.
.
.Pada menit ke lima belas, akhirnya Minzi bisa bernafas lega melihat sosok Rori muncul ke permukaan.
Bagaimana bisa pria ini bisa menahan nafas selama itu?
Rori mulai naik ke atas boat membawa sebuah joran pancing yang tadinya Minzi pikir telah tenggelam ke dasar laut.
Rasa cemas dan khawatir yang terasa menyesakkan tadi sirna sudah. Minzi langsung berjalan menghampiri Rori. Memukul dada Rori yang basah dengan keras.
Rori hampir mundur selangkah karena pukulan keras Minzi. "Napeun namja¹."
Tadinya Rori mau memprotes, kenapa wanita ini tiba-tiba nemukulnya, tapi karena melihat wajah Minzi yang seperti menahan tangis, Rori menahannya.
Minzi memukul Rori lagi dan lagi. "Noh, pabo ya² ...," gumamnya pelan.
Rori masih diam memperhatikan Minzi yang sudah menangis tanpa suara. Lagi pula wanita itu mengumamkan kata yang tidak Rori mengerti.
"Bagaimana bisa kamu betah berlama-lama di bawah sana? Saya takut sendirian di sini, kalau terjadi sesuatu sama kamu di bawah sana bagaimana? Apa yang harus saya lakukan di tengah laut seperti ini?"
Rori menatap wajah Minzi, tangannya memegang tangan Minzi yang masih menempel pada bahunya agar menjauh.
"Perlu kamu ketahui, ruang lingkup pekerjaan saya memang dengan laut, jadi saya sudah terbiasa dengan hal ini." Seharusnya Minzi tenang, ia tahu apa pekerjaan Rori karena tadi ia melihat isi dompet Rori. Tapi ia seolah lupa, karena terlalu cemas tadi.
Minzi diam, tapi pandangannya mengikuti Rori yang berjalan ke arah kemudi. "Kita mau kemana lagi?"
"Kembali ke pulau."
Satu jam perjalanan menuju pulau hanya mereka habiskan dalam diam.
Boat sudah menepi ke dermaga. Rori juga sudah mengikat tali boat ke dermaga.Rori membereskan joran dan peralatan yang dipakainya ketempat semula. Sementara Minzi mulai mencoba turun dari boat pelan-pelan. Minzi tidak mau menyusahkan Rori lagi, kalau hanya turun dari boat ini sendiri, ia juga bisa.
"Mau kemana?" Keningnya menghenyit saat mendengar suara Rori.
Apa maksud Rori bertanya seperti itu?
Minzi berbalik saat kakinya sudah menapak pasir. "Bukannya kita mau kembali ke resort?" Minzi melihat Rori yang masih membereskan peralatan di boat.
"Iya. Setelah sunset."
Setelah sunset? Apa maksudnya?
Pria ini benar-benar aneh.
Sekarang Minzi melihat Rori sedang duduk menyeder di sudut boat dan membiarkan kepalanya bersandar pada ujung tepi boat sehingga mendongak ke arah langit.
Kacamata hitam sudah bertengger di kedua mata Rori, menghalau silau yang mengganggu matanya. Kedua tangannya juga di rentangkan di kedua sisi.
Minzi menelan ludah, bahu Rori seolah memanggil-manggil untuk di peluk.
Merasa bingung Minzi berjalan mendekati boat. "Jadi kita di sini dulu sampai sunset?"
"Hmm."
Minzi memutuskan untuk kembali naik dan bergabung dengan Rori. Agak sulit memang saat berusaha naik sendiri karena dress yang dipakainya. Tapi Minzi berhasil.
"Kamu tinggal dimana?" Minzi bertanya setelah duduk di samping Rori. Rori sedikit tersentak menolehkan kepalanya sebentar ke arah Minzi karena bahu Minzi yang mengenai tangannya. Tapi Rori kembali ke posisi semula.
"Saya tidak mau jawab."
"Kenapa?"
"Bahaya kalau kamu datang ke tempat saya dan mengaku-aku sebagai istri saya lagi."
Minzi tertawa kecil. Niat awalnya hanya bertanya karena ingin basa-basi, tapi kenapa malah mendapat jawaban yang lucu seperti ini.
"Maaf, yang kemaren itu terpaksa. Saya janji yang kemarin itu tidak terulang lagi."
Rori tidak menjawab. Malah diam dan tenang menikmati desir angin pantai yang berhembus bercampur deru ombak yang mengikis waktu mereka.
"Saya tinggal dengan Papa dan adik saya. Mama saya sudah meninggal beberapa bulan lalu." "Minzi bicara setelah jeda di antara mereka yang yang cukup lama.
"Adik saya namanya Jesa." Rori diam, tapi ia mendengar apa yang Minzi katakan. "Berbicara dengan Leffi mengingatkan saya dengan dia.
"Leffi itu adik kamu kan?"
"Hmm."
"Berapa umurnya?"
"Mungkin sekitar dua puluh."
"Dia lucu."
"Memangnya dia badut."
"Maksud saya, dia orangnya ramah, baik dan lucu."
"Dia itu bawel, senang ikut campur urusan orang dan tukang gombal." Minzi tersenyum, dia ingat saat Leffi memujinya.
"Besok saya ke Surabaya."
Minzi bertanya-tanya dalam hati, kalau Rori pergi bagaimana nasibnya?
"Kira-kira kamu butuh berapa hari untuk mengurus dokumen kamu yang hilang?"
"Entah, mungkin dua atau tiga hari."
"Kalau gitu saya perpanjang resort untuk beberapa hari." Minzi langsung tersenyum lega, merasa beruntung beruntung bertemu Rori. Bagaimana jika bukan Rori yang ia jadikan korban di bandara kemarin. Entah bagaimana nasibnya.
"Terima kasih. Nanti saya akan hubungi keluarga saya untuk biaya akomodasi saya pulang." Rori hanya mengangguk mendengar ucapannya.
Warna keabuan yang menghias langit perlahan berubah menjadi jingga. Menunjukan waktu menuju matahari terbenam.
Mereka sama-sama terdiam. Menikmati matahari senja yang begitu menghibur mata.
Rori bergerak, merogoh sesuatu dari ranselnya dan mengeluarkan sebuah kamera. Lalu mengabadikan sunset yang tersaji di depan mata.
Sesaat Rori berbalik ke arah sebelahnya, memperhatikan gadis yang baru saja di kenalnya dua hari yang lalu. Dilihatnya Minzi yang berdiri dan berjalan beberapa langkah ke depan.
Rambut panjangnya yang tergerai terbawa angin semakin membuatnya
mempesona terkena sorotan dari cahaya sunset, tangan Rori bergerak menekan tombol untuk mengambil gambar Minzi dari belakang.Melihat hasilnya. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik keatas membuat senyuman.
***
¹ : Pria keterlaluan / brengsek
² : Kamu bodoh yaOne shootnya abs sampai di sini klo ada yg msh ingat 😀
Bnyk yg saya hilangkan dan saya ganti.Ndie~
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesuatu di Lombok
Genç Kız EdebiyatıBagaikan aliran air di laut, mudah bagiku tuk merubah permukaan hatimu... Cover by @alongmumu