3. Jadi soal cinta, sudah paham?

1.4K 333 44
                                    

Jeno dapat bagian shift siang hari ini, karena dirinya ada kelas tadi pagi.

Memang sudah biasa, kalau Jeno ada kelas pagi ia akan tukar shift dengan pelayan lain di Cafe.

Sekarang jam menunjukkan pukul 7 malam. Cafe ditutup lebih cepat karena stok kopi menipis.

Dua pegawai lain sudah pulang. Sisa Jeno yang mengelap beberapa meja. Karin sudah pergi lebih dulu setelah berucap jangan lupa mengunci Cafe.

Tiba-tiba terdengar pintu Cafe dibuka.

Jeno lihat ke arah pintu, siapa yang memasuki Cafe disaat tulisan 'Closed' sudah dipasang di jendela?

"Permisi, Cafe nya beneran udah tutup?"

Nanda, cowok itu datang lagi. Masih dengan seragam sekolahnya, ia berdiri di ambang pintu.

Jeno diam, ia tatap Nanda lamat-lamat. Ada wajah lelah yang kentara disana.

Tak mendapat jawaban, akhirnya Nanda masuk ke dalam. Ia duduk di meja yang sedang Jeno bersihkan.

"Mau pesan apa?" Jeno bersuara.

"Mau pesan cinta, lewat segelas Espresso juga gak apa-apa. Boleh?"

"Boleh."

Dengan tenang Jeno buka apronnya, ia lipat baju tangannya yang sempat merosot. Lalu melangkah ke dalam pantry.

Cafenya sepi. Lampu sudah di matikan di beberapa sudut, meninggalkan cahaya remang-remang di Kamis malam. Hening. Kosong.

"Ini." Jeno taruh segelas Espresso di meja.

"Gak pakai cinta?" Tanya Nanda.

"Sedikit." Jeno ikut duduk dihadapan Nanda.

"Kurang terasa cintanya, harusnya dikasih lebih banyak." Komentar Nanda setelah menyeruput segelas Espresso nya.

"Perihal cintamu itu, saya gak paham." Jeno jawab, tak terima melihat pelanggan nya tak puas dengan Espresso buatannya hanya karena cinta.

Nanda hanya tersenyum singkat, lalu ia tatap jalanan lewat jendela.

"Saya denger, polisi jaman sekarang sering nangkep anak sekolahan yang keluyuran pakai seragam..." Jeno tatap seragam SMK Nanda.

"Mas Jeno denger dari siapa?"

"Ada, pernah dengar cuma gak tau dimana."

Keduanya sama-sama diam, menatap kendaraan berlalu-lalang.

"Mas Jeno kuliah?" Nanda menoleh. Dijawab anggukan singkat oleh Jeno.

"Susah gak?"

"Apanya?"

"Kuliah, dunia per-kuliahan susah?"

"Gak ada fase hidup yang gak susah, saya nikmati aja semuanya. Jadi, biasa aja sih. Kalau kamu? Mau lanjut kuliah habis lulus?" Kali ini Jeno tatap Nanda. Terlihat jika lawan bicaranya ini sedikit salah tingkah.

"Gak tau. Pinginnya langsung bahagia-in Bunda, apa perlu kuliah dulu?"

"Tergantung, bahagia Bundamu itu bagaimana? Kategori bahagia orang kan beda-beda."

"Bahagia Bunda....." Nanda berfikir sebentar, ia ingat-ingat Bunda bahagia saat kapan dan kenapa. "Ayah." Lanjutnya.

Jeno menoleh,

"Bahagianya Bunda, itu Ayah." Nanda ambil lagi segelas kopi nya. Ia teguk cepat, tenggorokannya tercekat.

"Kalau gitu, bahagia Bundamu itu sederhana, ya."

Afeksi | Nomin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang