1

17 2 0
                                    

Tema : Rumah Kosong
Judul : Sebuah Mimpi.
Penulis: JiSheun

Wajah yang licin ini baru saja selesai kupoles dengan krim malam, sembari mengikat rambut seperti kuncir kuda di poni depanku. Aku Wang Yibo. Iya, pria yang sedang mematut diri di depan cermin ini, memangnya siapa lagi kalau bukan aku? Sigh.

Tampan, menggemaskan dan pastinya menggairahkan. Eumm ... sepertinya tidak akan selesai membicarakan aku di sini.

Ini saatnya, akhirnya tiba bagiku untuk menjelajah di pulau kapuk dan menyelam ke alam mimpi. Ah, rasanya seluruh tulang di tubuhku remuk redam. Tentu saja aku harus mengisi ulang tenagaku dengan tidur, kan? Setelah menghabiskan waktu di sekolah dan bermain game.

"Nyaman sekali," desahku sambil menarik sebuah guling ke pelukanku. Dingin, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan kenyamanan yang aku dapatkan dari ranjang tua ini. Mungkin rasanya seperti kasur yang kutiduri ini juga sedang memelukku dan menjaga tubuhku tetap hangat.

Akan tetapi, sesuatu yang mengesalkan terjadi. Padahal belum sampai lima menit aku memejamkan mata. Suara gaduh seperti palu menghantam tembok terdengar dari rumah kosong yang berada di sebelahku. Apalagi kamarku yang hanya berjarak dua meter. Sejujurnya aku tak mau peduli, tetapi jiwa keingintahuanku menggelora. Mau tak mau dengan amat–sangat–terpaksa, kuputuskan untuk menunda kencanku dengan ranjang biru muda ini. Aku membuka jendela kaca dan mengintip ke arah rumah kosong itu dari kamarku. Nihil! Aku tak bisa melihat apa-apa kalau hanya dari kamar.

Ketika aku memutuskan menyudahi jiwa ingin tahu, mataku tanpa sengaja menangkap sosok pria tinggi kini sedang berdiri tegap melihat ke pintu rumah kosong. Awalnya aku takut. Namun, setelah dilihat lebih jelas ini adalah kakak kandungku–tampak asik mengunyah makanan yang kupikir itu gorengan. Terang saja aku segera melompat dari jendela kamar, segera menyusulnya.

Ngomong-ngomong sejak kapan kakakku suka gorengan. Itu adalah makanan kesukaanku dan pria ini selalu mengatakan makanan sampah.

Aku mengembuskan napas dengan perlahan, mendekati kakakku lalu berdiri di belakang  yang sepertinya belum menyadari kehadiranku. "Kakak sudah pulang? Kenapa malah ke sini? Apa Kakak mau memeriksa suara gaduh tadi?"

Belum ada sahutan dari kakakku, malahan ia memilih membuka pintu rumah kosong itu dan masuk lebih dalam.

"Lah?" ucapku tak percaya, melihat kakakku begitu santai masuk rumah orang.

"Kakak!" panggilku, menyusulnya yang tak menjawabku.

"Kenapa, sih? Kok diam saja, Kakak habis kesambet hantu jalan? Lalu tumben suka makan bakwan anget?"

Masih sama, kakakku yang terkenal begitu cerewet. Malam ini menjelma jadi pendiam.

"Kak—eh mati lampu, bukan maksudku gelap," ralatku melihat sekitar yang ternyata gelap gulita.

Ketika aku berusaha membiaskan penglihatan samar dengan mengejar kakakku. Pria tinggi itu menghilang, membuat aku segera memutar mata melihat sekitar ... tunggu! Kemana kakakku?

Tiba-tiba saja aku menahan napas sejenak, tetap mempertahankan posisi tegap. Walau sejujurnya kaki gemetar karena takut.

"Kakak!" panggilku parau, terlihat jelas napasku tercekat dengan bibir gemetar. Mengedarkan pandangan sekitar dan berharap kalau kakakku sedang mempermainkan aku.

"Kakak!" panggilku lagi, masih berharap kepada kenyataan yang membawa aku semakin terdesak. Tak ada siapapun di rumah kosong ini. Selain diriku dan kesunyian.

Aku mulai menghitung mundur langkah, sebelum berlari terbirit-birit menuju kembali ke rumahku. Hanya saja baru kakiku berada di ambang pintu. Aku dikejutkan oleh bayangan kepala melayang. Menarik pita suaraku menjerit layaknya kucing terjepit.

"Aaaaaaaa!" Jujur ini bukan ciri khasku. Namun, penampakan yang jelas-jelas nyata dan menyeramkan membuat aku tak bisa kompromi.

Segera saja aku keluar dari rumah kosong itu, melompat kembali ke kamarku lewat jendela dan berpelukan langsung dengan ranjangku yang tadi kuabaikan.

"Apa itu?" ujarku gemetar, berusaha memejamkan mata walau bayangan kepala melayang tadi terus melintas.

"Yibo ... ini Kakakmu!"

Seketika bulu kudukku merinding mendengar suara bas yang memanggil namaku bergema di sekitar. Kumohon katakan kalau aku bermimpi. Hantu itu tidak ada, yang ada hanyalah setan dalam wujud manusia. Benar, hantu tidak nyata. Lagi pula ini bukan malam Jumat, ha ... ha .... Ghost you have no power here!

"AAAAAAAA!" aku memekik ketika merasakan sesuatu yang tajam menyentuh tumitku dan begitu aku mengintip, kini pisau terbang ada di kamarku. "Ap-apa ini? Hei ... kalian hantu tidak berkelas membunuh menggunakan pisau."

Aku tak bermaksud bercanda, hanya saja mulut sembaranganku ini memang menyebalkan kalau ketakutan.

Mataku membelalak saat melihat penampakan seorang lelaki yang mengenakan jubah hitam yang nyaris menutupi seluruh wajahnya. Tunggu, apa dia malaikat maut atau setan? Kumohon, jangan cabut nyawaku dulu! Aku masih perjaka, kencingku bahkan belum lurus dan aku juga belum menyelesaikan pemutaran video dewasa yang aku tunda, setidaknya cabut nyawaku setelah aku memiliki tujuh belas cicit. Bagaimana ini? Bagaimana?

"Kakak Xiao Zhan, tolong aku," gumanku gemetar, berharap kakak kandungku itu pulang. Bukan kakak palsu yang menatapku dengan menyeramkan.

Namun, pria itu terus mengarah kepadaku mendekat. Siap memutuskan urat leherku. Bagaimana ini? Aku belum mau mati sekarang, tubuhku masih begitu kencang untuk menjadi santapan para cacing.

"Wang Yibo! Hei tukang tidur, cepat bangun!" teriak seseorang yang berhasil membuatku terkejut dan terguling jatuh dari ranjang.

Hah? Kenapa aku ada di sini? Bukannya tadi aku–tunggu! Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan memegangi kepalaku yang mendadak terasa nyeri setelah nyawaku berhasil kukumpulkan. Menatap sosok pria tinggi bertahi lalat kini menatapku sengit.

"Jam berapa ini? Kau mau bolos lagi?"

"Ka-kak?" ujarku gagap masih tak percaya.

Pria itu merunduk, menjulurkan tangan.

"Aaaaaaa sakit," pekikku, merasakan pipi tembamku dicubit kuat oleh kakakku.

"Sakit bukan? Jadi sekarang bangun. Kakak tak mau telat, atau kau pergi sendiri naik bis kota," balasnya kejam. Menarik aku segera tersadar.

Tunggu .... Jadi petualangan yang kualami tadi malam hanya mimpi? Tidak, belum tentu kenapa begitu nyata. Lebih baik aku memastikannya.

Tanpa menunda lebih lama lagi, aku langsung melompati kamar. Menuju rumah kosong yang memang sangat dekat.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa belum mandi?"

Aku mengabaikan pertanyaan kakakku yang menyusul kini menatapku marah.

"Apa yang kau lihat? Cepat masuk!"

Aku belum menjawab, masih penasaran dengan rumah kosong ini.

"Kakak sejak kita tinggal di sini, kenapa rumah ini tak ada yang menawar untuk ditinggali? Apa benar rumah ini angker?"

Aku menoleh kepada kakakku, setelah beberapa detik aku menemukan keterkejutan di wajahnya. Aku sadar sepertinya ... kakakku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang terjadi dengan mimpiku semalam.

"Tidak tahu mungkin pajak bumi bangunan ini menunggak," jawabnya asal, jelas ia sedang menutupi sesuatu.

---------------------Selesai--------------

Kumpulan Tugas Member BATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang