6. Wujud Peduli

1.1K 218 22
                                    

Hari-hari Nanda berjalan seperti biasa. Tidak ada yang spesial selain dirinya yang lebih dekat dengan sang barista di Cafe depan. Dan lagi, sekarang Jeno akan menyambut Nanda dengan senyum hangat yang ia punya ketika lonceng pintu Cafe berbunyi karena Nanda yang membuka.

"Hey? Libur?"

Ucap Jeno yang baru saja menghampiri Nanda di pintu depan. Apron hitam, hidung bangir, matanya yang hilang karena tersenyum, dan rahang tegas miliknya, itu semua semakin sempurna karena sweater abu-abu yang membalut tubuh atletis nya.

Ah, Nanda pikir bukankah keterlaluan jika manusia se-sempurna ini hanya bekerja sebagai barista Cafe? Harusnya, Jeno jadi pangeran dari negeri sebrang yang namanya dipuja satu negara hingga desas-desus soal parasnya terdengar sampai ujung dunia.

Okay, itu sedikit berlebihan tapi Nanda suka.

"Eum! Ini kan minggu, Mas."

Jeno lihat pipi lelaki dihadapannya ini semakin berisi, hidung mancung nya yang menguncup malu, bibir warna merah ranum yang membentuk senyuman hidup itu buat hari Jeno semakin sempurna.

"Nanda!" Di pantry sana, Karin layangkan satu buah sapaan dengan senyum yang tak kalah semangat. Nanda sedikit tundukkan kepala nya untuk membalas.

"Ayo duduk." Jeno bawa Nanda duduk di meja nomor 12. Meja yang sudah jadi tempat Nanda menyimpan kagumnya saat melihat Jeno pandai membuat kopi di pantry sana.

"Mau pesan apa?" Katanya setelah Nanda mendudukkan diri di kursi.

"Americano panas. Itu aja."

"Tumben, Espresso nya enggak?"

"Emm... Hari ini mau nya Americano."

"Udah sarapan?" Jeno dapat gelengan dari Nanda. "Okay, tunggu ya."

Nanda mengangguk dan berikan satu buah senyum, tangannya ia masukkan pada saku jaket warna hijau mint favoritnya.

Lalu dilihatlah sekelilingnya, Cafe di Minggu pagi memang ramai. Walaupun Cafe ini memang selalu ramai setiap harinya, tapi hari Minggu itu berbeda.

Orang-orang yang pada hari-hari sebelumnya datang dengan pakaian kantor dan satu buah tas yang berisi laptop atau kertas-kertas yang lebih dilindungi dibandingkan sang pemilik saat hujan turun, tapi saat hari minggu mereka datang dengan pakaian santai. Bukan bersama kertas atau laptop, tapi dengan teman, keluarga, dan pasangan.

Menghabiskan satu gelas kopi di Cafe ini memang harus, semua orang harus coba. Menyeruput cairan kafein dengan lagu klasik yang diputar disekeliling, belum lagi sinar matahari yang tembus lewat jendela membuat asap kopi semakin terlihat luar biasa dari biasanya.

"Pesanan lo, Jeno lagi ambil stok kopi di belakang jadi gue yang anter. Gak apa-apa kan?"

Karin simpan satu buah nampan dengan satu buah gelas berisi Americano berasap diatasnya.

"Gak apa-apa, Mba." Jawab Nanda dengan senyum yang masih setia terpasang di wajahnya.

"Ahh how cute!" Karin satukan tangannya didepan dada, tatap Nanda dengan gemas.

"Eum?" Alisnya terangkat, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, Nanda bingung.

"Ah! Maksud gue, lucu banget lo masih panggil gue Mba. Selain tukang parkir dan kasir mini market, mba-mba apoteker, pelanggan cafe, pelayan restoran tempat gue makan, resepsionis apartemen gue, dan orang-orang gak di kenal lain yang manggil gue Mba, lo orang pertama yang akrab sama gue dan tetep panggil gue Mba! Hiks, lo lucu banget. Gue gemes."

Nanda kedipkan matanya berkali-kali. Masih bingung, dimana letak lucu nya?

"Stop doing that! Lo itu makin lucu! Ya Tuhan, ayo jadi pacar gue aja. Gue juga gak kalah keren dari Jeno kok!"

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang