Aye come back.
Sebelum... jika memang ada yg salah dlm penulisan, terutama bhsa korea, tolong jgn segan untuk bilang, dan jika memang ada penggambaran aye yg salah.. silahkan... kemukakan... keluarkan saja uneg2nya... aye dgn senag hati menerima...
~~ Sesuatu Keempat - 1 ~~
Minzi kembali melirik Rori untuk yang kesekian kalinya. Mulutnya mengunyah makanan tapi perhatiannya sejak tadi adalah memperhatikan apa yang Rori lakukan sejak bangun tadi pagi. Sakitnya sudah pulih. Seharian beristirahat seperti kemarin membuat kesehatannya membaik. Minzi akan mengikuti Rori kemanapun Rori pergi, tak peduli Rori suka atau tidak.
Sementara Rori sejak tadi berusaha menahan tawa gelinya. Ia tahu, sejak tadi Minzi memperhatikan gerak-geriknya. Ada pergerakan sedikit saja darinya, Minzi sudah bergerak gusar. Sekarang contohnya, Rori hanya bergerak menuju pantry, lalu berjalan menuju toilet, lalu duduk di sofa. Rori yakin itu semua tak luput dari pandangan Minzi.
Dasar wanita aneh!
Rori melihat jam tangannya, sudah jam tujuh pagi. Nampaknya ia harus segera pergi, menyapa air laut yang seharusnya di lakukan sejak kemarin. Karena insiden Minzi sakit, Rori terpaksa seharian di villa bersama wanita aneh itu. Cukup satu hari saja Rori menyia-nyiakan hari cutinya. Tinggal dua hari ia disini, jadi hari ini ia tidak akan menyia-nyiakannya. Surfing dan memancing. Hanya itu sebenarnya yang hanya ingin dia lakukan, dan itu harus dilakukan hari ini.
Rori beranjak dari duduknya, mengambil ransel yang berada di sudut ruangan dan berjalan keluar tanpa pamit pada Minzi.
***
Terseok-seok, Minzi mengikuti langkah Rori. Rori berjalan bagai meluncur diatas skateboard, cepat, namun tetap terlihat tenang dan santai. Minzi melepas wedges sepuluh senti abu-abunya, lalu mengutuknya.
Sial! Seharusnya aku tak memakai ini.
Minzi berlari tanpa alas kaki sambil menenteng wedgesnya, akhirnya dia bisa berjalan sejajar dengan Rori. “Tu-tunggu,” ucapnya terengah-enggah.
Rori hanya meliriknya sekilas, tanpa berminat berbicara padanya. “Ki-kita mau kemana?” tanya Minzi lagi.
“Kita?”
“Iya, kita.”
“Saya tidak merasa mengajak kamu.”
Aish, jinja! Napeun namja—aish, benar-benar laki-laki keterlaluan.
Ingin rasanya Minzi melempar wedges yang ia bawa ke kepala Rori, kalau saja tak mengingat ia sudah menyusahkan Rori, ia mengurungkan niatnya.
Rori berjalan memasuki mobil yang akan mengantar mereka menuju pantai bangko-bangko. “Selamat pagi,” sapa supir villa yang akan mengantar mereka. Rori sudah duduk di kursi penumpang, sementara Minzi masih berdiri di depan pintu.
“Selamat pagi, pak,” Minzi menjawab sapaan sopan supir itu. Mata Minzi beralih ke Rori yang berwajah datar tanpa ekspresi. Dasar manekin hidup. “Bisa bergeser, honey.” Minzi sengaja berkata seperti itu, ia ingin liat reaksi Rori. Benar saja, tanpa berkata-kata, Rori menatapnya tajam sambil menggeser tubuhnya kesamping.
Tak sampai satu jam mereka sampai di pantai bangko-bangko. Hanya perlu berjalan sedikit untuk menyisiri pantainya dari tempat mobil terparkir. “Tidak usah menunggu, pak. Jemput kami pukul jam 6 saja,” ucap Rori datar namun tegas, sambil menenteng papan selancarnya dan membawa ranselnya.
“Baik, pak.”
Mereka mulai berjalan menyisiri hamparan pasir putih nan lembut pantai bangko-bangko. Airnya bening hijau kebiru-biruan, nampak terlihat jelas kehidupan yang berada di bawah laut karena jernihnya air. Suasana pantainya masih alami dan sepi. Desiran udara pantai yang sejuk, serta hempasan air laut ke pasir putih menentramkan jiwa. Cocok untuk tempat menenangkan diri, pikir Rori. Tapi mengingat ada wanita aneh yang mengikutinya. Buang jauh-jauh dari rasa itu.
Masih belum banyak pengunjung pantai yang datang ke pantai itu, mungkin juga karena masih terlalu pagi untuk berkunjung ke tempat ini. Pantai ini menghadap langsung ke pulau Nusa Penida yang terlihat samar dari garis pantai.
Ombak yang beriak-riak membentuk relief-relief yang panjang dan sambung-menyambung masuk dalam kategori high risk, cocok untuk peselancar profesional, Rori contohnya, karena berselancar memang bukan hal baru bagi Rori dan keluarganya.
Rori tersenyum membayangkan dirinya sebentar lagi akan bisa merasakan, tubuhnya meliuk-liuk dengan papan selancarnya melewati terowongan ombak. Tak ada yang indah didunia ini, jika sudah seperti ini, menyatu dengan laut seperti bertemu dengan dirinya yang lain.
Sementara Minzi yang memperhatikan ekspresi Rori hanya bisa memandang heran sekaligus kagum. Rori yang tida-tiba tersenyum, lantaran hanya karena memandang laut di depannya. Dalam diam, Rori seperti terlarut dalam pikirannya. Seperti melihat sesuatu yang indah. Dan senyumnya, Minzi sangat berharap bisa mengabadikan senyum Rori yang sangat langka itu.
Ah, Kyopta—ah, manisnya. Kenapa tidak setiap hari saja senyum itu muncul.
Rori memandang Minzi yang masih terpesona dengannya. Ah, senyum itu hilang, gerutunya kecewa. Sesaat Minzi sadar tatapan itu seperti pertanyaan. “Ah, ya ... saya di sini saja. Saya lebih suka berjemur agar kulit saya tidak pucat.”
Rori mengangguk, menaruh ranselnya di atas pasir, lalu melepas kaos oblong yang dipakainya. Minzi melonggo, apa yang dilihatnya? Susunan baris perut yang rapi seperti di garis oleh tangan. Bukan enam, tapi delapan pack. Sebenarnya apa yang di lakukan Rori, hingga seperti itu? Apa profesinya?
Kulit coklatnya yang terbias pancaran mata hari pagi membuat kulitnya berkilat, nikmat dipandang. God, rasanya Minzi ingin melemparkan dirinya pada Rori sekarang juga.
Melihat Rori, Minzi jadi ingat film Baywatch. Pantas sekali Rori membintangi film itu, penjaga pantai yang sexy. Minzi rela tenggelam setiap hari kalau begitu. Pikiran anehnya membuatnya tertawa geli.
Rori santai, berjalan ke arah laut. Berjongkok sebentar saat ada di bibir pantai, meraba-raba permukaan air dengan tangannya yang bebas dari papan selancar. Apa ini ritualnya sebelum ke laut? Pabo namja—pria bodoh. Kenapa tampan, tapi berprilaku aneh.
Rori berjalan ketengah, saat air sudah mencapai batas dadanya, barulah ia naik menaiki papan seluncurnya, mengayuhnya ketengah dengan tangan hingga bertemu dengan ombak yang tinggi lalu berdiri dan terlarut di dalamnya.
Daebak!—Keren.
Rori benar-benar mahir dalam olahraga ini. Minzi seperti melihat peselancar profesional dalam kompetisi Internasional. Kakinya bagai menempel erat di papan seluncur, Rori tidak pernah jatuh saat melawan ombak yang bergelung tinggi.
Perjalanannya kali ini ke Lombok seperti mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan. Apa ia mulai jatuh cinta dengan Rori? Entahlah, rasanya terlalu cepat. Tapi ia menyukainya perasaan ini.
###
Profesinya Rori apasih? tukang urut ya bang ampe badannya kaya gitu? lol
typo banyak? tahu...
sedikit? tahu kok, org bikinnya beberapa jam yg lalu... hahaaa
ada pict Rori asyari di media -------------->>
yg mungkin bisa menggambarkan seorang Rori lol
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesuatu di Lombok
ChickLitBagaikan aliran air di laut, mudah bagiku tuk merubah permukaan hatimu... Cover by @alongmumu