Siapa Pedro?

18 0 0
                                    

Pedro keluar dari ruang perawatan setelah lebih  dari  tiga puluh menit Puspita menunggu di luar  ruang itu. Gadis itu segera berdiri dan menghampiri pria setengah tua itu.

“Bagaimana, Paman? Paman tak ada masalah kan dengan Nenek?” Puspita menatap wajah Pedro yang tertunduk. Berharap lelaki itu memberikan jawabannya.

“Nenek menyuruhmu masuk,” ucap Pedro tak menjawab pertanyaan Puspita.

Secepat kilat Puspita berlalu dari hadapan Pedro. Menemui nenek Gracia yang masih terkulai di atas ranjang. Kembali dia menempati kursi tadi. Lalu, disusul Pedro yang mengekornya.

Ruang perawatan hening sejenak. Puspita menatap Pedro dan neneknya secara bergantian. Dia merasa ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan darinya. Namun dia tak berani untuk menanyakan. Dia takut penyakit nenek akan kambuh.

Pedro pun tampak gugup. Dia merasa Puspita memerhatikan tingkahnya. Dari wajahnya tersirat ketakutan yang tak bisa dia sembunyikan. Dia takut jika Puspita marah besar kepadanya.

“Puspita, kamu sudah mengenal pria itu?” Tiba-tiba suara nenek Gracia yang parau membelah kesunyian.

“Ya.” Puspita mengangguk. “Tadi saat aku mencari Nenek, Paman Pedro datang memperkenalkan dirinya dan memberitahuku kalau Nenek di rumah sakit. Paman juga mengantarku ke mari,” beritahu Puspita pada neneknya.

“Bukan begitu, Paman?” Puspita menoleh pada Pedro, meminta persetujuan kepada pria yang baru saja dia kenal.

“I-iya. Benar.” Pedro mengangguk, membenarkan ucapan Puspita. Tetapi dia tak berani membalas tatapan gadis itu. Pria itu masih saja menunduk.

“Harusnya kamu sendiri yang memberitahukan pada Puspita, Pedro.” Nenek Gracia menyarankan.

“Ti-tidak, Bu. Maaf, saya tidak punya keberanian untuk itu. Saya takut Puspita akan marah pada saya.”

“Ada apa ini?” tanya Puspita yang terlihat kebingungan mendengar pembicaraan Pedro dan nenek Gracia.

“Dasar pengecut. Kenapa harus takut? Bukankah itu adalah ulahmu sendiri yang sudah bertahun-tahun menelantarkan anakmu. Lihat, dia sekarang sudah tumbuh dewasa dan menjadi gadis yang cantik.” Nada suara nenek Gracia datar, namun mampu menembus jantung hingga ke ulu hati.

Sekilas mata Pedro terlihat berembun. Bergegas Pedro menengadahkan kepalanya untuk menyembunyikan agar air matanya tak jatuh.

Kalimat nenek Gracia semakin membuat Puspita tak mengerti. Dia bingung, mengarah ke mana pembicaraan neneknya.

“Maksud Nenek?” Kedua tangan Puspita menengadah, meminta penjelasan kepada neneknya. Sekali lagi Puspita memandangi Pedro dan neneknya, secara bergantian.

“Kamu sudah dewasa, Puspita. Jadi sudah waktunya kamu harus tahu.”

“Puspita belum mengerti apa maksud Nenek.”

“Puspita, Sayang. Pedro adalah ayahmu.” Akhirnya nenek Gracia membuka rahasia itu.

Mendengar ungkapan itu, seketika Puspita terperanjat. Dia bingung apa yang harus dia ekspresikan. Antara bahagia, sedih dan marah. Semua rasa itu bercampur menjadi satu.

“Ja-ja, ja-jadi Paman Pedro ini adalah Ayahku?” pertanyaan Puspita mengulang kalimat neneknya.

“Ya. Ayah yang selama ini meninggalkanmu tanpa ada rasa tanggung jawab sedikit pun.”

Nenek Gracia terbatuk. Telunjuk tangannya menunjuk ke meja kecil, mengisyaratkan agar Puspita mengambilkan dia minum.

Puspita mengerti itu. Dia pun bergegas mengambilkan sebotol kecil air mineral. Dimasukkannya pipa penyedot sebagai penghantar air dari botol ke mulut, lalu di angsurkan botol itu mendekat ke bibir nenek.

Setelah beberapa tegukan nenek meminum air mineral itu, kembali dia melanjutkan ceritanya.

“Dia pergi karena Nenek usir.”

“Kenapa Nenek mengusirnya?” Puspita tak sabar menunggu kelanjutan cerita neneknya.

“Karena Nenek sudah capek. Nenek kesal dengan kelakuannya. Semenjak Ibumu meninggal. Dia selalu mabuk-mabukan. Dan lebih parahnya lagi uang nenek sering hilang karena dicurinya untuk bermain judi. Padahal uang itu upah dari nenek mengambil cucian dan untuk membeli susu serta keperluanmu saat itu,” kenang nenek Gracia. Napasnya pun tersengal karena menahan emosi yang mulai tersulut. Mengingat kejadian saat itu.

Melihat nenek Gracia yang sepertinya anfal, Puspita bergegas mengambil alat untuk memanggil perawat. Namun, nenek Gracia menahan tangan Puspita untuk menekan tombol pemanggil perawat. Sehingga Puspita mengurungkan niatnya. Dia membantu wanita tua itu bangun untuk duduk bersandar.

“Benarkah itu, Paman? Eh ... heeem, A-Ayah?” tanya Gadis itu dengan panggilan yang masih terasa asing untuk diucapkan. Puspita menatap Pedro. Menunggu dengan sabar jawaban darinya.

“Be-be, be-benar.” Pedro mengangguk. Bergegas dia mendekati Puspita dan tiba-tiba saja lelaki itu berlutut di depan putrinya.

“Maafkan Ayahmu yang sudah tak bertanggung jawab ini, Nak. Ayah menyesal telah menelantarkan kamu bersama nenekmu. Ayah berjanji akan menebus semua kesalahan Ayah selama ini.”

Tangis Pedro pun pecah. Seketika memenuhi ruang perawatan yang kebetulan saat ini hanya nenek Gracia saja berada di dalam ruang tersebut. Tak ada pasien lain yang seharusnya menempati empat ranjang yang lain dalam satu ruang itu.

Melihat Pedro bertekuk lutut, Puspita segera membangunkan Ayahnya. Hatinya tersentuh. Perasaannya pun terbawa suasana haru yang diciptakan oleh Ayahnya. Sehingga dia lupa jika dia harus marah dengan Ayahnya yang sudah lama meninggalkan dia.

“Bangun lah, Ayah. Tidak sepantasnya Ayah berlaku seperti ini. Aku sudah memaafkan Ayah sejak lama. Jadi, Ayah jangan pernah takut lagi padaku.”

Puspita mengangkat bahu Pedro, menuntun agar lelaki itu bangun dari berlutut.

Pedro menurut. Pria berumur lima puluh tahun itu bangun, lalu memeluk putrinya dengan erat. Air matanya pun tak dapat dibendung hingga mereka bagai beradu tangis.

Nenek Gracia yang menyaksikan drama itu pun tak dapat menahan air matanya. Suasana haru juga menghampirinya.

“Tapi, Pedro. Kamu harus benar-benar mengingatnya. Jangan pernah mengulangi lagi perbuatan burukmu yang bisa menyengsarakan anakmu. Dan, kamu harus berjanji itu.” Nenek Gracia mengingatkan. Wanita tua itu sesekali mengusap matanya dengan lengan bajunya.

Pedro melepaskan pelukannya. Berganti meraih tangan nenek Gracia kemudian menggenggamnya. Meyakinkan bahwa dia benar-benar menyesal.

“Baik, Ibu. Saya janji, saya akan selalu mengingatnya."

“Mulai sekarang, Ayah bisa tinggal bersama kami. Tapi sayang, Ayah tidak bisa tidur di kamar bersama kami. Mungkin Ayah bisa tidur di sofa. Atau, biar nanti Puspita belikan matras sebagai alas untuk ayah tidur.” Puspita menawarkan. Dia berharap Pedro tak keberatan.

“Ah, tak papa. Bertahun-tahun saya sudah terbiasa menggelandang di kota. Jadi, walau tidur di luar, saya pun bisa.” Ungkap Pedro.

“Baiklah kalau begitu, Ayah. Mulai sekarang kita bisa berkumpul kembali seperti keluarga lainnya.”

“Terima kasih, Puspita, Ibu. Kalian sudah memaafkan saya dan mengizinkan saya untuk tinggal bersama lagi. Saya berjanji akan menebus semua kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan.”

“Sudahlah, Ayah. Tak perlu mengungkit-ungkit masa lalu lagi. Lebih baik kita membuka lembaran baru. Agar kita bisa terus bersama. Aku bahagia sekali masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dan berkumpul lagi dengan Ayah. Puspita rindu Ayah.”

Puspita memeluk kembali Ayahnya. Menyandarkan kepalanya di dada Pedro. Seolah-olah saat ini dia menemukan sebuah barang yang lebih berharga dibandingkan uang yang telah diberikan oleh Tuan muda Andreas. Sehingga rasa kesal yang menyelimuti hatinya karena Ayahnya yang tak bertanggung jawab, kini sirna begitu saja.

Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Ayah yang selama ini aku rindukan. Gadis itu tampak begitu bahagia dengan kehadiran Ayahnya kembali di tengah-tengah kehidupannya.


Bersambung ...!

PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang