Malaikat Tak Bersayap 2

13 0 0
                                    

Akan tetapi, dengan cepat Reymon menarik tangan Puspita. Mencegah agar gadis itu tak pergi.

“Jangan, Nona. Itu terlalu berbahaya. Karena saat ini kamu sedang membawa uang yang tak sedikit. Terlaku riskan buat kamu naik kendaraan umum,” beritahu Reymon. Mencoba memelankan suaranya agar tak terdengar banyak orang.

Benarkah? Seketika Puspita mendekap tasnya. Dia baru menyadari bahwa salah satu di antara dua amplop cokelat yang dia masukkan ke dalam tasnya, berisi sangat tebal. Bahkan lebih tebal dari pemberian Andreas padanya dulu.

Bagaimana in? Apakah aku harus mengikuti saran Tuan Reymon?

“Silakan masuk, Nona. Jangan khawatir, kamu akan aman bersama saudara saya.” Reymon membuka pintu mobil Andreas. Mempersilakan Puspita untuk masuk.

Dengan perasaan ragu, Puspita melangkahkan kakinya ke dalam mobil mewah milik Andreas. Jantung gadis itu berdebar. Kakinya sedikit gemetar. Dia takut pria sok dingin itu akan memperlakukannya tak senonoh. Tapi, dia tak ada pilihan lain selain percaya kepada Reymon untuk mengikuti sarannya.

Akhirnya, Puspita menurut. Dia masuk ke dalam mobil Andreas. Dengan perasaan was-was dia memasang sabuk pengaman ke tubuh langsingnya dan duduk menepi, menjaga jarak dengan Andreas.

Setelah Reymon menutup pintu, Andreas melajukan mobilnya meninggalkan kafe.

“Ah! Aman.” Desah Reymon sambil mengusap dada. Pandangannya mengantar kepergian mobil Andreas hingga menghilang di balik tikungan pertigaan jalan.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil hening. Hanya terdengar sayup suara radio yang menyala. Embusan udara pendingin ruang mobil pun berangsur-angsur membuat hati Puspita mereda. Walau masih terlihat tegang pada wajahnya.

Tuhan, jangan biarkan penjahat ini menyakitiku. Puspita berdoa dalam hati.

Sesekali Andreas mencuri pandang. Bibirnya pun tersenyum tipis kala sekilas memperhatikan gadis di sebelahnya. Kasihan kamu. Bisa saja dikerjain. Dengusnya kasar.

“Di rumah sakit mana nenek kamu di rawat?” Pertanyaan Andreas memecah kesunyian. Membuat Puspita tergagap untuk menjawabnya.

“Di-rumah sakit Mitra Keluarga Sehat.”

“Oke. Kita ke sana.” Andreas menancap gasnya lebih dalam. Melaju menuju arah rumah sakit di mana nenek Gracia di rawat.

Kali ini Puspita tak dapat berkata-kata lagi. Dia diam seribu bahasa seraya mendekap tasnya erat. Dalam benaknya, dia berharap pria di sebelahnya tak menyakitinya. Bersama itu, bayangan neneknya juga mengusik pikirannya.

Nenek, Puspita bawa uang buat biaya perawatan Nenek. Biar Nenek sembuh dan bisa berkumpul lagi. Aku rindu kita bersama. Puspita sayang Nenek.

Sampai di rumah sakit, Puspita berjalan cepat. Seakan gadis itu tak sabar ingin cepat sampai di ruang ICU dan bisa melihat perkembangan neneknya. Lagi pula dia merasa tak enak, telah lama meninggalkan Bu Maria yang sudah menolongnya untuk menjaga nenek.

“Ayah? Syukurlah kalau Ayah sudah di sini.” Puspita merasa lega ketika melihat Pedro yang sudah tahu bahwa neneknya di rawat.

“Bu Maria, ke mana, Yah?” Puspita mengedarkan pandangan, mencari wanita yang telah menolongnya. Namun wanita berbadan besar itu tak terlihat.

“Sudah pulang. Baru saja. Waktu Ayah sampai di sini, Bu Maria pamit untuk mengurus anak-anaknya dulu di rumah,” jawab Pedro.

“Lalu, bagaimana dengan perkembangan Nenek?” Puspita menatap pintu kamar ICU yang tertutup rapat. Tak bisa melihat suasana di dalam.

“Entahlah. Dokter belum kasih kabar. Bu Maria juga diam saja. Tak ada pesan apa pun dari dia.”

“Ya, sudah kalau begitu. Semoga Nenek baik-baik saja.” Puspita berharap.

“Oh, ya. Kenalkan, ini Tuan Muda Andreas, Ayah. Tuan, kenalkan Ayah saya.” Puspita tersadar saat Pedro mengalihkan pandangannya kepada Andreas.

Andreas mengangsurkan tangannya, kemudian disambut Pedro. Kedua lelaki itu pun saling berjabat tangan.

“Pedro.” Pedro menyebutkan namanya terlebih dulu.

“Andreas,” balas Andreas dengan menyunggingkan senyum ramahnya. Mereka pun duduk saling bersebelahan dan berbicara akrab.

Detik kemudian, “keluarga pasien Nyonya Gracia.” Seorang perawat keluar dari kamar ICU memanggil.

Seketika Puspita bangun dari kursinya dan menghampiri perawat itu. “Ya, saya, Sus. Bagaimana dengan perkembangan Nenek saya, Sus?” tak sabar Puspita ingin tahu.

“Yang sabar ya, Nona. Nyonya Gracia masih belum ada perkembangan yang signifikan.” Tubuh Puspita kembali lemas mendengar kabar dari Perawat itu.

“Kami ingin meminta persetujuan  dari keluarga pasien untuk memberikan vitamin. Karena vitamin ini sangat dibutuhkan. Dengan diberikannya vitamin ini, nanti kami bisa mengetahui perkembangan pasien selanjutnya. Tapi, untuk pemberian vitamin ini, di luar biaya perawatan. Sedangkan pasien membutuhkan tiga sampai lima botol,” beritahu perawat itu.

“Berapa harga per botolnya, Sus?” Puspita bertanya dengan wajah cemas. Matanya menatap Pedro yang menyusulnya bangun dari kursinya.

“Sekitar ....”

“Berikan saja, Sus. Berapa pun biayanya, masukkan ke tagihan saya. Berikan yang terbaik buat Neneknya” Tiba-tiba Andreas menyahut dari belakang Puspita dan mengedipkan mata kirinya. Rupanya pria itu ikut mendengarkan dari sana.

“Tu-Tuan Muda? Ba-baik, Tuan!” seketika perawat itu membungkukkan badannya. Memberi hormat kepada Andreas yang tiba-tiba saja muncul dari belakang Puspita.

Mendengar Andreas memberikan titah kepada perawat itu, dengan cepat Puspita menoleh ke belakang. “Maksud, Tuan?” Tatap Puspita dengan mulut ternganga.


Bersambung ...!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang