eleven : ending

293 43 19
                                    

"Apa menurutmu mereka hebat?" Minho melirik Chan yang masih tidak mengucapkan satu patah kata pun semenjak keluar dari lapangan.

"Tentu..."

"Apa yang membuatmu yakin?"

"Karna dulu aku tidak sehebat ini." Minho tersenyum tipis mendengarnya, menghela nafas sebentar dan menepuk dadanya sendiri.

"Kalau begitu, aku akan berusaha lebih keras juga!" Chan menoleh sambil tersenyum sinis. Tumben sekali adik atlet nasional ini terlihat bersemangat.

"Tumben sekali..."

"Kau tahu? Saat kecil aku ingin sekali menjadi seperti Yoongi, tapi setelah aku benar-benar menjadi sepertinya, aku jadi merasa bosan."

".... "

"Tidak ada lawan yang membuatku tertarik, tapi Hyunjin... Mungkin bisa menjadi lawanku suatu hari nanti. Aku bahkan tidak bisa membayangkan permainannya, aku sangat kaget kalau ternyata dia itu sedang cidera." Chan tersenyum, sangat jarang temannya ini memuji kemampuan lawannya.

"Kurasa, jika kita tidak berlatih, kita akan terlampaui oleh mereka, Chan...."

"Begitukah?"

"Mungkin, masih ada langit di atas langit. Kau tidak akan menjadi yang terkuat selamanya kan?"

"Kau benar...Aku masih percaya bulu tangkis dapat mengisi--"

"Kekosongan di hatimu? Kau bodoh! Bukan bulu tangkisnya, tapi Hyunjin 'kan? Sejak kapan kau jadi melankolis Bang Kangguru Chan?"

"Diam kau! Berisik!" Chan mencubit hidung Minho yang hanya tertawa jahil. Tapi senyuman tipis terukir di bibir Chan. Dia pikir Minho hanya akan berakhir sepertinya. Menjadi bosan dan kosong. Tapi Minho masih punya semangat yang membara juga, sifat kompetitif yang  sadar atau tidak memang Chan perlukan di hidupnya. Sifat ingin menang darinya yang membuat permainan bulu tangkis Chan sedikit terselamatkan dari kata bosan dan monoton.

"Terus seperti ini ya, Minho." Chan mengusak pelan rambut Minho yang mengernyit tidak mengerti, "jika dipikir-pikir, kita sering taruhan skor tapi tidak pernah benar-benar bertanding sebagai lawan 'kan? Kecuali saat latihan."

"Kau mau bertanding denganku?"

"Yang kalah harus membelikan ramen. Oke?"

"Hufft!" Minho kembali mendengus saat Chan tertawa lepas. Tapi senyum Minho terukir walau hanya sedetik, saat Minho bisa melihat sorot kebahagiaan Chan setelah pertandingan yang tidak pernah dia lihat di pertandingan-pertandingan sebelumnya.






***




Hyunjin tersenyum, walau harus menahan sakit saat Jisung mengompres kakinya. Hyunjin pingsan begitu saja selesai pertandingan, membuat seluruh tim menatapnya panik.

"Skor akhir 14-21, itu lumayan. Mungkin jika kau tidak cidera kita bisa mencetak lebih banyak, " ucap Jisung sembari mengkompres kaki Hyunjin dengan air es.

"Jisung.... "


"Hmmm... ."

"Terimakasih!" Jisung terkekeh, tidak menghiraukan ucapan Hyunjin yang terdengar serius.

"Untuk apa?" tanyanya. Hyunjin hanya tersenyum, mencari kata-kata yang tepat.


"Jujur saja. Aku bohong, aku tak bisa berhenti mengaguminya. Kau juga pasti tahu kalau aku belum sembuh total tapi aku keras kepala."

"...."

"Tapi, menjadi lawan yang sepadan adalah keinginanku sekarang. Bahkan mungkin lebih besar dari rasa kagumku." Hyunjin menatap Jisung dengan senyuman tipis.

"Tolong latih aku lebih keras! Tolong berikan aku semangat lagi!" Jisung hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan tiba-tiba Hyunjin yang terkesan seperti film di mana Jisung adalah Suhu, master atau semacamnya.

"Kau tidak perlu memintanya Hyunjin.... "

"...."


"Kita ini tim. Kita akan menjadi lebih kuat untuk tournament musim panas. Karna tida--"

"Tidak perlu bersanding dengan yang kuat jika kau bisa menjadi kuat seperti mereka, benar kan?" Jisung hanya terkekeh saat Hyunjin memotong kata-katanya.

"Dan mungkin dengan menjadi lebih kuat, perasaanmu akan tersampaikan perlahan. Aku yakin dinding yang memisahkan Chan dengan orang lain karna dia terlalu kuat akan runtuh suatu hari nanti... Kau bisa mengisi kekosongan orang terkuat yang kesepian, percayalah padaku!" Hyunjin hanya menunduk mendengarnya. Tersenyum tipis menatap kaki-kakinya yang penuh memar.

"Mungkin saja..."

"Tapi sebelum itu bisa, dan bahkan sebelum itu  jadi nyata walau hanya dalam mimpimu. Kau bisa memelukku dulu untuk ucapan terimakasih." Sebuah cengiran dipamerkan Jisung disertai dengan kedua tangan yang terbuka lebar.

"Hueeee... Jisung." Hyunjin benar-benar cengeng di hadapan Jisung yang kini memeluknya, "jika bukan kau, aku pasti sudah berhenti... hiks."

Iya. Jisung tahu. Itulah kenapa Jisung hanya bisa was-was dan memperhatikan diam-diam tiap Hyunjin bertingkah aneh dan berbohong tentang cideranya. Mencoba memahami sikap batu Hyunjin walau dia akui dia kalah sikap dan memilih buta akan keadaan kaki Hyunjin, itu juga karna dia mengerti alasan emosional si keras kepala.




Jadi jangan pernah berhenti, Hyunjin. Karna bahkan jika kau lemah, ada yang masih mau bermain denganmu dengan segala kecintaanmu...

pada bulu tangkis.




"Hanya kali ini saja ya aku mengijinkanmu bertanding dengan kaki seperti itu karna alasan sentimentalmu. Mulai besok, kau harus ikut aturanku. Kau tidak boleh ke lapangan sebelum sembuh total, mengerti? "

"Oke, aku mengerti." Hyunjin membalas pelukan Jisung lebih erat,  "aku sayang padamu, Jisung."






***


Muehehehehe

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

StrongerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang