09. Lo Menarik Di Mata Orang Yang Tepat

5 3 6
                                    

Deka duduk dengan pandangan yang tengah menatap sinis kepada Ayara. Sikap Ayara pagi ini cukup mengesalkan juga membosankan bagi Deka, tapi setiap kali di tanya, “Ay, lo kenapa?”

“Gue nggak kenapa-kenapa.” Jawabannya selalu begitu, tapi ekspresinya lesu minta ampun, seperti anak muda yang tidak dikasih uang jajan.

“Lo nggak dapet uang jajan, ya, dari Ayah lo?” tanya Deka.

Ayara mengangkat wajahnya dari lipatan tangan yang berada di atas meja dan melirik Deka dengan lemas. “Ayah nggak semiskin itu, sampai-sampai nggak bisa ngasih gue uang jajan,” balasnya dengan lesu lalu kembali menelungkupkan wajahnya.

Deka kesal. Mau Ayara bagaimana, sih? Ditanya, jawabannya malah nggak jelas, tapi kalau nggak ditanya, nanti Deka malah dianggap sahabat yang nggak peduli, kan, jadinya serba salah.

Deka mengusap rambutnya gusar. Ia mengedarkan pandangannya menatap seisi kelas lalu kembali menatap Ayara.

“Ay,” panggilnya, tapi Ayara tidak menggubris panggilan Deka sama sekali. “Ay,” panggil Deka lagi dan kali ini ditambah dengan colekan di lengan Ayara, tapi Ayara masih tidak menghiraukan Deka dan batas kesabaran Deka sudah benar-benar habis. “AY!” panggil Deka dengan kencang dan diiringi dengan jitakkan kuat di kepala Ayara.

Ayara mengangkat kepalanya dengan mata yang melotot menatap Deka. “APASIH BANGSAT!?” tanya Ayara dengan berteriak.

Seisi kelas memerhatikan Deka dan Ayara dan menjadikan pertengkaran mereka sebuah tontonan yang terkadang seru juga menggemaskan, sedangkan Riska dan Zanu yang cukup kenal dengan mereka berdua hanya bisa menghela nafas dan bergumam, “sudah biasa.”

“YA, ELO, DIPANGGIL-PANGGIL, TAPI MALAH NGGAK NGEJAWAB!” balas Deka juga ikut berteriak, bahkan Deka sampai berdiri saking kesalnya.

Ayara berdiri, menghela nafas dan menyugar rambutnya. Ia lagi galau, tapi Deka malah memancing emosinya.

“Lo gila, ya, Dek, bener-bener gila,” ucap Ayara dan berlalu pergi.

Deka menatap Ayara yang sudah melangkah menjauh dan bertanya, “lo mau kemana?”

Ayara berbalik dan menatap Deka. “Terserah gue mau kemana,” ucapnya dan kembali melangkah, tapi baru dua langkah Ayara langsung kembali berbalik dan menatap Deka yang hendak berjalan. “Lo nggak usah ngikutin gue, ya,” ucap Ayara dengan penuh peringatan.

Deka mengernyit. “Siapa juga yang mau ngikutin lo? Orang gue mau duduk ke kursi gue,” sahut Deka dan benar saja, Deka duduk ke kursinya dan hal itu membuat Ayara dongkol.

Ayara menunjuk Deka dari jauh dan berucap dengan penuh penekanan, “lo nggak berguna.”

“Heh, lo berkaca, terus lo lihat seberapa bergunanya diri lo,” balas Deka dan hal itu semakin membuat Ayara dongkol.

Ayara berpaling dan langsung melangkah keluar kelas dengan perasaan marah, tapi baru sampai depan kelas Ayara langsung kembali memasuki kelas karena rasa galaunya kembali muncul karena melihat dua orang yang tengah duduk berdua dan berbincang tepat di kursi di depan kelasnya.

Deka menatap Ayara yang kembali memasuki kelas sampai Ayara berdiri di sampingnya.

“Kenapa balik lagi?” tanya Deka.

“Ada guru di depan,” jawab Ayara dengan wajah yang di tekuk.

Deka menatap Ayara dengan sinis. “Heh, gue tau kalau pelajaran biologi lagi jam kosong.”

“Yaudah, sih. Udah, ah, awas, gue mau lewat!” pinta Ayara dengan kening yang mengerut kesal, tapi wajahnya tetap ditekuk.

Deka berdiri dan memberi jalan untuk Ayara duduk ke kursinya. Begitulah resiko kalau duduk di tempat yang dekat dengan tembok. Deka kembali duduk ke kursinya dan menatap Ayara yang lagi-lagi menutup wajahnya di atas lipatan tangan yang ada di atas meja.

“Lagi?” gumam Deka jengkel karena melihat tingkah Ayara.

Deka menoel kepala Ayara. “Ay,” panggilnya, tapi tidak ada sahutan dan Deka kembali menoel kepala Ayara, tapi kali ini dengan lebih kencang. “Ay,” panggilnya lagi, tapi tetap tidak ada sahutan.

Deka menatap Ayara dengan seksama. “Apa tidur, ya?” gumamnya bertanya kepada dirinya sendiri.

Daripada penasaran, Deka lebih memilih untuk mendekat dan mencari jawabannya sendiri. Deka menjauh dari Ayara dengan mata melotot. “Apa gue salah dengar, ya?” Dan kembali mendekat untuk meyakinkan dirinya tentang apa yang ia dengar dan benar saja, Ayara menangis dan hal itu terbukti dari tarikan hingus yang Ayara lakukan.

“Ay, heh.” Deka menarik lengan Ayara agar mau mengangkat kepalanya, tapi Ayara malah menahannya.

“Lo nangis, ya?” tanya Deka dengan gelisah. “Nangis kenapa? Coba cerita sama gue, biar gue tau masalahnya apa,” pinta Deka dengan masih berusaha menarik tangan Ayara.

Deka menghela nafas. Ayara terlalu kuat untuk menahan tarikannya dan Deka menatap kepala Ayara lalu mengangguk. Deka merenggangkan tangannya agar bisa bekerja dengan maksimal dan langsung mencengkeram kepala Ayara dan menariknya. Deka menatap wajah Ayara dan berucap, “tuh, kan, nangis.”

Ayara memalingkan mukanya dengan kepala yang terasa pening karena tindakan Deka, tapi ia tidak peduli dengan rasa sakit yang ada di kepalanya, yang ia pedulikan sekarang ialah rasa sakit di hatinya, sakit banget, sampai-sampai menangis saja tidak cukup untuk Ayara.

Deka duduk di atas meja Ayara dan menyingkirkan rambut Ayara yang menutupi sebagian wajahnya. “Lo kenapa, sih, Ay?” tanya Deka dengan penuh kepedulian.

“Gue nggak kenapa-kenapa,” jawab Ayara dengan suara serak dan lemas.

Sekarang kepedulian Deka menguap dan tergantikan rasa dongkol. “Heh.” Deka menepuk dagu Ayara dengan pelan dan hal membuat Ayara menatap Deka dengan sedikit kekesalan yang terlihat di wajahnya. “Jangan, sok, bilang nggak kenapa-kenapa lo sama gue. Gedek..... banget gue dengernya, tau nggak!? Coba cerita, apa susahnya, sih, cerita sama gue!?” tanya Deka dengan jengkel.

Ayara menghapus jejak air mata di pipinya. “Susah, tau nggak.”

“Susah kenapa?”

“Lo itu nggak peka Deka, jadi susah,” keluh Ayara dengan mata yang menatap keluar jendela.

Deka menarik nafasnya untuk meredakan kekesalannya. Padahal ngobrol aja, loh, sama Ayara, tapi kenapa sampai se-menyebalkan ini. “Gini, ya, Ay. Gue itu bukan orang yang bisa baca pikiran lo, jadi tolong, deh, jangan langsung nge-judge gue, bilang kalau gue nggak peka. Lo lihat, deh, orang-orang di luaran sana yang bisa ngasih nasihat ke orang lain. Mereka bisa ngasih nasihat karena mereka tau masalahnya itu apa, tapi kalau nggak tau, ya, nggak bakalan mereka bisa ngasih nasihat. Jadi, please, cerita dulu sama gue, jangan langsung ngambil kesimpulan kalau gue itu NGGAK PEKA!” ucap Deka dengan panjang lebar dan di akhir kalimatnya ia beri penekanan dengan mata yang melotot agar Ayara paham kalau ia kesal dibilang tidak peka terus.

Ayara berdecak dan menatap Deka. “Ka Alif,” ucapnya sudah mau mulai bercerita.

Deka menepuk kepala Ayara. “Lo ngomong apasih!?” tanyanya dengan kesal, sebab Ayara berbicara dengan begitu pelan.

Ayara menatap Deka dengan kekesalan. “Makanya ngedeket, sini.”

Deka menundukkan badannya dan mendengarkan cerita Ayara dengan seksama.

“Ka Alif, deket sama Ayu,” jelas Ayara dengan lesu.

Deka mengernyit. “Ayu mana?” tanyanya.

“Anak sebelah,” jawab Ayara sembari menunjuk kelas yang berada di belakang kelasnya, yang hanya terpisah oleh tembok.

“Oh, terus, urusannya sama lo apa?” tanya Deka karena masih belum menemukan alasan Ayara harus menangis.

Ayara berdecak dan menatap Deka dengan mata sipitnya yang ia buat menyipit lagi. “Kan, lo tau kalau gue suka sama Ka Alif!”

Deka terdiam lantas mengangguk. “Oh, iya. Terus?” tanya Deka kembali karena belum menemukan feel yang membuat ia juga ikut merasakan apa yang Ayara rasakan.

“Nggak ada terusannya, Deka!” sahut Ayara dengan kesal.

Deka menjauh dengan wajah yang mengkerut karena cerita Ayara yang sangat menggantung. “Kok, nggak ada? Kalau gitu kenapa lo nangis?”

“Ya ampun, Deka. Lo masih belum paham juga?”

Deka mengangguk dengan polosnya. “Iya.”

Ayara mendesah, susah, ya, kalau punya teman yang pintarnya di pelajaran aja, gumam Ayara dalam hati.

“Gini, Dek.” Ayara mulai kembali bercerita dan Deka kembali mendekat. “Gue, kan, suka sama Ka Alif.”

“Hmm.”

“Nah, Ka Alif malah deket sama Ayu. Jadi, wajar dong kalau gue sedih.”

Deka menjauh. “Enggak, kan, cuma deket bukan jadian.”

Ayara terdiam. “Iya, sih,” ucap Ayara membenarkan apa yang Deka ucapkan lalu tersadar kalau bukan hal ini yang ia mau. “Eh, tapi, tetap aja gue patut sedih.”

Deka mengernyit. “Kenapa?”

“Kan, Ka Alif deketnya sama Ayu, yang secara, dia itu cantik, ketua paskib, terus pinter lagi, ya, gue insecure, lah.”

“Kenapa lo insecure?”

“Ya, karena hal-hal yang gue sebutin tadi. Gue enggak sepintar Ayu, gue nggak secantik Ayu, dan gue juga enggak sedipercaya itu untuk memimpin sebuah ekskul, dan Ka Alif juga dipercaya buat mimpin organisasi OSIS. Secara nggak langsung mereka cocok, karena sama-sama ketua, sedangkan gue? Cuma remahan kentang yang bisanya ngebebanin seorang Deka.”

“Jadi karena itu lo sedih sekaligus insecure?”

Ayara mengangguk dengan wajah yang sedih. “Iya.”

Deka sedikit mendekat kepada Ayara. “Gini, ya, Ay, lo emang nggak sepintar Ayu, tapi bukan berarti lo kalah dari dia.”

Ayara menatap Deka dengan heran. “Maksud lo?”

“Ay, lo boleh bodoh dan Ayu pinter, tapi lo sama Ayu sama-sama cantik. Misal, nih, Ayu cantik karena hidungnya mancung, dan lo juga cantik, tapi bukan karena hidung lo, tapi karena mata sipit lo. Ayu cantik karena body-nya bagus, ya, lo cantik karena tangan lo lentik, sederhana aja, kan? Jadi, berhenti, deh, ngebanding-bandingin diri lo sama dia, karena apa? Kalau lo ngebandingin sendiri, maka lo nggak akan ketemu titik yang menonjol dalam diri lo, padahal kalau seandainya lo mau teriak di tengah lapangan dan tanya sama semua siswa di sini, ‘apa di sini ada yang suka sama gue?’ Gue yakin, ada banyak orang yang nyamperin lo dan bilang kalau mereka suka sama lo.

“Tapi pasti lo bakalan berpikir, 'kenapa, ya, mereka suka sama gue, sedangkan di sekolah ini ada cewek yang secantik dan sesempurna Ayu?’ dan lo coba tanya sama mereka 'kenapa lo semua sukanya sama gue, bukan sama Ayu?’ maka di situ lo bakalan dapat titik yang begitu menonjol dan menarik dalam diri yang berhasil bikin cowok jatuh hati sama lo. Jadi, berhenti nilai diri lo sendiri dan ngebandingin diri lo sendiri sama orang lain, karena lo akan terlihat menarik di mata orang yang tepat,” jelas Deka dengan panjang-lebar. "Dan satu lagi, berhenti nangis cuman karena lo ngeliat Ka Alif sama Ayu deket sebelum lo dapat kabar kalau mereka jadian, paham?"

Ayara menatap Deka dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa lo?” tanya Deka.

Bukannya menjawab, Ayara malah merentangkan tangannya. “Sini, peluk gue,” pintanya dengan mata yang berair.

“Dih.” Deka berdiri dan menjauh dari Ayara. “Gila lo!”

Ayara menghampiri Deka dan mengikutinya. “Peluk gue, Dek.”

Deka menatap Ayara dengan wajah yang memerah. “Berhenti nggak lo di situ!” ucap Deka dengan penuh penekanan, tapi Ayara malah melangkah maju dan hal itu membuat Deka melangkah mundur.

“Peluk gue,” pinta Ayara lagi.

“Kalau lo nggak berhenti, lo gue laporin sama guru.” Ayara tetap mendekat dan hal itu membuat Deka dengan refleks mengumpat dengan kencang, “ANJING!”

Ayara berhenti dan menutup mulutnya dengan refleks dengan wajah yang dibuat terkejut. “Lo ngatain guru ‘anjing’, Dek?” tanya Ayara dengan tidak percaya. Ayara menatap teman-teman sekelasnya yang juga tengah menatapnya dan Deka. “Kalian juga dengarkan kalau Deka ngatain guru 'anjing'?” tanya Ayara kepada teman-teman sekelasnya, tapi tidak ada yang menjawab sama sekali, mereka hanya menjadi penonton yang enggan untuk ikut berdebat.

Deka melotot tidak percaya dengan asumsi Ayara. “Enggak, tuh, gue ngatain lo anjing, ya, bukan guru!” kesal Deka.

Ayara mengibaskan tangannya. “Halah alasan,” ucapnya dengan ekspresi mengejek.

Deka menunjuk Ayara dari jauh. “Lo nggak denger, ya, kalau gue ngasih jeda antara guru sama anjing?”

“Apa? Nggak ada, tuh,” ucap Ayara yang semakin memancing emosi Deka.

“Lo bener-bener, ya.” Deka melangkah mendekati Ayara, tapi Ayara malah berlari menjauh dengan tawa yang menghiasi wajahnya.

Berkat Deka, Ayara menjadi kembali ceria dan sesekali menyebalkan. Berkat Deka juga, rasa percaya diri Ayara kembali tumbuh dan rasa insecure menghilang. Deka memang yang paling tahu cara untuk membuat Ayara kesal, sedih, kembali percaya diri dan kembali bersemangat.

Di tengah aksi lari-lariannya dengan Deka, Ayara berkata dalam hati, “by insecure dan welcome rasa percaya diri gue!” Lalu Ayara kembali fokus untuk menghindari penindasan Deka yang kesal setengah mati kepadanya.

The Story of DekAyara (Projects TDWC) (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang