CHAPTER 6

74 1 0
                                    

Bencana, Alvin justru merasa jika nasihat ibunya sukses membuat pria itu merasa beban hidupnya bertambah. Bagaimana tidak? Mengontrol pikirannya agar segera melupakan Laura saja Alvin tak bisa. sekarang, Maria justru semakin menekan Alvin agar pria tersebut memanjakan Luna dan menghujaninya dengan penuh cinta. Ditambah permintaan untuk memiliki keturunan. Sudah cukup Alvin menuruti keinginan mereka yang semakin membuat pria itu merasa gila.

Ayolah, Alvin tidak mungkin bisa melakukannya saat bayang-bayang Laura justru terus saja menghantuinya. Ini memang bukanlah pertama kali bagi Alvin. yang berarti, Luna bukanlah gadis satu-satunya yang akan pria itu tiduri. Namun, setiap kali melakukannya. Alvin justru melandasi hal tersebut dengan rasa ketertarikan. Ia hanya bisa memenuhi hal itu dengan adanya perasaan. Dalam kata lain, perasaan yang bisa di artikan atau di sebut cinta.

"Bibi Chan..." Luna memanggil wanita paruh baya tersebut, saat Bibi Chan melintas di hadapannya dengan membawa penyedot debu ruangan.

"Iya, Nyonya?" sahut Bibi Chan setelah memalingkan wajah menatap Luna.

"Terima kasih."

Alvin yang saat itu mendengar suara Luna yang cukup lantang pun melirik kearahnya.

"Maaf, Nyonya. Untuk Apa?"

"Karena semalam sudah meminjamkan kamar mandi mu."

Mata Alvin memincing, beruntung Maria sudah pergi dari sana. Jadi Alvin bisa sedikit meredam rasa kekhawatiran.

"Entah apa yang akan terjadi pada ku semalam. Mungkin aku akan pulang di malam pertama setelah pernikahan." sindir Luna menatap sinis kearah Alvin dengan gaya bicara yang sedikit mengancam.

"Pulang saja, siapa yang peduli?" gumam Alvin beranjak setelah menghela nafas kasar.

Tentu Luna dan Bibi Chan dapat mendengar apa yang baru saja Alvin katakan. tanpa memperdulikan, Alvin pun berjalan santai melewati Luna dan pelayannya melangkah menuju kamar.

Masa cuti kerja Alvin memang belum berakhir. Pria itu masih memiliki satu hari lagi untuk bermalas-malasan di rumah. Bahkan jika Alvin mau, ia bisa meminta lebih dari sang Ayah jika alasan dari lebih cuti tersebut ada kaitannya untuk menghabiskan waktu bersama Luna.

"Setidaknya kau bisa meminta maaf!" Protes Luna yang langsung membuat Alvin menghentikan langkahnya.

"Huh?" Alvin memalingkan tubuh menatap kearah Luna setelah menghela nafas kasar dengan sorot acuh, "untuk apa aku meminta maaf pada mu?"

"Karena semalam!"

Alvin mengangkat satu alisnya lalu bertanya, "Semalam aku kenapa?"

"Semalam kau..." Tenggorokan Luna tercekat, sadar jika masih ada Bibi Chan yang menyaksikan. "se... semalam kau..."

"Apa?" tegas Alvin bertanya.

"Kau... Kau hampir," Luna mengerucutkan bibirnya melirik kearah Bibi Chan, "Astaga kenapa dia masih saja berdiri di sana? Tidak mungkin aku mengatakan jika semalam Alvin telah mengusirku, lantaran aku sendiri yang bertingkah liar." batin Luna sebal.

"Dasar gila," umpat Alvin mengabaikan dan berlalu begitu saja.

"Hey!" Luna memekik, mengepalkan tangannya. "semalam kau hampir meperkosa ku! Apa kau lupa?"

Alvin kembali menghentikan langkahnya. tak hanya itu, teriakan Luna juga cukup membuatnya tercengang. Bagaimana bisa wanita tersebut mengatakan hal yang tidak-tidak. Apalagi saat itu masih ada Bibi Chan yang menyaksikan mereka.

"Sial." Alvin langsung menarik tangan Luna, dan menyeretnya secara paksa menuju kamar.

"Lepas, apa yang kau lakukan. Kenapa kau mencengkram tangan ku?" gerutu Luna yang saat itu kewalahan mengikuti langkah suaminya. "Alvin, lepas!" titah Luna membentak saat keduanya sudah berada di dalam kamar.

Brughh... Alvin bahkan membanting daun pintu dan menghempas Luna ke atas ranjang setelah pria itu melepaskan cengkramannya.

"Apa kau tidak waras?" gerutu Luna memelotot sambil menahan nyeri.

"Kau bilang apa? Aku tidak waras?" Alvin melangkah mendekati Luna sambil memandangnya dengan tatapan marah. "Apa yang kau katakan? beraninya kau mempermalukan aku di hadapan pelayan?"

"Bukankah itu adalah alasan yang kau buat saat Ibumu datang? Aku hanya mengikuti permainanmu! Lagi pula, aku serius dengan apa yang sudah aku katakan. Seharusnya kau meminta maaf padaku! Apapun itu alasannya, kau sudah mengusirku semalam!" tegas Luna penuh penekanan.

Sejenak Alvin mengerjap, ia terdiam dan mencoba menata kembali emosi yang sebelumnya telah meluap. Di detik berikutnya, Alvin mendudukan bokongnya di bibir ranjang lalu berkata. "Dengar, aku sama sekali tidak tertarik padamu. Dari awal pernikahan ini adalah pernikahan bisnis. aku setuju karena aku telah di desak oleh orang tuaku. Jadi..."

"Jadi apa?" Luna tersenyum kecut menyela ucapan Alvin, "Apa kau akan mempermaikan aku? dan mengabaikan hubungan ini sampai akhir?"

"Luna aku hanya..."

"Gosip itu benar bukan? Kau memang hanya memanfaatkan pernikahan ini hanya agar kau bisa segera melupakan mantan kekasihmu?" Luna terkekeh geli, " Aku tahu segalanya. Apa kau pikir aku hanya pion bodoh yang dapat di kendalikan oleh kedua orang tuaku?"

"Apa maksudmu, Luna?"

"Sedari awal aku sudah tertarik padamu!"

Deg... Alvin tertegun. Luna benar-benar gadis yang frontal. Ia sangat berterus terang dalam segi apapun. Bahkan saat menyatakan perasaan. Itu semua sangat terdengar santai dan ringan di daun telinga Alvin.

"Tidakkah kau melihat itu? Apa kau tidak menyadari..."

"Jangan berharap banyak dariku!" belum sempat Luna menyelesaikan ucapannya, Alvin langsung memotong apa yang hendak Luna katakan. "jika tak ingin terluka, cepat hapus segala rasa ketertarikanmu padaku!"

"Apa itu berarti kau sedang mengancam ku? Kau akan melukai perasaan ku?" tangan Luna bergerak mengelus wajah tampan Alvin yang nyaris tanpa cacat, "Apa kau sudah sangat yakin, jika suatu saat nanti kau tidak akan jatuh cinta padaku?"

Alvin terpaku, bibirnya terasa kelu. Ia memang tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, baginya ucapan Luna begitu di penuh keyakinan. Meskipun, Alvin sendiri tidak yakin jika ia bisa membuka hati lagi untuk yang kesekian kali.

Permainan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang