Sesuatu ke Lima

217 42 25
                                    

Sebelumnya saya mau ngikik dulu, lalu bertanya: tahun berapa ya cerita ini terakhir update? 😂😂😂

.
.
.

Setengah berlari Minzi mengikuti langkah Rori. Setelah Rori tahu Minzi mengangkat telponnya, Rori tak mengatakan apapun lagi. Hanya mengambil tas ranselnya secara kasar lalu berbalik pergi.

Matahari sudah meninggi saat Rori menepi ke pantai, berjalan menuju ke arah Minzi duduk.

Wanita aneh itu sudah berjemur berjam-jam, namun tak ada yang berubah dari kulitnya yang memucat selain berganti menjadi memerah.

Dari kejauhan Rori bisa melihat Minzi yang terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang di telpon.

Seingatnya, Minzi kehilangan benda-benda penting di tas kecilnya waktu itu, jadi dia berbicara dengan handphone siapa? Seperti tersadar sesuatu, Rori mempercepat langkahnya.

Sial! Wanita aneh yang tidak sopan.

Rori amat tidak suka benda miliknya di sentuh apalagi tanpa seijinnya. Intinya, Rori tidak suka di usik privasinya.

"Kamu berbicara dengan siapa di handphone?" nadanya datar namun terkesan dingin.

Minzi berbalik, tubuhnya menegang mendengar suara Rori. Tamatlah riwayatku, gumamnya dalam hati.

"Le-Leffy," ucapnya terbata-bata. Keberaniannya ciut melihat wajah Rori yang terlihat kesal.

Tanpa menunggu jawaban Minzi, Rori merebut ponsel yang ada di tangan minzi. "Bicara apa aja sama dia?" tanya Rori dengan nada tegas pada si penelpon.

"Weits, santai bro. Kita cuma berkenalan." Kening Rori menghenyit. Rori tahu sekali sifat adik kesayangannya yang agak cerewet dan senang mengumbar-umbar informasi tentangnya.

"Lef-fy," jika Rori sudah memanggil nama adiknya dengan nada penekanan, Leffy tahu kalau kakaknya sedang menahan kesal.

"Sedikit ngomongin lo, sebenernya." Sudah Rori duga. Dia segera mengakhiri sambungan telpon dari adiknya sebelum melempar kasar hanphone-nya ke dalam tas lalu berjalan menjauh dari tempat Minzi berada.

"Hei, tunggu." Minzi berusaha berjalan cepat dengan kaki telanjangnya melewati pasir putih. Sementara tangan kirinya menenteng heel-nya.

"Rori." Rori terus berjalan mengabaikan panggilan Minzi.

"Kita mau kemana?" Langkah kaki Rori itu lebar, satu langkah Rori bagai dua langkah untuk Minzi. "Rori."

"Mau kemana kita?" Tetap saja tak ada jawaban dari Rori.

"Rori, tunggu saya." Suara Minzi lumayan keras, sampai orang yang berada di pantai itu memperhatikan mereka.

"Ouch." Langkah Rori terhenti saat dia mendengar suara mengaduh. Suara Minzi yang sepertinya mengaduh karena sakit.

"Kenapa?" Rori bertanya dari balik bahunya, dia hanya menengok ke belakang sedikit.

"Nggak apa-apa." Minzi berusaha tersenyum sambil meringis menahan perih.

Telapak kakinya terkena goresan dari pecahan kulit kerang yang membuat lukanya cukup dalam, jika di diamkanpun akan menyulitkan jalan karena lukanya tepat di telapak ibu jari di kaki kanan.

Akhirnya Rori berbalik setelah menghela nafas berat, berjalan menghampiri Minzi yang duduk di pasir sambil merunduk memegang kakinya.

Tanpa bicara Rori berjongkok di depan Minzi. Lagi-lagi wanita ini merepotkannya, keluhnya dalam hati.

"Yakin tidak apa-apa?" Minzi langsung mengangguk. Detik berikutnya yang Rori lakukan justru mengambil botol air mineral yang ada di ranselnya, menyiram isi airnya pada kaki Minzi sebelum menempelkan plester ke kakinya.

"Terima kasih." Wajahnya menunduk tidak berani menatap wajah Rori, rasanya malu sudah banyak Minzi merepotkan Rori, tapi malah ia membuatnya kesal karena tidak sopan menjawab telpon orang lain.

"Ma-maaf soal tadi." Rori berdiri kembali. "Saya pikir kalau itu telpon penting, jadi saya angkat." Pelan-pelan Minzi ikut berdiri.

"Tolong, jangan di ulangi lagi."

Minzi mengangguk cepat. "Iya, saya janji." Jari telunjuk dan jari tengah Minzi ditunjukan bersamaan di dekat wajahnya sebagai simbol janjinya pada Rori.

"Setelah ini kita kemana?"

"Saya mau memancing di tengah laut, sebaiknya kamu kembali ke resort."

Minzi menggeleng, "saya ikut." Tak peduli Minzi mendapatkan tatapan tajam dari Rori. "Saya mau ikut daripada saya sendirian di resort." Rori tidak menjawab malah berbalik dan berjalan kembali. Diamnya Rori membuat Minzi menyimpulkan kalau Rori tidak keberatan jika dia ikut dengannya.

"Benar-benar di tengah laut?" Tidak ada jawaban dari Rori, Minzi menyimpulkan kalau itu iya.

Dari kejauhan sudah terlihat beberapa kapal kayu dan sebuah boat yang sudah bersandar di dermaga.

Sebelah tangan Rori melambai ke arah pemuda yang berdiri tak jauh dari boat. Mereka berbicara sebentar sebelum pemuda itu memberikan sebuah kunci lalu pamit pergi.

Minzi sudah berdiri di dekat boat saat Rori mencoba melepaskan tali pengikat boat di dermaga. "Yakin mau ikut?"

"Me-memangnya hanya kita berdua?" tanya Minzi ragu.

"Memangnya ada lagi orang lain lagi selain kita?" Minzi mengok ke kanan dan ke kiri, memang hanya mereka berdua yang berada di sekitar sini, dermaga kecil ini sepi. Jikalau ada orang yang sedang bermain di pantai, itupun jauh jaraknya.

Detak jantung Minzi mulai berdebar. Itu berarti hanya mereka berdua di tengah laut, berdua saja? Hanya berdua?

Bagaimana kalau terjadi sesuatu? apalagi dia tidak bisa berenang.

Bagaimana jika boat ini nanti tenggelam? Tadi Rori bilang kalau mereka akan ke tengah laut. Minzi tidak bisa membayangkan berapa dalamnya laut di tengah nanti.

"Masih ada waktu kalau kamu mau memutuskan tidak ikut," ucapan Rori membuat Minzi tersadar dari rancauan pikiran negatifnya. "Dan saya setuju kalau kamu tidak ikut."

"Tidak," Minzi tersenyum. "Saya mau ikut." Rori mendengus kesal, tapi sebelah tangannya terulur untuk membantu Minzi naik boat.

Minzi duduk di dekat bangku sebelah kemudi, sementara Rori mulai menyalakan mesin dan berada di balik kemudi. Perlahan boat mulai bergerak maju saat Rori menggerakan tuas kemudinya.

***

Segini dulu, mudah2an minggu depan bisa update lg, insha Allah ya... 😁

Sesuatu di LombokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang