Prolog ; Kata Ibu

3.7K 442 50
                                    

Kata Ibu, jatuh cinta pada pandangan pertama itu semu. Hampir tidak pernah Ibu alami.

Jawaban itu Nandara terima saat ia bertanya pada ibu sepulang sekolah setelah teman sebangkunya bercerita ia mengalami cinta pandangan pertama.

Saat itu Nanda baru duduk di kelas 1 SMP. Tapi teman sebangkunya yang baru saja ia kenal selama 4 bulan itu bercerita heboh bahwa di kantin tadi dia mengalami kejadian yang membuat dirinya dimabuk cinta.

Dimabuk cinta apanya, meminum minuman bersoda saja temannya ini menolak. Saat ditanya alasannya, "Takut mabok gue" begitu katanya.

Tapi sekarang, Nanda rasa cinta pada pandangan pertama itu benar adanya. Setelah ia memasuki Cafe 10 menit yang lalu dan duduk di sini, ia hanya melihat seorang barista yang menarik di matanya.

Ah, ini terlalu memabukkan.

"Mas? Mas?" Seorang wanita dengan apron hitam itu memecah fokusnya.

"Eh? Iya?" Nanda hanya menjawab kikuk. Sebenarnya ia sedikit malu.

"Espresso nya ternyata habis. Mau pesan ulang aja atau gimana mas?"

Nanda diam sebentar.

"Boleh saya minta buatkan apa aja yang mas itu buat?" Tanya Nanda yakin sembari menatap barista yang menarik perhatiannya tadi. Siapa sangka kalau lelaki itu juga membalas tatapannya?

"Maksudnya mas?"

"Em, maksud saya... Saya mau dibuatkan apa aja yang mas itu rekomendasiin untuk saya."

Wanita itu menatap sebentar lelaki yang sedang mengocok segelas kopi di tangannya, lalu menatap kembali Nanda. Ia mengangguk paham lalu pamit dari hadapannya.

Lima menit kemudian, barista dengan rambut blonde itu menghampiri meja Nanda. Jujur saja Nanda nervous setengah mati.

"Saya rasa, anak sekolah lebih baik minum air putih dari pada kopi." Ia menaruh segelas air putih dengan sedotan.

Nanda menatap seragam SMK nya sebentar, lalu tertawa singkat. Ah, sepertinya ia benar-benar sudah di mabuk cinta.

"Gak usah dibayar, itu gratis." Lanjutnya. Langkahnya tertahan saat Nanda bersuara.

"Mas! Boleh tau namanya?"

Tidak peduli dengan image nya, yang penting Nanda bisa meluncurkan niatnya.

Barista itu tersenyum sebentar, lalu mendekat lagi ke meja nomor 12 yang Nanda tempati.

"Disini gaada tempat untuk orang-orang seperti kita. Lebih baik kamu belajar mencintai wanita." Begitu katanya.

Bohong kalau Nanda bilang ia tidak mengerti. Bohong kalau Nanda bilang ia tidak tersakiti. Tapi bohong juga kalau Nanda bilang ia tidak setuju. Karena faktanya, disini memang gak ada tempat untuk perasaannya.

Norma norma masyarakat menentang jelas Orientasi Seksualitas nya. Dan Nanda terlalu takut untuk dilihat berbeda.

Hari itu, Nanda sendiri merenungi perasaannya. Ia menatap segelas air putih di hadapannya. Mencoba mengabsen nama-nama wanita di kelasnya dalam hati.

Tapi nihil, tidak ada yang membuat Nanda tertarik. Ia yakin kalau dirinya hanya suka berpuisi dan laki-laki.

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang