Tundukkan Kepala, Kita Berduka.

1.5K 284 38
                                    

Flashback 3 years ago;

"Kak! Itu punya Arsaa!! Balikin gak?!" Lelaki muda itu sudah berdecak pinggang, mukanya merah karena emosi dikepala.

"Hahahhaha! Kamu tuh, ngapain coba beli bando kayak gini, mana warna pink! Sa, kamu laki-laki kan??" Morza tertawa lagi, dihadapannya Arsa sudah menahan malu dengan mata berkaca-kaca.

Tak mau bergelut lagi akhirnya Arsa mengalah, ia masuk ke rumah nya dan lari ke kamar. Tenaga nya habis, hatinya pelik.

Ditutupnya keras pintu warna putih itu, lalu masuk menelusup ke dalam selimut diatas kasur. "Arsa, kamu ini laki-laki kan??" Kalimat terkahir Morza terus terngiang dikepala.

Arsa sesak. Arsa mau mengelak dan berteriak lantang kalau ia memang laki-laki, lalu apa masalahnya punya bando warna pink? Tapi Arsa terlalu tahu diri, ia paham kalau dirinya tidak seperti laki-laki yang lain.

Otaknya ribut, tapi Arsa cepat-cepat usap air matanya kasar saat dengar ketukan pintu. Itu Jeno, kakaknya.

"Sa, Arsa... Mas Jeno mau bicara boleh?"

Belum ada jawaban, Jeno tak mau menyerah juga.

"Arsa sayang, bando mu ini udah Mas ambil dari Morza. Mau mas balikin, gamau di buka juga pintu nya? Mas mau bicara sebentar..."

Lembut, bagai lantunan melodi syahdu suara Jeno buat Arsa tenang seratus persen lebih cepat. Tahu bando nya ada di tangan Jeno, Arsa segera bangkit dan buka pintu kamarnya.

Yang pertama ia lihat adalah senyum hangat milik kakaknya, lalu beralih pada bando warna pink dengan polkadot putih di tangannya. Ia ambil dengan senyum merekah secerah matahari.

"Okayy! Bando nya sudah ada, Mas Jeno mau bicara apa?"

"Makan, sudah siang. Kalau maag mu kambuh mas yang repot."

Senyum Karsa belum hilang, ia masih tatap Jeno semangat. "Hari ini, bertahan hidup sama apa??"

"Ayam. Ada ayam goreng kiriman mama papa. Ayam goreng dan teman-temannya."

"Siap! Arsa turun sebentar lagi. Tapi tolong...."

Jeno tatap Arsa penuh tanya.

"Tolong lelaki yang namanya Morza itu, dilarang masuk ke rumah selagi Arsa makan, boleh?" Arsa berbisik-bisik kecil, tak mau yang lain dengar. Tapi rumah mereka sepi. Terserah Arsa saja.

Jeno senyum sebentar lalu usak rambut adiknya penuh sayang. Arsa-nya itu, unik.

Membantu Arsa yang menciptakan keadaan tegang yang dibuat seperti rapat rahasia secara mendadak, Jeno terlihat menimbang-nimbang penuh drama. Seolah membuat keputusan yang berat, tapi akhirnya ia beri anggukan bersama suara tawa lembutnya.

.
.
.

Jeno menaiki tangga dengan rasa khawatir setengah mati. Orang tua nya masih bertengkar dibawah. Jeno tak peduli, ia lebih peduli menghampiri Arsa yang lari ke kamar setelah dapat satu tamparan dari papahnya.

Jeno buka sedikit pintu kamar Arsa, dilihatnya Arsa menangis di atas kasur dengan badan gemetar dan tangan yang memukul dadanya berkali-kali.

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang