Sesuatu ke Delapan

206 29 17
                                    

Kmren sempet males nerusin cerita ini, trus jg di rombak berkali2 karna byk holenya, tp karena iseng mampir ke ig nya bang Rori, jd semangat lg ahahaa...
Happy reading... 😆

.
.
.
.
.

Hari sabtu Rori mengajak Minzi untuk makan di restoran yang berada di resort yang mereka tempati. Dalam diam menikmati sajian seafood yang mereka pesan.

Sore itu Rori memakai kaos lengan pendek berwarna biru gelap, rambutnya di atur belah pinggir dengan sedikit gel tampak begitu rapi dan tampan.

Beberapa kali Minzi tersenyum, bukan karena nikmatnya udang saus tiram yang ia makan, tapi karena saking senangnya Rori mengajaknya ke tempat ini.

Restoran ini tampak lengang, karena hanya sedikit pengunjung di sini. Posisinya yang berada di pinggir pantai membuatnya betah berlama-lama disini, ditambah angin pantai yang berdesir sangat menyejukan.

"Sudah selesai 'kan makannya?"

"Heuh?" Minzi berhenti mengunyah, makanan yang ia makan memang sudah hampir habis, hanya menelan sisa makanan yang ada di mulutnya.

"Kalau sudah selesai, tolong kamu pindah ke tempat yang agak jauh dari tempat saya duduk."

Buru-buru Minzi menelan sisa makanan di mulutnya. "Hah? Maksudnya?"

Apa Rori sedang mengusirnya?

"Pendengaran kamu kurang ya?" Rori mengalihkan pandangannya dari layar handphone miliknya untuk menatap Minzi, Rori memang sudah menyelesaikan makannya lebih dulu. "Seharusnya saya tidak perlu mengulang ucapan yang sama jika itu dengan orang yang normal."

Minzi menganga menahan kesal, tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Apa barusan ia sedang dihina?

Padahal beberapa saat lalu perasaannya sangat senang, karena orang di depannya. Tapi sekarang orang itu juga yang merusak mood-nya.

"Saya dengar, tapi maksudnya apa meminta saya pindah?"

Rori meminta pelayan restoran untuk membereskan meja mereka sebelum berbicara dengan Minzi. "Saya ada perlu dengan teman saya."

"Lalu?"

"Saya tidak suka diganggu pembicaraan saya nanti."

"Saya janji akan diam," Minzi menawar sambil menampilkan senyuman yang manis.

Rori tidak langsung menjawab, malah menatap tajam wajah Minzi. "Silahkan pindah," ucapnya tegas. "Sekarang!"

"Ck," Minzi mendengus kesal sambil menghentakan kaki. Emosinya benar-benar di ubun-ubun. Seharusnya beberapa hari tinggal dengan Rori, ia tahu sifat menyebalkan pria ini selalu menempel setiap saat.

Hanya lima belas menit berselang, teman yang Rori tunggu datang. Minzi sempat berpikir kalau yang akan datang adalah seorang wanita Indonesia yang cantik, yang mungkin mempunyai hubungan khusus dengan Rori, bukan pria bule tinggi besar yang tingginya melebihi Rori.

Minzi duduk agak jauh di belakang meja Rori. Ada beberapa meja di depannya yang memisahkan jarak dari meja tempat Minzi duduk, jadi ia tidak bisa mendengar apa yang Rori dan temannya bicarakan.

Apa sih yang mereka bicarakan?

Dalam diam Minzi memperhatikan Rori sambil memainkan sedotan jus yang ia pesan.

.
.
.

Hari minggu paginya Rori berangkat ke Surabaya dengan flight pagi. Sementara Minzi masih perlu beberapa hari di Mataram untuk mengurus dokumen-dokumennya yang hilang. Jadi, barulah hari kamis Minzi sampai ke rumahnya.

Sesuatu di LombokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang