-15

62 22 6
                                    

Tepat seperti perkiraan mereka. Kuil berada di arah timur laut. Mereka akhirnya sampai di tempat terakhir misi mereka.

Tapi tentu saja tidak semudah itu. Karena, sesampainya di sebuah tugu selamat datang, mereka masih harus menaiki ratusan anak tangga untuk pergi ke kuil.

“Yena, kau ada stok makanan atau minuman tidak?” tanya Mark ke Yena.

“Yang tersisa hanya air minum...”

“Beri aku sedikit!” pinta Arin.

“Aku juga mau!” sahut Mark.

“Jangan dihabiskan, sisanya untukku.” ucap Changbin.

Yena mengangguk lalu mengeluarkan dua botol air minum yang salah satunya tinggal setengah.

“Bisa kalian bagi setengah? Aku sudah minum setengahnya, jadi ini sisa untuk Arin. Dan yang ini, untuk kalian.” Yena memberikan botol yang penuh, ke Mark dan Changbin.

Kedua laki-laki itu langsung berebut untuk mendapatkan sebotol air minum itu. Berebut siapa yang akan lebih dulu meminumnya.

“Aku dulu!”

“Tidak, aku dulu!”

“Aku dulu! Karena aku ketua!”

“Aku dulu! Ketua harus mendahulukan anggota!”

“Berisik!” bentak Arin.

Changbin dan Mark langsung diam setelahnya. Gadis itu mengambil sebotol penuh air minum itu, lalu meminumnya sampai tersisa setengah botol.

“Nah, jangan berebut,” ucapnya sambil memberikan kedua botol air yang sisa setengah itu, ke Changbin dan Mark.

“Ide bagus,” komentar Yena.

Arin tersenyum, “Terimakasih.”

Yena kembali melihat ke arah anak tangga itu. Ia menghembuskan nafasnya pasrah. Gadis itu benar-benar kelelahan berjalan menaiki tangga.

“Berapa anak tangga lagi yang harus dilewati? Aku kelelahan,” tanya Yena sambil mengeluh.

“Kita sepertinya sudah melewati seratus anak tangga,” jawab Changbin sambil melihat ke belakang.

“Dan sepertinya kita harus melewati seratus lagi, atau mungkin lebih,” sahut Arin.

“Oh ya, kenapa aku tidak menggunakan teleportasi saja?”

“Memangnya bisa dengan jarak yang jauh?”

Mark mengangguk, “Tentu saja.”

“KENAPA TIDAK DARI TADI?!” kesal Arin. Ingin rasanya gadis itu memukul kepala Mark dengan busur panahnya.

“Mark bodoh,” sahut Changbin.

“Lalu kau apa? Pendek?”

“Apa kau bilang?!”

Arin mengusap wajahnya frustasi, “Mulai lagi sudah.”

“Ya sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi.” Yena menghentikan perdebatan mereka.

Mark mengangguk kemudian men-fokuskan dirinya untuk berteleportasi dengan yang lainnya juga.

Lalu,

Zlap!

“Yay, sudah sampai!” seru Mark senang.

Plak!

“Lebih bagus lagi jika kau melakukannya dari tadi,” ucap Arin setelah memukul kepala Mark.

“Nenek sihir kejam,” ejek Mark.

“Ninik sihir kijim,” cibir Changbin.

Yah, setidaknya Yena bersyukur karena mereka tidak saling membunuh satu sama lain.

Sebuah kuil berada di depan mereka. Kuil yang berdiri dengan kayu-kayu usang yang terlihat bisa rubuh kapanpun. Mereka jadi agak khawatir untuk masuk kesana.

“Jadi, dimana?” tanya Yena sambil melihat sekitarnya.

“Hah? Apanya?” Mark malah kebingungan.

Arin menghembuskan nafasnya pasrah, “Sepertinya kau menjadi bodoh setelah melawan kambing besar itu.”

“Haha, bercanda. Tidak ada apapun disini.”

“Jangan berfikir terlalu cepat...,” ucap Yena mengingatkan.

Hujan tiba-tiba datang saat itu juga. Hujan yang cukup deras hingga membuat keempat odesch itu dengan spontan memayungi kepala mereka dengan telapak tangan.

“Hujan! Kita perlu berteduh!” seru Arin yang dijawab anggukan oleh yang lain.

“Ayo berteduh di kuil itu!” ajak Yena.

Changbin menggeleng, “Kuilnya seperti mau roboh.”

“Aku setuju dengan Changbin,” sahut Mark.

“Lalu bagaimana lagi? Kita tidak ada pilihan,” ucap Arin yang berakhir dibalas anggukan oleh yang lain.

Baru saja mereka berlari menuju ke arah kuil, tiba-tiba sebuah kaki sebuah kaki berjalan ke arah mereka. Ah tidak, kaki itu berhenti melangkah saat berada tepat di depan pintu kuil seakan menghalangi mereka untuk masuk.

Seekor rubah putih yang sangat anggun dan juga sangat besar. Yena jadi teringat akan kata-kata Hyewon waktu itu,

“Besar, berbulu, putih, bersih. Tapi mahkluk itu mematikan saat menyerang. Kalian mencoba membunuhnya tapi kalian berpencar dan,”

“Kalian mati.”

Yena menggelengkan kepalanya cepat. Ia yakin bisa mengubah takdir yang dilihat oleh Hyewon.

“Hanya ada satu cara,” ucapnya.

“Ubah takdirnya.”

“Ubah takdirnya, tolong ubah takdirnya jika kau ingin selamat.”

Lagi-lagi, Yena menggeleng. Gadis itu melihat ke arah teman-teman, lalu tersenyum.

“Aku tidak akan mengubahnya sendirian.”

~~~

[✓] 3 MISSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang