Sesuatu - Pertama

1.7K 112 17
                                    

 

Cerita ini pernah di upload sebelumnya, dlm bentuk one shoot... nyoba2 buat di kembangkan lagi...  agak merasa tercekik banget pake pov-3 di cerita ini, (keseringan pake pov-1) moga yg baca msh kuat nahan sakit mata dan sabar... lol


17 feb 2013

~ Sesuatu di Lombok ~

"Oke, kalian punya waktu tiga hari untuk menikmati liburan kalian di sini," seru seorang pria yang sedang berbicara dengan beberapa pria lain—bawahannya—di depannya. Pria itu memandang wajah bawahannya satu demi satu sebelum berkata, “enjoy ur holiday.”

Pria berkulit coklat itu bernama Rori. Sosoknya terlihat lebih gagah dan berwibawa dari pria kebanyakan. Tubuhnya yang tinggi, tegap, serta atletis adalah hasil dari didikan dan tuntutan pekerjaannya yang memang dalam bidang militer.

Penampilannya kali ini sedikit berbeda, tiada pakaian dinas berikut atributnya, atau pakaian casual formal yang terkadang dipakainya. Rori hanya membawa ransel hitam di pundaknya, memakai celana pendek hitam dengan bahan kargo selutut dan kaos putih polos yang dibalut kemeja biru serta sandal gunung yang menjadikannya tampak sederhana dan santai.

"Siap kapten!" sahut dari semua pria didepannya secara bersamaan. Mereka tersenyum puas sebelum pergi meninggalkan Rori. Rori berjalan menyusuri Bandara Internasional Lombok sambil membidik beberapa sudut-sudut tempat itu dan mengabadikannya dengan kamera.

Di sisi lain tampak Minzi. Wanita berkulit putih pucat, kurus, tinggi, dan bermata sipit, khas oriental yang didapatkannya dari gen Ayahnya. Minzi sedang sibuk menghubungi kantor travel agent yang akan membantunya mengurus keperluannya selama berada di Lombok.

"Halo, selamat pagi. Ibu Ana, saya ingin confirmasi kalau saya sudah berada di airport, tapi kenapa masih belum ada seseorang yang standby menjemput saya?" dengan nada sedikit kesal Minzi bertanya dengan salah satu staf travel agent.

"Ohh, maaf Miss Minzi.”

“Maaf?” dengan kening berkerut Minzi berusaha menahan kesal.

“Maksud saya, mungkin staf kami sudah berada disana sekarang, karena dia sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu.”

Minzi menghela nafas, berusaha sabar. “Oke.”

“Namanya Agus, memakai celana pendek dan kemeja biru. Jadi Miss Minzi tunggu saja sebentar lagi."

“Kalau begitu saya tunggu," ucapnya mengakhiri panggilan.

Minzi menggerutu sambil menggeret kopernya, menengok ke kiri dan kanan, memperhatikan sekeliling. Pandangan Minzi terhenti pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya. Memperhatikan penampilan pria di depannya sesaat seraya mengingat beberapa hal yang baru saja dikatakan oleh salah seorang staf travel kalau yang akan menjemputnya: memakai celana pendek, dan kemeja biru.

Aha... Itu pasti dia. "Hei!" Teriaknya pada Rori, namun Rori tak menoleh, tak merasa bahwa Ia yang dipanggil oleh Minzi.

"Hei, kamu!” teriaknya lagi pada Rori, kali ini dengan nada yang lebih kencang.

Rori yang menyadari kalau dirinya dipanggil, menoleh ke arah Minzi. Dengan raut wajah bingung Rori menoleh ke kanan dan ke kirinya sebelum kembali memandang Minzi.

"Anda memanggil saya?" tanya Rori memastikan, dengan tangan kanannya yang menempel di dadanya, sedikit ragu memastikan bahwa dialah yang di panggil oleh Minzi.

Dengan gusar Minzi berjalan mendekati Rori, namun tubuhnya terpaku saat berada beberapa langkah di depan Rori.  Netra hitam milik Rori seolah mengunci pandangan Minzi. Dimata Minzi wajah Rori yang tampan terlihat sempurna terpahat di wajahnya, hidungnya yang tinggi bagai penyempurna tak terbantahkan. Alis mata yang tebal serta rahang yang tegas menunjukan kalau pria ini mempunyai watak yang serius dan keras. Dagunya yang berbelah, seolah seperti lem yang mengeratkan  posisi pandangan Minzi yang tak mau berpaling kemanapun. Tubuh tegapnya bagai memanggil-manggil untuk dipeluk. Bahkan warna kulitnya yang coklat sama sekali tak mengurangi penilaiannya.

Wow... Daebak—hebat, igeo namja—pria ini, terlalu tampan untuk orang Indonesia. Apa pria ini benar-benar seorang guide? Deheman Rori cukup untuk membuat Minzi tersadar dari  keterpesonaannya pada Rori.

"Iya, kamu.” Tuduhnya setengah berteriak untuk menutupi kegugupannya. “Namamu Agus kan? Kenapa kamu lupa tugasmu untuk menjemputku di sini, heuh?”

"Apa? Agus? Jemput?” Rori menghenyitkan kening. “Maaf nona, sepertinya anda salah—"

“Ini,” ucapan Rori terputus bersamaan dengan Minzi yang memberikan secara kasar koper miliknya ke tangan Rori.

"Hei,” Rori menatap tak suka dengan Minzi. “Anda salah paham, nama saya bukan Agus," ujarnya menjelaskan.

Minzi menaikan dagunya, menatap tajam pada Rori, seolah melupakan kalau beberapa menit lalu dia terpesona pada sosok di depannya. “Saya baru tahu kalau ada guide yang sombong seperti kamu, saya bisa complaint dengan travel agent kamu."

Rori tertawa mengejek, "Saya sudah katakan dengan anda. Nona, atau siapalah nama anda. Anda salah orang, nama saya bukan Agus," bantahnya lagi.

Lama mereka berdebat sampai akhirnya tak sadar, ada seseorang yang memanfaat situasi itu. "Eh, pencuri!" reflek Minzi berteriak merasa tas kecilnya di rampas oleh seseorang yang baru saja melewati mereka.

Rori yang berada di depannya langsung berusaha mengejarnya, namun karena kelincahan si pencuri dan keramaian bandara saat itu membuatnya kehilangan jejak dengan pencuri tersebut. Sebenarnya Rori bisa dengan mudah mengejar pencuri itu,  namun karena ia lelah dan kesal dengan Minzi, setengah hati Rori mengejar pencuri itu. Rori berhenti mengejar, setelah kehilangan jejak si pencuri.

Dengan nafas yang terengah-engah karena habis berlari mengejar pencopet tersebut, Rori kembali kehadapan Minzi.  “Saya sudah berusaha mengejarnya,” Rori berusaha menstabilkan pernafasannya. “Sebaiknya sekarang anda melaporkannya pada petugas keamanan pihak bandara," jelasnya sebelum berbalik meninggalkan Minzi.

Namun baru selangkah Rori berbalik, Minzi menahan lengannya. “Tunggu, saya tahu, kamu sengaja kan? Pencuri itu pasti salah satu teman kamu."

"Apa?" Rori memutar bola mata, sambil menghela nafas keras.

Ya ampun... Kenapa ada gadis yang menyebalkan di depanku sekarang. Keinginannya untuk liburan di Lombok yang sudah dia idam-idamkan sejak lama dan jarang dia dapatkan selama dia bertugas, musnah seketika karena Minzi.

"Terserah anda mau bicara apa lagi. Saya sudah berusaha membantu anda, tapi ini respon anda?” Segera Rori melepaskan pegangan tangan Minzi pada lengannya lalu berbalik.

Teringat sesuatu, Rori kembali menengok ke arah Minzi. “Ohh iya, Saya tegaskan kembali, nama saya bukan Agus, permisi."

Di sisi lain, tampak pemuda berkulit gelap dari penduduk sekitar, memakai celana pendek dan kemeja biru polos yang sedang menunggu tamu yang menggunakan jasa travelnya, rupanya Minzi salah mengenali staf dari pihak travel itu, bukan kemeja biru kotak-kotak yang di pakai oleh Rori, tapi seorang pemuda berkulit hitam yang memakai kemeja biru polos yang seharusnya menjemput.

"Hei,” Buru-buru Minzi berjalan menyusul Rori. “Tunggu pak Agus atau apalah nama kamu, sebagai seorang pria seharusnya kamu peduli dengan saya.” Rori tetap berjalan, mengabaikan kata-kata Minzi. “Saya ini habis kecurian dan tak punya sepeserpun uang untuk menyewa sebuah kamar hotel atau home stay sekali pun, bukan pergi dan lepas tanggung jawab begitu saja."

Rori berbalik, menarik nafasnya panjang berusaha menahan emosinya pada Minzi, "apa ada kewajiban saya untuk mempertanggung-jawabkan nasib anda?” Rory memandang tajam wajah Minzi. “Hello... Anda siapa saya?" Rori melanjutkan kembali langkahnya pergi meninggalkan Minzi.

Minzi panik, otaknya berputar-putar memikirkan nasibnya nanti. Apa yang harus aku lakukan?

Minzi mau menghubungi pihak travel tapi ponselnya juga ada di tas kecil yang baru saja di copet, beruntung pasport dan beberapa tanda pengenal lainnya berada dalam kopernya. Berusaha berpikir keras, hingga terlintas ide konyol untuknya.

"Sayang,” Minzi berteriak ke arah Rori. “Kamu tega, tidak mau tanggung jawab sama aku dan anak kamu." Langkah Rori terhenti saat menyadari hujanan tatapan aneh padanya dari orang sekitarnya.

_ndie

Sesuatu di LombokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang