Nggak usah banyak tingkah.” Andreas kembali menegakkan tubuhnya. Lagi-lagi kepalanya menggeleng. Tangan diusapkan ke wajahnya lalu kembali duduk di belakang kemudi dengan sempurna dan mencoba menyalakan mesinnya.

“Ta-tapi, Tuan. Anda mau bawa saya ke mana? Saya, mau menemui manajer saya. Kalau tidak, saya akan dipecatnya.”

“Manajer? Manajer di mana?” Andreas kembali menoleh. Menatap Puspita dengan memicingkan matanya.

“Manajer di kafe tadi, Tuan. Belum lama, saya bekerja di sana. Jadi, tolong jangan bawa saya pergi.” Puspita memelankan nada bicaranya. Di membetulkan posisi duduknya setela merasa aman dari ancaman Andreas.

“Saya turun di sini saja, Tuan. Biar, saya jalan saja ke kafe tadi,” pinta Puspita kemudian. Gadis itu mencoba membuka pintu itu. Namun, masih terkunci secara otomatis.

Puspita menoleh ke Andreas. “Apa? Silakan kalau mau turun,” tukas pria itu seakan tak peduli.

“Tidak bisa, Tuan. Pintunya masih terkunci.”

“Hah! Dasar kampungan,” sahut Andreas pelan. Dia memutar kemudi berbalik arah menuju kafe.

Melihat hal itu, Puspita tak protes lagi. Dia diam sepanjang perjalanan menuju kafe yang tak jauh dari mobil meninggalkan tempat itu.

Ketika sampai di depan kafe, Andreas membuka kunci automatic dari pintu sebelahnya. “Keluar!” perintahnya sambil memandang angkuh ke luar mobil.

Tanpa menunggu perintah kedua, Puspita segera melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu. Kemudian dia berhambur keluar. Seolah-olah merasa terbebaskan dari belenggu dan ancaman binatang buas yang sedang mengincarnya.

Puspita berjalan menuju kafe tempat dia bekerja. Lalu masuk untuk menemui manajernya.

“Bisakah Tuan Reymon memberikan waktu untuk saya bicara sebentar saja?” pinta Puspita ketika dia bertemu dengan manajernya.

“Ya. Tentu, Puspita. Silakan,” jawab lelaki itu. Tangannya merentang, mempersilakan Puspita untuk duduk di kursi yang berada di hadapannya.

Puspita mengikuti perintahnya. Gadis itu menarik sedikit kursi itu, lalu menjatuhkan tubuhnya di atasnya.

“Ada apa, Puspita?” Reymon menatap ramah Puspita.

“Heeemmm, begini Tuan ....”

“Mulai hari ini Puspita berhenti bekerja di sini.”

Tiba-tiba sebuah suara datang dari balik pintu ruangan Reymon yang terbuka setengah. Reymon dan Puspita hampir bersamaan mengarahkan pandangannya ke pintu.

“Tu-tuan?!” kelopak mata Puspita melebar dan mulutnya menganga. Dia tak mengira Andreas akan menyusulnya. Dan, lebih membuatnya shock, dengan lancang pria itu menyampaikan yang tak pernah Puspita pikirkan.

“Ti-tidak, Tuan Reymon. Saya tidak berniat untuk berhenti bekerja dari kafe ini.” Puspita meralat kalimat Andreas.

Melihat Andreas berdiri dan bersandar di pintu, Reymon beranjak dari kursinya. Wajah pria itu  seketika berseri. Bergegas ia menghampiri Andreas dan mengangsurkan tangannya.

Bersambung ...!

PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang