02. Kuburan

8 5 3
                                    

Ayara terduduk di atas tanah cokelat. Matanya menyorot hampa menatap kosong gundukan tanah yang ada di hadapannya. Tangan Ayara terulur dan mengusap bunga-bunga yang bertaburan di atas gundukan itu.

Dengan pelan Ayara membetulkan duduknya dan mulai merebahkan kepalanya di atas gundukan tanah itu sebagai alas kepalanya dan perasaan kosong itu mulai menggerogoti hati Ayara dan hal itu begitu menyiksanya.

Kuburan sudah sepi karena semua pelayat yang mengantarkan Ayah Ayara ke tempat peristirahatan terakhirnya sudah pulang, kecuali Deka yang menunggunya di parkiran dan sepinya kuburan seolah menjadi gambaran bagaimana kehidupan Ayara ke depannya tanpa keluarganya dan hal itu semakin membuat harapan Ayara pupus akan sebuah masa depan yang indah.

Awan yang terang kini berubah abu-abu karena akan turun hujan, tapi Ayara masih enggan untuk meninggalkan makam Ayahnya. Di parkiran sana, Deka mulai cemas dan memutuskan untuk menghampiri Ayara.

Dari kejauhan Deka melihat tubuh Ayara yang berada di atas tanah dan hal itu membuat Deka cemas, takut-takut Ayara jatuh pingsan karena tidak makan sejak mengetahui Ayahnya kecelakaan dan saat sudah berada di dekat Ayara, Deka langsung mengecek apakah Ayara pingsan atau tidak dan yang didapatkan Deka adalah tatapan kosong Ayara.

Deka menyentuh pundak Ayara dengan lembut lantas memanggil, “Ay.”

Ayara berkedip dengan pelan dan perlahan kesadarannya kembali. Ayara memandang wajah Deka lantas membangunkan badannya. Ayara mengusap wajahnya lantas berucap, “maaf, gue sedikit melamun.”

“Bukan masalah dan ayo, kita pulang.”

Ayara termenung mendengar kata 'pulang’ yang Deka ucapkan lantas menolehkan kepalanya untuk memandang ke sekitar dan selanjutnya Ayara memerhatikan nisan-nisan yang ada di samping kanan-kiri makam Ayahnya.

“Gue harus pulang ke mana?” tanya Ayara dengan bingung kepada Deka dan Deka, pun, jelas ikut bingung juga dengan pertanyaan Ayara.

“Ke rumah, Ay.”

“Rumah?” entah kenapa Ayara merasa asing dengan kata itu, seolah itu bukanlah tempat yang Ayara butuhkan lagi di dunia ini, sebab semua yang dulu tinggal satu atap dengannya sudah kembali ke tempat mereka berasal; tanah.

“Iya, rumah. Rumah lo yang ada di seberang rumah gue.”

Ayara tersenyum dan memandang wajah Deka dengan senyum hampanya. “Kenapa gue harus pulang di saat orang tua dan adik gue ada di sini?”

“Ay.”

“Enggak, Dek. Rumah kosong, di sana nggak ada satupun orang yang bisa gue ajak bicara ataupun bercanda,” ucap Ayara dan perlahan air mata luruh kembali dari pelupuk matanya.

Rasa sepi itu kembali merasuk ke dalam diri Ayara dan perasaan kehilangan itu menghancurkan Ayara. Ia masih kecil, tapi harus hidup sendirian dan berjuang untuk bertahan sendirian di dunia yang begitu kejam ini.

“Ay, hei.” Deka menangkup kedua pipi Ayara dan mengusap air mata yang jatuh ke pipinya. “Lo nggak sendirian, lo punya gue dan gue bakalan terus ada kapanpun lo butuh gue.”

Ayara menggeleng seolah belum cukup untuknya mengeluh. “Itu beda, Dek, beda. Lo sahabat gue sedangkan mereka yang sudah pergi itu keluarga gue.” Air mata yang jatuh semakin deras. “Orang tua gue,” ucapnya lirih.

Deka duduk di depan Ayara dan beralih menggenggam tangan Ayara. Melalui tangannya Deka menghantarkan kehangatan untuk tangan Ayara yang dingin dan di punggung tangan itu Deka memberikan usapan lembut untuk sedikit menenangkan Ayara.

“Ay, nggak peduli gue itu sahabat atau siapa lo, yang terpenting gue ada di sini buat ngejagain lo sesuai janji gue sama Om Bram.”

Ayara hanya menangis dan perlahan rintik hujan mulai turun, membasahi bumi dan seisinya dengan perlahan.

Dalam tangisnya Ayara memutar kembali kenangan saat keluarganya masih utuh, saat ja bercanda dengan adiknya, saat ia membantu Bunda memasak di dapur dan saat ia mengantarkan kopi untuk Ayahnya yang baru saja pulang bekerja. Kenangan itu, kenangan hangat itu ingin Ayara ulang kembali bersama keluarganya dan satu ide yang entah datang darimana tiba-tiba muncul di dalam kepala Ayara.

Dengan mata memerahnya Ayara tersenyum kepada Deka dan dengan riang Ayara berkata, “gue punya ide yang bener-bener bagus banget, Dek.”

Deka terkejut karena perubahan emosi Ayara yang tiba-tiba, tapi sebagai sahabat yang baik Deka mencoba untuk membalas perkataan Ayara dengan riang juga.

“Ide? Ide apa?” tanya Deka dengan penasaran.

Ayara tersenyum gembira dan sangking gembiranya Ayara sampai mengayunkan tangannya yang digenggam tangan Deka. “Gue harus meninggal juga sup-“

“Enggak,” respon Deka secara tiba-tiba tanpa menunggu Ayara selesai mengucapkan kalimatnya.

“Kenapa?”

Deka melotot tidak percaya, Ayara bertanya kenapa?

“Kenapa? Jelas nggak bisa kaya gitu, Ay.”

“Ya, kenapa nggak bisa?” tanya Ayara penuh desakan.

Deka melepaskan genggaman tangannya terhadap tangan Ayara dan mengusap rambut lurusnya yang mulai basah karena rintik hujan.

“Jelas nggak bisa karena lo masih hidup,” jawab Deka dengan frustasi.

Ekspresi semangat Ayara perlahan menghilang dan ia terdiam, merenungkan perkataan Deka yang benar adanya, tapi lagi-lagi hal gila melintas di otaknya dan hal itu membuat Ayara kembali tersenyum cerah dan Deka yang melihatnya hanya bisa bergidik ngeri sekaligus takut dengan hal apa yang akan Ayara lontarkan.

“Kalau begitu-“

“Enggak, Ay.”

Ayara menaruh telunjuknya di depan bibir Deka untuk meminta lelaki itu diam dan berhenti memotong kalimatnya.

“Lo belum tau apa yang ada dalam pikiran gue.”

Deka menjauhkan bibirnya dari telunjuk Ayara dan berkata, “gue tau hal gila apa yang ada dalam otak lo itu.”

Ayara menggeleng dan secara tiba-tiba ia berdiri dan berlari menjauh dari Deka.

“AY, KEMANA?” teriak Deka sembari ikut berlari mengejar Deka.

Gila, pikir Deka. Ia harus berteriak dan berlarian di tengah kuburan hanya untuk seorang gadis dengan pikiran yang susah ditebak.

Ayara menoleh ke belakang dan ikut berteriak, “NYARI SESUATU YANG BISA BIKIN GUE MENINGGAL.”

Deka melotot dan mempercepat larinya untuk menghentikan ide gila Ayara. Saat sudah berada di dekat Ayara, Deka langsung menarik tangan Ayara sampai badan Ayara membentur badan besarnya.

“Jangan gila, Ay.”

Ayara membalik badannya dan memandang Deka. “Ini emang ide gila, tapi cuman ini satu-satunya cara supaya gue bisa bareng sama keluarga gue!” Ayara menarik-narik tangannya sebagai isyarat untuk Deka melepaskan cengkraman pada lengannya.

Deka mengeratkan cengkeramannya di lengan Ayara dan berucap dengan wajah seriusnya, “gue nggak akan ngelepasin lo dan lebih baik lo ikut gue pulang sekarang.”

Deka menarik Ayara dengan paksa dan Ayara menarik tubuhnya Agara tidak mudah tertarik oleh Deka.

“Lepasin gue, DEKA!” teriak Ayara dan saat itulah hujan mulai turun deras mengguyur mereka berdua.

Deka berdecak kesal, ia tidak segila itu untuk bertengkar di tengah kuburan, tapi Ayara memaksanya untuk adu mulut dengan gadis itu.

“Enggak, Ay,” ucap Deka setelah fokusnya kembali kepada Ayara.

“Ini satu-satunya cara supaya gue bisa bareng sama keluarga gue lagi, Dek.” Ayara kembali menangis tapi tetesan air matanya tidak terlihat jelas karena tercampur oleh tetesan air hujan yang mengenai wajahnya.

Deka menatap Ayara. “Enggak dengan cara bunuh diri, Ay.”

“Terus gue harus gimana?” tanya Ayara dengan putus asa dan saking putus asanya, Ayara sampai terduduk lemas dan tangan yang tadi di cengkeram oleh Deka kini sudah terlepas.

“Terus gue harus gimana? Gue udah nggak punya siapa-siapa lagi dan udah nggak ada lagi yang sayang sama gue, Dek.”

Deka mengusap wajahnya dan berjongkok di depan Ayara. Deka mengusap rambut Ayara yang menutupi wajah gadis itu. “Ada, Ay. Ada yang masih sayang sama lo.”

Ayara mengangkat kepalanya dan memandang wajah Deka. “Siapa?” tanyanya penasaran.

“Gue, gue sayang sama lo,” Deka berucap dengan mata yang menyorot hangat dan entah kenapa hal itu membuat Ayara mengartikan kalimat Deka dengan sesuatu yang lain, yang lebih dari seharusnya.

Ayara menggelengkan kepalanya dan menunduk dengan tangan yang memegang dahinya. “Rasa sayang lo itu hanya sebatas sahabat, Dek, sedangkan yang gue perlukan lebih dari itu.”

Deka menunduk. “Bukan dan maaf.”

Ayara mengangkat kepalanya, kali ini Deka yang membuatnya terkejut secara tiba-tiba.

“Bukan? Maaf? Untuk apa?” tanyanya heran.

Deka menatap Ayara dengan tatapan yang sulit Ayara artikan, tapi Ayara berharap apapun yang keluar dari mulut Deka bukanlah hal yang akan membuatnya kecewa.

“Maaf karena gue ngelanggar janji kita waktu kecil untuk saling bersahabat tanpa menaruh perasaan apapun dan bukan karena sayang gue ke lo itu bukan sekedar sahabat, tapi sayang dari cowok ke cewek.” DekaDeka tersenyum hampa di akhir kalimatnya karena ia tahu respon seperti apa yang akan Ayara berikan atas pernyataannya yang secara tiba-tiba ini.

Ayara tekejut dan saking terkejutnya Ayara sampai berdiri dan Deka, pun, juga ikut berdiri.

“Dek, lo, lo gila, lo bener-bener gila, dan, dan kenapa sekarang? Di saat gue lagi-“ Ayara tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena saking terkejutnya dan entah kenapa rasa percayanya terhadap Deka perlahan memudar karena Deka sudah mengingkari janji yang mereka buat dulu.

“Ay,” Deka berusaha mendekat untuk menggenggam tangan Ayara, tapi Ayara malah melangkah mundur.

Stop disitu,” ucap Ayara menginterupsi.

“Oke.” Deka memandang wajah Ayara lantas beralih menatap tangannya yang perlahan megerut karena kedinginan dan beralih kembali menatap Ayara. “Gue tau ini bukan waktu yang tepat untuk gue bilang kaya gitu, tapi tujuan gue bilang itu bukan untuk nyatain perasaan gue.”

“Lantas apa?” tanya Ayara yang perlahan mulai percaya kembali dengan Deka.

“Gue bilang kaya gitu untuk menyadarkan lo, kalau gue ada di sini buat tempat lo bersandar dan ngebagi kisah lo sama gue. Kapanpun lo perlu gue, gue akan selalu ada buat lo, kenapa? Karena gue sayang sama lo, enggak peduli itu rasa sayang antara sahabat atau antara cowok-cewek, yang pasti gue sayang sama lo dan bakalan ngelindungin lo, Ay.”

Ayara dibuat terdiam karena kata-kata Deka. “Lo nggak kehilangan semua orang yang sayang sama lo karena gue masih ada di sini, Ay, buat jagain lo, buat ngehibur lo, buat ngelindungin lo, jadi tempat lo bersandar dan berkeluh kesah.”

“Deka.” Ayara kembali meneteskan air mata karena perkataan Deka yang membuatnya sadar kalau hal yang ingin dilakukannya tadi adalah hal yang begitu gila.

“Karena itu, jangan bunuh diri dan bikin gue ngerasain rasanya kehilangan orang yang gue sayang, Ay, karena lo tau bukan seberapa nggak enaknya kehilangan orang yang disayang?”

“Iya gue tau dan itu nggak enak,” jawab Ayara dengan tangisan yang pecah.

“Karena itu jangan bunuh diri,” Deka meminta dengan wajah yang mengerut karena menangis.

Ayara menggeleng dan mendekat kepada Deka untuk memeluknya. “Enggak akan.” Ayara mengusap punggung Deka. “Gue nggak akan ninggalin lo,” ucapnya dengan yakin dan Ayara mengangkat wajahnya untuk melihat wajah Deka. “Udah, berhenti nangis,” pintanya sambil menghapus air mata di pipi Deka.

Deka tersenyum mendengar ucapan Ayara seolah-olah di sini ialah yang memerlukan pelukan seseorang untuk menenangkannya.

“Sekarang kita bisa pulang? Karena gue udah kedinginan.”

Sebelum menjawab Ayara menatap makam Ayahnya dan hal itu membuat Deka mengerti kalau Ayara masih enggan meninggalkan tempat ini.

Deka mengusap kepala Ayara dan berkata, “nanti kita akan ke sini lagi,” dan hal itu berhasil menarik perhatian Ayara.

“Serius?”

“Iya.”

Ayara tersenyum dan melepaskan pelukannya dari tubuh Deka lantas menarik tangan Deka. “Kalau begitu ayo pulang, agak seram berpelukan di tengah kuburan seperti ini.”

Deka tertawa pelan mendengar ucapan Ayara dan mereka pulang sambil berpegangan tangan dengan sekujur tubuh yang sudah basah.

“Deka.”

“Apa?”

“Kita sahabat, kan?”

“Iya, dan seterusnya akan tetap sahabat.”

Di bawah guyuran hujan dan di tengah kuburan itu, semua rasa bersalah Deka karena menyukai Ayara dan ingkar janji kini sudah menguap. Rasa ingin menyatakan perasaannya, pun, sudah terlaksana, walaupun hal itu dilakukan di tempat dan kondisi yang begitu tidak tepat, tapi tidak masalah, yang penting Ayara tahu apa yang Deka rasakan dan Ayara mau tetap bersahabat dengan Deka.

The Story of DekAyara (Projects TDWC) (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang