Sesuatu ke Sembilan

187 27 16
                                    

.
.
.
.
.

"Kayaknya kamu makin kurus, dek."

"Biarin, yang penting sehat," sahut cowok tinggi kurus dengan nada kesal. Jelas kesal, karena Rori baru saja mengerjai adiknya ini untuk sit up 50 kali di depannya. Bayangkan, di tengah ramainya ruang tunggu bandara Soeta terminal dua.

"Yakin sehat?" Rori menengok ke arah Leffi yang duduk di sebelahnya. "Kerempeng gini," ucapnya meledek. "Sekali dorong sama Ayah juga langsung tepar,"

"Tuh, tuh, ngapain bawa-bawa orang tua." Rori tak bisa menahan senyum melihat raut wajah kesal adiknya.

"Masih marah ya sama Ayah?"

Leffi menggeleng pelan, "seharusnya tuh yang ditanya beliau lah, masih marah nggak sama anaknya ini." Leffy tertawa garing. "Itu juga kalau masih dianggap anak."

"Kamu 'kan tahu kalau ayah itu sifatnya keras." Leffi diam dengan wajah cemberut. Dalam hati ia membenarkan ucapan kakaknya.

"Lagipula, orang tua pasti mau kebaikan untuk anaknya, itulah kenapa mereka punya rencana sendiri untuk anak-anaknya."

"Tapi nggak harus dengan yang jalan yang beliau mau kan?"

Rori menghela nafas pelan, mencoba berusaha bicara untuk tetap lembut dengan adiknya. "Kenapa nggak turutin aja maunya ayah sih, dek?"

Terkadang Rori juga geram dengan sifat keras kepala adiknya beberapa tahun ini. Kalau di ingat, Leffi adiknya beberapa tahun lalu adalah sosok yang penurut yang selalu mengikutinya kemanapun, bahkan dulu saat Rori tinggal hanya untuk sekolahpun Leffi menangis ingin ikut. Ah, waktu merubah banyak.

"Ya nggak bisalah kak, gue 'kan juga punya rencana sendiri."

"Kamu berubah," gumam Rori pelan sambil memperhatikan wajah adiknya. Leffi makin terlihat kurus, dan lebih gelap warna kulitnya dari sebelumnya. Apa selama ini kehidupan yang dijalankan olehnya tidak mudah. Memang, terkadang Rori mentransfer sejumlah uang untuk membantu biaya kuliah adiknya. Tapi, apa cukup? Setahunya beberapa bulan lalu Leffi terlibat masalah dengan temannya hingga berakibat beasiswanya di cabut. Sedangkan untuk biaya sehari-hari adiknya hanya bekerja di bengkel milik teman sekolahnya dulu.

"Ya kali gue Power Ranger," ujar Leffi asal.

Rori mengabaikan ucapan konyol adiknya. "Padahal dedek Leffi yang kakak kenal itu penurut loh."

"Apaan sih manggil dedek," ucap Leffi jengah, tak terima dengan panggilan Rori. "Dikata gue masih bocah kali, yang ada gue udah bisa bikin dedek kali, kak." Tangan Rori otomatis menoyor kepala adiknya. Masih saja tidak berubah dari adiknya, selalu mengutarakan apa yang ada dipikirannya tanpa di saring terlebih dahulu. Padahal, Rori sengaja memanggil Leffi seperti itu untuk membuat adiknya bertambah kesal. Ah, momen seperti ini sudah jarang sekali, apalagi jarak dan kesibukan mereka yang hingga membuat mereka jarang bertemu.

Tak ada pembicaraan selama beberapa menit. Leffi fokus melihat layar handphone-nya, mengecek notification yang sejak tadi membuat benda itu bergetar. Sementara Rori memandang sekeliling memperhatikan keadaan sekitar.  "Kakak tuh ya," hingga Leffi memecah keheningan antara mereka. "Jangan terlalu ikutin kemauan Ayah terus-terusan." Memang dasar adiknya ini, malah mengusulkan untuk menolak perintah orang tuanya. "Sekali-kali tuh nolak yang Ayah suruh kek."

Rori menatap malas pada Leffi, adiknya ini kalau dalam hal ide aneh-aneh untuk menentang orangtuanya itu nomor satu.

"Kak, lo kan punya kehidupan sendiri." Leffi menaikan kedua kakinya yang terasa pegal di atas koper kecil milik Rori. "Memangnya lo nggak punya keinginan untuk apa gitu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sesuatu di LombokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang