one : farewell

349 44 11
                                    

"Apa yang kau katakan?" Hyunjin menatap nanar laki-laki yang membelakanginya, menggenggam erat raketnya dengan raut wajah hampir menangis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Apa yang kau katakan?" Hyunjin menatap nanar laki-laki yang membelakanginya, menggenggam erat raketnya dengan raut wajah hampir menangis.

"Aku tidak bisa berlatih denganmu lagi, ini semakin membosankan untukku. Aku bahkan sudah masuk tim inti dan memenangkan banyak kejuaraan tapi apa yang kau bisa? Tim cadangan?" ujar laki-laki itu datar. Masih enggan untuk sekedar menoleh padanya.

"Bukankah kau yang bilang dulu padaku untuk tidak menyerah pada apa yang kau sukai?" Teriakan Hyunjin terdengar sumbang, disertai beberapa bulir air yang jatuh dari mata sendunya.

"Aku tidak bilang padamu untuk menyerah, tapi apa kau mau terus berada di belakangku dengan kemampuan menyedihkanmu itu? Aku muak, kau terlalu lemah! Aku tidak membutuhkanmu lagi." Dingin, ucapan laki-laki itu masih terdengar dingin dari awal dia memulai percakapan.

"..."

"Kau tidak akan sejajar denganku, bahkan hanya untuk sekedar menyentuh ujung kaosku."

"..."

"Aku akan masuk ke Matata HS." Ucapan terakhir  mengiringi kepergiannya, tanpa menoleh sedikitpun pada Hyunjin yang masih menggenggam erat raketnya di lapangan SMP sekolah mereka.

Hyunjin menangis, menangis saat teman yang menemaninya bermain bulu tangkis pergi meninggalkannya. Tangannya meraih udara di depannya, tak sanggup menangkap sosok yang sudah terlewat jauh untuk dikejar oleh kakinya yang gemetar.

Apa yang membuatnya lemah jadi seperti ini?

"Aku mengagumimu Chan!" Teriaknya parau. Walau pria itu sama sekali tak menoleh, "aku akan selalu mengagumi permainanmu!"

Hyunjin mencicit, dengan isakan dan tangan yang terus mengusap matanya kasar. Dia menangis sendirian, di lapangan yang biasanya bisa membuatnya tertawa.


***


Kenapa aku tidak bisa mengejarmu?



***

“Hoi! Sebaiknya kau cepat pulang Hyunjin, turnamen final berlangsung lima hari lagi, dan besok kita akan melawan SMA Furui jika ingin masuk final, jadi persiapkan dirimu!” Jisung, pemain bulu tangkis andalan SMA Hakuna terduduk di samping partnernya. Dia menegak isotonik setelah berlatih seharian untuk tournamen musim semi antar sekolah. Hyunjin hanya terdiam sembari memasukan sepatunya ke dalam tas, tidak mempedulikan peluh yang kini masih mengalir di kulit-kulitnya yang mulai lengket dengan debu.

Walau lelah melanda dan membuat tubunya mengeluh, setidaknya perjuangannya satu tahun lebih ini tidak sia-sia, Han Jisung benar-benar hebat dalam melatih tangan payah seperti Hyunjin. Dan juga, tekat bisa berbuah manis bukan?

“Mungkin saja lawan kita SMA Matata, itu pun jika kita bisa masuk final. Hah, aku masih tidak percaya ini! Melihat video permainan mereka kemarin aku jadi merinding!” Hyunjin hanya terdiam mendengarnya, walau raut matanya terlihat menggebu-gebu mendengar kata SMA Matata yang disebut oleh Jisung. Merasa perjuangannya yang sampai mematahkan tulang kaki dan menguras peluhnya itu akan segera berakhir. Ingin sekali membayar kelemahannya sediri dengan kemenangan di kejuaraan nanti.

“Hah, sudahlah. Kau sepertinya tidak mood berbicara!” Jisung mendengus saat ocehannya sama sekali tidak mendapat respon dari Hyunjin. Walau bisa dilihat jika Hyunjin sudah tersenyum dengan raut maaf sambil menunjukan V sign.

“Sudahlah! Aku mau pulang!” Hyunjin meraih tas ranselnya dan berdiri dari meja panjang di pinggir arena olahraga, membuat Jisung sedikit mendengus walau mengangguk mengiyakan kepergiannya.

“Hyung! Ayo pulang! Aku punya anime baru!”

“Jeongin?” Jisung menoleh ke arah pintu dan segera meraih tasnya juga.

“Sepertinya aku yang akan pulang duluan!” kekehnya pelan yang hanya disambut gelengan kepala dari Hyunjin. Dia menatap heran pada kakak beradik yang terlihat sedikit kocak menurutnya. Sesaat kemudian dia menunduk. Dia sadar dia sudah sendirian di ruangan besar ini, melupakan rencananya yang berniat pulang sore ini setelah berlatih sangat keras.

“SMA Matata…,” lirihnya. Meringis sedih memandang lantai yang dia pijak. Tangannya mengepal kuat seakan menopang beban yang menumpuk di dadanya sendiri.

“Aku… tidak akan kalah!” Dia menurunkan tasnya kembali, merogoh sepatunya dan peralatan lainnya. Memilih untuk berlatih kembali tanpa Jisung.


***

StrongerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang