9. Fase Jatuh Hati

603 92 29
                                    

Jatuh cinta. Dua kata sederhana yang berhasil membidik asal sifat manusia. Entah bagaimana, cinta seperti magis nyata dunia.

"Hati-hati dengan cinta, Nan." Mbah kasih beberapa patah kata, untuk Nanda pertimbangkan resikonya.

"Iya, Nanda selalu hati-hati."

"Untuk jatuh hati?" Nanda mengangguk, "Huum, untuk jatuh hati dan kawan kawannya yang lain."

"Mbah bingung kalau begini, kamu biasanya mengeluhkan hidup di teras sini. Sekarang, obrolannya soal jatuh hati. Buat bersemangat sekaligus keramat."

Nanda tertawa, memang betul adanya bahwa biasanya ia mengadu pada mbah soal spektrum emosi dalam hidup atau berbicara tentang evolusi manusia dan prinsip bahagia.

Tapi kali ini, mbah disuguhkan pemandangan semu merah muda di pipinya, hasil jatuh cinta.

"Jadi, sekarang mau pilih jatuh cinta dan gak memikirkan resiko-resiko yang kamu gambarkan ke mbah waktu itu?"

"Bukan memilih, tapi mencoba. Nanda mau coba rasanya disayang manusia berwujud asmara. Diberi bunga pagi-pagi buta, keliling kota dijaga mesra, atau menghitung bintang sambil berharap barangkali ada yang jatuh satu buah dan membuat keinginan untuk selalu bisa merasakan usapan sayang."

Tidak ada yang bisa mbah lakukan selain tersenyum, walau giginya tak lagi utuh tapi ia mau ikut rayakan hari Nanda membiarkan cinta memenuhi hatinya. Sangat penuh sampai tumpah ruah kemana-mana.

Sore itu, saat langit berwarna jingga pekat, bersamaan dengan hujan gerimis yang turun lalu disusul bau tanah kering yang tersiram, Nanda pastikan akan ia ingat sore itu selama sisa hidupnya. Karena mbah belum tentu terus ada, tapi Nanda harap lelaki tua itu panjang umur dan sehat selalu.

.
.
.
-Afeksi-
.
.
.

Nanda sudah pernah bilang belum? Kalau dia takut bercerita. Nanda tumbuh tanpa teman untuk bercengkrama, teman untuk berbagi pengalaman.

"Tadi pagi, Bunda dapat telepon, dari Ayah dan selalu kegirangan. Entah kenapa, mungkin Bunda masih sayangi Ayah. Tapi Nanda gak habis pikir juga soal kenapa nya."

Hari ini, di Cafe tempat Jeno bekerja, dia dengarkan Nanda bercerita. Juga mengasihi nya dengan cinta.

"Kenapa apanya?" Jeno tanya sembari menarik kursinya lebih dekat pada meja.

"Iya, kenapa Bunda bisa kegirangan dapat telepon dari laki-laki yang harusnya dia harapkan lenyap ditelan bumi atau hilang diseret ombak laut."

Jawaban Nanda berhasil buat Jeno tertawa kecil, menunduk hingga rambut pirang nya yang lembut jatuh. Nanda tak ambil pusing, dia ambil itu sebagai bentuk apresiasi, memang ceritanya ini agak lucu.

"Mencintai kadang gak melihat rasa sakit, Nan. Kenangan bertahun-tahun sama seseorang kadang juga cukup untuk menerima dan menutupi satu kejadian buruk."

"Kalau begitu, cinta yang Bunda punya untuk Ayah itu... Hebat, ya? Gak tergambar sebesar apa sampai keputusan Ayah meninggalkan kita berdua dan memilih wanita lain diluar sana aja, buat Bunda gak masalah. Karena Bunda punya cinta."

"Bukan gak masalah, tapi gak mau melupakan bahagianya. Ditinggalkan udah pasti jadi masalah, tapi menerima dan paham kalau semuanya udah kejadian, gak bisa diulang dan dicegah, buat Bundamu mungkin memilih ingat-ingat soal kenangan bahagianya, daripada sedihnya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang