“Apa hubungan Anda dengan Nyonya Gracia, Nona?” dokter yang usianya sekitar lima puluhan itu menatap Puspita. Kedua tangannya saling mengepal di atas meja.
“Saya ... cucunya, Dokter.” Puspita masih belum mengerti arti tatapan dokter itu. Yang dia tahu hanyalah kecemasan memikirkan kondisi neneknya.
“Apakah tidak ada anggota keluarga yang lebih dewasa lagi?”
“Ti-tidak, Dokter. Saya satu-satunya cucu Nenek dan keluarganya. Apakah ada yang serius dengan kondisi Nenek?” Puspita membalas tatapan dokter itu. Jantungnya berdebar, sehingga dia tak dapat menyembunyikan lagi kecemasannya yang semakin menyerang.
Tuhan, ada apa dengan Nenek? Sembuhkanlah dia, Tuhan. Aku tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang kucintai. Dalam hati Puspita menyimpan harapan.
“Baik lah kalau begitu.” Dokter itu membetulkan posisi duduknya. “Apakah sebelumnya Nenek Nona pernah mengeluh sakit? Terutama pada bagian dadanya? Seperti sesak atau nyeri di bagian dadanya?”
“Tidak, Dokter. Nenek tidak pernah mengeluh sakit apa pun. Tapi, entahlah jika saya tak bersamanya.”
“Apakah Nenek Anda pernah berobat ke rumah sakit atau klinik?”
“Dokter, jangankan ke klinik. Untuk makan sehari-hari saja kami harus menghemat uang yang kami dapat dari upah hasil keringat kami. Kalau pun ada rasa pusing yang tidak bisa kami tahan, paling kami hanya bisa membeli obat di warung saja. Setelah itu selesai. Rasa pusing itu hilang,” beritahu Puspita.
Dokter itu mengangguk-angguk. Sepertinya sangat mengerti dengan kondisi Puspita.
“Begini, Nona. Sepertinya Nenek Anda sudah lama terserang jantung dan darah tinggi. Namun Nenek Anda tidak merasakan. Atau lebih tepatnya dia tak pernah peduli dengan kondisi tubuhnya selama ini. Jadi, sebagai satu-satunya keluarganya, tolong Nona memerhatikan dan menjaga kondisi kesehatan Nenek Anda. Jika tidak, fatal akibatnya. Nenek Anda bisa terserang strok yang lebih parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.”
“Benarkah itu, Dokter? La-lalu, bagaimana dengan kondisi Nenek sekarang?” Gadis itu membelalakkan mata. Bibir merahnya pun bergetar menahan kejutan yang mencengangkan setelah mendengar penjelasan dokter yang lumayan panjang.
“Seperti yang sudah saya katakan tadi. Jaga kondisi kesehatan Nenek Anda. Jangan sampai dia terlalu lelah atau berpikir terlalu stres. Karena salah satu penyebab itu akan mengakibatkan Nyonya Gracia anfal. Sedangkan saat ini Nyonya Gracia sedang mengalami strok ringan. Tapi Nona jangan khawatir, strok ringan yang dialaminya saat ini masih bisa disembuhkan. Jadi Nenek Nona kemungkinan besar masih bisa sehat seperti semula. Asalkan diberikan pengobatan dan pemeriksaan secara rutin.”
Penjelasan dokter yang lumayan panjang, membuat kepala Puspita berdenyut. Seolah-olah ada benda berat yang menimpa dan menekan kepalanya. Pikiran Puspita melayang ke mana-mana. Dia tak bisa membayangkan jika penyakit neneknya kambuh dan terjadi hal yang tak ia inginkan seperti yang disampaikan oleh dokter.
Puspita memegang keningnya. Wajahnya pun tampak pasih, seakan-akan darah enggan mengalir naik ke bagian wajah bahkan kepalanya. Membuatnya merasa seperti banyak bintang yang sedang mengelilingi di bagian ujung kepalanya.
“Nona, Anda baik-baik saja?” tegur perawat yang rupanya memerhatikan Puspita.
“I-iya, suster. Saya baik-baik saja,” sahut Puspita seraya membenahi posisi duduknya. Berusaha menetralisir suasana hatinya, agar dia tampak tegar.
“Baik, Dokter. Saya akan memerhatikan kondisi kesehatan Nenek. Dan, saya mohon supaya Nenek diberi pelayanan yang terbaik di rumah sakit ini. Agar bisa kembali sehat seperti semula. Saya janji, saya akan mencari biaya dan membayarnya demi kesembuhan Nenek.” Puspita menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya, menaruh harapan kepada dokter rumah sakit itu.
“Baik, Nona. Anda jangan khawatir. Kami akan membantu Nenek Anda agar bisa kembali sembuh.”
Setelah mendapatkan penjelasan yang panjang dari dokter, Puspita kembali menemui Neneknya di ruang perawatan. Dia melihat, Nenek sedang ditemani oleh Pedro.
Pedro tampak duduk menunduk lemas di samping nenek Gracia. Seperti orang yang tengah dimarahi dan menyesali perbuatannya. Namun, Puspita tak memerhatikan sikap Pedro. Dia lebih fokus kepada Neneknya.
“Bagaimana keadaan Nenek, Paman?” Puspita menggeser kursi dan duduk di sisi ranjang. Gadis itu tak ingin sedikit pun jauh dari wanita tua itu. Dia terus memandangi wajah tua renta, sambil sesekali memijat kaki dan tangannya. Berharap sang nenek segera pulih kembali.
“Nenek ....”
Belum sempat Pedro memberikan jawabannya, tiba-tiba nenek Gracia memanggil. “Puspita ….” Suara itu terdengan pelan dan parau.
Puspita bergegas mengangkat kepalanya. Gadis itu menoleh ke wajah sang nenek. Untuk memastikan bahwa wanita tua itu memanggilnya.
“Nenek …?” balas Puspita menggeser lebih dekat posisi duduknya ke wajah nenek.
“Kenapa kamu menangis?” tanya nenek perlahan mengangkat tangannya untuk mengusap air mata Puspita yang meleleh ke pipi gadis itu.
Puspita membalas dengan mencium berkali-kali telapak tangan wanita itu.
“Ti-tidak, Nek. Puspita tidak menangis. Puspita terharu, karena Puspita tadi habis dapat rejeki banyak. Mangkanya, Puspita bisa beliin Nenek makanan yang enak-enak.” Puspita sedikit berbohong. Dia teringat pesan dokter tadi. Sehingga dia tak ingin membuat neneknya sedih.
Gadis itu menunjukkan beberapa kantong berisi makanan yang dia beli tadi dan diletakkan di atas meja kecil yang tertata sejajar dengan ranjang.
“Itu kan makanan mahal, Puspita. Kenapa kamu hambur-hamburkan uang yang kamu dapat Cuma untuk membeli makanan seperti ini? Lebih baik uangnya di simpan untuk membayar kontrakan. Supaya kita tidak di usir lagi oleh yang punya rumah.” Nenek Gracia mengkhawatirkan Puspita yang menurutnya gadis itu akan menghambur-hamburkan uangnya.
“Tidak, Nek. Tenang saja. Aku masih punya banyak uang. Kita bisa membayar kontrakan hingga enam bulan ke depan. Sisanya bisa buat beli makan kita sehari-hari. Bahkan untuk bayar pengobatan Nenek pun Puspita rasa masih cukup,” ucap Puspita dengan mata yang berbinar.
“Jangan suka bermimpi, Puspita.” Nenek Gracia tak percaya.
“Tidak, Nek. Puspita tidak sedang bermimpi.” Puspita mencoba meyakinkan neneknya. Dia mengambil tas kumalnya dan membukanya untuk menunjukkan uang yang ia dapat dari Tuan Muda Andreas. “Lihat, Nek. Puspita punya banyak uang.”
Puspita mengeluarkan uang yang dia simpan di dalam tasnya yang sudah kumal. Sebagian kulitnya sudah terkelupas. Namun, itu tak jadi masalah baginya. Yang penting tas itu masih berfungsi dengan baik sebagai tempat menyimpan uangnya.
Dia menunjukkan lembaran-lembaran merah itu yang masih tersimpan di dalam amplop dan terikat rapi.
“Dari mana kamu dapat uang sebanyak itu, Anak nakal? Jangan bilang kalau kamu habis mencuri atau merampok bersama teman-temanmu yang nakal-nakal itu.”
Nenek Gracia terperangah. Tangannya yang lemah mendorong tangan Puspita yang memegang lembaran uang kertas itu menjauh dari hadapannya. Dia takut, Puspita telah berbuat kriminal yang membuat dia harus berurusan dengan polisi.
“Percayalah, Nek. Puspita tidak melakukan perbuatan seperti yang Nenek sangka. Puspita tadi benar-benar bekerja di rumah orang kaya di kavling sebelah pemukiman kita. Ketika Puspita mau pulang, orang itu memberikan amplop ini kepada Puspita. Percayalah, Nek.”
Puspita kembali meraih tangan Neneknya. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh dia menatap raut tua itu sambil menggenggam telapak tangannya. Berharap nenek Gracia mempercayai ceritanya.
Nenek Gracia pun tersenyum mendengar kesungguhan cerita puspita. Kali ini dia percaya bahwa cucunya tak berbohong. “Baiklah, kali ini Nenek percaya. Tapi ingat, jangan pernah sekali-kali kamu berbuat kriminal. Apalagi harus berurusan dengan polisi. Lebih baik kita mendapatkan uang sedikit tapi halal. Dari pada harus mencuri.”
“Tenang saja, Nek. Puspita nggak akan melakukan perbuatan yang memalukan itu.”
Puspita kembali mencium punggung tangan neneknya yang masih ia genggam. Nenek Gracia pun membalasnya dengan senyuman. Dia terharu akan perhatian dari cucu satu-satunya.
“Puspita, bisa kah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?” pinta nenek dengan suaranya yang lemah.
“A-ada apa, Nek? Apakah Nenek mengenal Paman Pedro?” Puspita heran dengan permintaan neneknya.
Nenek Gracia mengerjapkan kedua matanya pelan. Meminta agar Puspita menuruti permintaannya.
“Baiklah, Nek. Tapi Puspita minta Nenek mau memakan makanan yang sudah Puspita belikan.” Puspita akhirnya menyerah. Ia tak bisa menolak permintaan nenek Gracia walau dengan syarat.
“Ya, nanti nenek akan habiskan semua. Tapi, makannya harus berdua denganmu.”
Puspita tersenyum gembira mendengar jawaban dari neneknya. Dia pun segera merapikan lembaran uang kertas itu untuk memenuhi permintaan nenek Gracia.
“Paman, tolong jaga Nenek,” pinta Puspita sembari menatap Pedro.
“Ya,” jawab Pedro singkat. Pria itu mengangguk kemudian membungkukkan sedikit badannya.
Puspita menyimpannya kembali uang itu ke dalam tasnya. Kemudian beranjak dari kursi. Namun, sebelumnya ia mencium kedua pipi neneknya lalu melangkah menuju pintu walau hatinya merasa berat untuk meninggalkannya.
“Ada apa dengan Nenek? Apakah mereka berdua saling mengenal? Siapa sebenarnya Paman Pedro itu?”
Gadis itu berbicara sendiri. Berkali-kali dia hilir mudik dengan gelisah. Mencoba mengintip dan mencuri dengar dari balik pintu. Namun, usahanya tak membuahkan hasil. Dia tak dapat mendengar pembicaraan antara neneknya dan Pedro.
Bersambung ...!
![](https://img.wattpad.com/cover/270634939-288-k586018.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)
RomancePuspita, seorang gadis yang mempunyai mimpi-mimpi indah. Dia ingin mencari cinta sejatinya. Cinta dari seorang pria yang tulus mencintainya, apa adanya. Namun mimpi itu hancur dalam sekejap di saat seorang pria hadir dalam kehidupannya. Tanpa peduli...