Sesuatu - Ketiga

878 93 9
                                    

Si abang Rori datang lagi... ciyeee... 

well, kalian adalah editor aye... bantu aye untuk memperbaiki tulisan aye ya... jgn segen untuk bilang sesuatu yg mengganjal, ntar sakit perut lg... xixixi

monggo di baca si abang es nya lol

~ *** ~

Kepalanya terasa berat, itu yang Minzi rasakan sekarang. Matanya seolah enggan untuk terbuka, tapi ia harus, rasanya ia sudah lama tertidur. Susah payah Minzi berusaha untuk duduk dari posisi tidur walau badannya terasa lemas. Hal pertama yang ia lihat adalah bed cover putih yang menyelimuti tubuhnya. Pantas tidurnya terasa nyaman dan hangat.

Dimana aku sekarang? kepanikan mulai melandanya. Seingatnya, ini bukan tempat yang ia tiduri semalam.

Minzi menengok ke kiri dan kanan. Yang ia lihat sekarang adalah kamar tidur yang cukup besar, kamar yang di dominasi dengan furnitur kayu sebagai interiornya. Di depan ranjang yang ia tiduri terdapat meja kayu persegi empat yang beberapa centi di atasnya terdapat lcd tv yang menempel di dinding, beberapa meter dari meja terdapat lorong kecil yang menghubungkan wall in closet dan kamar mandi. Di bagian kanan terdapat pintu geser besar yang terbuat dari kaca, yang menghubungkan langsung dengan beranda lebar yang menghadap pantai dan laut, pantas saja ruangan ini terang walau tanpa lampu. Sementara di sisi kirinya terdapat pintu masuk kayu mahagony yang terlihat kokoh. Disampingnya terdapat jendela besar yang dibawahnya terdapat bangku kayu yang lebar seperti dipan, yang cukup nyaman untuk berbaring.

Pikirannya masih setengah sadar, mencerna apa yang ia lihat ini semua benar-benar nyata. Seingatnya semalam ia tertidur di gazebo kayu depan villa, menahan dingin dan kelaparan hingga ia tertidur. Tapi sekarang? Minzi justru terbangun di atas ranjang empuk yang nyaman dan hangat.

Keningnya menghenyit, mencoba berpikir, apa Minzi masih bermimpi? Tapi semua ini tampak nyata. Apa ada seorang peri baik hati yang memindahkannya kemari karena tak tega melihatnya menderita? Memikirkan ini semua kepalanya makin berdenyut. Tangannya tanpa sadar memijat keningnya sendiri.

Kalau ia ada disini kemana perginya si pria kaku, datar, dan galak itu? Apa pria itu yang memindahkannya kemari? Tapi kapan? Mengapa? Belasan pertanyaan memenuhi pikirannya.

Anio—Tidak!

Tidak mungkin, kepalanya menggeleng keras, tak mempedulikan lagi nyeri dikepalanya.

Tidak mungkin si pria kaku, datar dan galak itu peduli terhadapnya.

Tapi ..., batinnya ragu. Sesuatu bisa saja terjadi, atau ... jangan-jangan pria itu sudah berbuat yang tidak-tidak terhadapnya. Panik, Minzi langsung menunduk menyibak sedikit selimut yang menutup tubuhnya. Lalu beberapa detik kemudian barulah ia bisa bernafas lega. Pakaiannya masih lengkap, tak ada yang berubah. Lalu kenapa ia bisa berada disini?

“Sudah sadar rupanya,” Rori muncul dari balik pintu. “Saya pikir kamu mati.”

***

Rori menatap kembali pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukan jam dua belas siang. Sudah tiga jam sejak Rori terakhir mengecek kondisi Minzi yang ada di dalam kamar, tapi masih belum ada tanda bahwa Minzi akan bangun.

Tengah malam tadi,  Rori memang sengaja keluar dari kamarnya. Awalnya memang hanya untuk  sekedar mengecek Minzi, si wanita menyebalkan yang ikut dengannya sejak dari bandara, tapi malah menemukan Minzi yang dalam keadaan meringkuk, menggigil kedinginan.

Awalnya Rori ragu untuk mendekat, tapi rasa penasaran dan sebersit cemas menuntunnya untuk berjalan mendekati. Tubuh mungil Minzi meringkuk, sedikit bergetar karena menggigil. Kulit putih pucatnya, semakin terlihat pucat. Beberapa kali Rori mencoba memanggil Minzi namun tak ada jawaban darinya. Pelan-pelan Rori menempelkan punggung tangannya pada kening dan leher Minzi. Tubuhnya sedikit terkejut saat merasakan suhu tubuh Minzi yang tinggi. Tanpa menunggu lama lagi, Rori segera menggendongnya ke dalam kamar lalu membaringkannya di atas ranjang.

Sesuatu di LombokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang