7. Nandara Gilang Pradipta

960 153 14
                                    

Pernah suatu hari, Nanda bermimpi jadi manusia abadi yang dicintai. Yang kaya akan sumber daya kasih. Yang cinta nya diakui Bumi juga manusia suci.

"Sayang, Bunda gak akan pergi sebelum lihat kamu menikahi wanita cantik yang baik hati. Cantik yang murni, yang sayangi putra Bunda setulus hati. Nanda, kamu Bunda besarkan untuk jadi lelaki paling bahagia di Bumi."

Suatu malam Bunda bilang itu di kamar Nanda dengan usapan halus di kepala, dari tangan buatan surga milik Bunda. Bunda pikir Nanda sudah terlelap, tapi putra mana yang bisa tidur nyenyak saat harapan surga nya adalah wanita padahal ia berbeda?

.
.
.
-Afeksi-
.
.
.

"Nda, ibu pernah cerita soal teman ibu yang menikahkan anaknya waktu usia muda itu kan kemarin?"

"Iya, emang kenapa, Bun?"

Bunda simpan roti nya di atas piring dan berbicara, "Dia udah menikahkan anak laki-laki nya! Dan Bunda disuruh jadi pendamping pengantin nya! Yaampun, Bunda jadi gak sabar lihat kamu menikah nanti."

Pagi itu, meja makan jadi tempat Nanda tersuduti lagi, entah yang keberapa kali.

Tapi Nanda suka lihat senyum Bunda, senyum yang Nanda bisa kasih, walau dengan imajinasi ia nikahi wanita nanti. Alias, Bunda bahagia dengan alasan yang Bunda buat untuk dirinya sendiri. Menyisihkan Nanda dalam rasa berkabung untuk apa yang terjadi.

Nanda gak punya tempat cerita, bahkan ia merasa tak pantas meminta pada Tuhan. Ada suatu rasa yang sulit dijelaskan, Nanda yakini bahwa ia tak pantas.

Tapi suatu hari, ia coba ceritakan peliknya pada Mbah. Lelaki tua yang letak rumahnya persis di depan kediamannya.

"Mbah, Nanda pernah mimpi jadi manusia abadi yang dicintai."

"Yo pantes lah, kan yang begitu memang cuma ada di mimpi." Mbah tanggapi sembari mengelap daun tanaman yang ia urus dengan sepenuh hati.

"Iya ya, yang abadi dan selalu dicintai kan gak mungkin nyata..."

Remaja itu menyesap kopi hitam yang ia buat sendiri di dapur Mbah. Hanya kopi saset-an, tapi pahitnya terasa lebih pahang dari biasanya. Entah karena mulut nya asam atau karena lidahnya yang siap mencaci maki dunia.

"Anak-anak Mbah gak kesini lagi?" Nanda teringat pada akhir tahun yang tak lama lagi berganti. Tapi ia sudah lama tak melihat pekarangan rumah milik Mbah penuh dengan mobil dan ramai suara anak kecil.

"Lah..." Mbah buang nafasnya jengah, ia benarkan letak kacamatanya. "Jangan berfikir mereka akan datang, Nan."

Nanda tau, lagi pula tak pernah sekali pun ia lihat Mbah berkumpul dengan keluarga nya selain saat ia duduk di bangku SD kelas 4 waktu itu.

"Memang begitu, ya? Anak-anak kalau udah sukses lupa sama orang tuanya?" Tanya nya kesal.

"Bukan lupa, Nan. Tapi mereka gak mau kalau harus menemui, mengurus, dan berurusan sama manusia tua bangka. Bagi mereka yang katanya sudah dewasa, itu membuang-buang waktu dan gak menguntungkan apa-apa. Mereka sukses saja, Mbah sudah senang."

"Tapi senang gak cuma soal melihat orang lain bahagia, tapi juga soal apa yang diri kita sendiri rasa." Nanda hanya sekedar celetuk bicara saja. Tak ada maksud ingin menyinggung Mbah atau apa. Tapi Mbah tak tersinggung juga sebenarnya. Karena Nanda mengetahui dirinya lebih dari putra-putra nya.

"Belajar dari mana kamu, kayak orang pinter bicara begitu..."

"Bukan pinter, tapi ini hasil 'belajarlah dari pengalaman' namanya."

Hari itu, dalam diam nya Mbah mengelap dedaunan, ada satu hal yang Mbah pahami. Bahwa dalam diri Nanda yang berumur 15 tahun, ada pengalaman yang tak biasa. Yang hanya Nanda yang paham, hanya dia yang simpan sendirian.

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang