Prolog

134 20 76
                                    

Dunia seakan berhenti berputar. Seolah, setiap detik waktu yang berjalan semua tetap sama. Tak ada perubahan baik atau malah lebih buruk. Semua terasa sama. Selalu penuh dengan kepahitan yang wajib ditelan seorang remaja berusia tujuh belas tahun--Ervin Pastika Ganendra.

Dunia tempatnya berpijak saat ini seolah tak sama dengan apa yang ia pijak dulu. Saat ini hanya ada sakit juga sunyi yang tak pernah berkesudahan darinya.

Ervin sendiri merupakan putra tunggal dari seorang janda yang hidup serba pas-pasan. Karena keadaan itulah yang membuatnya selalu menjadi bahan Bulian di sekolahnya. Terlebih ia berbeda dari teman-temannya.

"Ervin!"

"Erviiiiiin!!!!"

"Ya Ampun, Erviiin!"

"Dasar bodoh! Kau tak akan bisa memanggilnya jika tidak dari depannya," rutuk Elvano--sahabat Ervin, pada dirinya sendiri.

"Ya, Tuhan. Berapa kali aku harus buang-buang tenaga karena aku lupa bahwa dia tidak bisa mendengar?" Tidak bisa mendengar? Ya, Ervin adalah remaja tunarungu yang berparas rupawan. Namun, apalah daya setiap gadis tentu akan berpikir dua kali untuk mendekati Ervin.

"Lu nunggu siapa?"

"Nunggu lu. Nunggu siapa lagi?" Ervin tampak menjawab dengan cepat pertanyaan Elvano. Dia memang tidak dapat mendengar apa yang diucapkan Elvano. Namun, dirinya menguasai semua gerak bibir lawan bicaranya. Hal itulah yang telah diajarkan oleh Eliza--Ibundanya. 

"Ya udah ayo, keburu telat."

Tanpa bergeming, Ervin mulai berpijak pada besi penyangga di dekat ban sepeda. Karena, sepeda milik Elvano tidak memiliki boncengan sebagaimana sepeda gunung pada umumnya.

Bukan tak mampu. Namun, Elvano lebih suka menikmati perjalanan ke sekolahnya bersama dengan sahabatnya itu. Elvano memang selalu ada untuk Ervin. Mereka memang sudah bersahabat sebelum semua kejadian pilu menimpa Ervin.

"Van, Lu kenapa, sih bawa-bawa ginian?" 

"Duh, apaan, sih, Vin?" Elvano yang mendengar suara berisik dari peraduan tangan Ervin dan gitarnya, lantas perotes. Namun, semua tampak sia-sia. Karena, sudah jelas Ervin tidak mendengarnya.

Keduanya menikmati pemandangan yang syahdu di kota delman--Yogyakarta. Yah, dua sejoli itu tinggal di sebuah kota dengan adat Jawa yang masih kental. Jalanan yang bersih, diwarnai lalu lalang delman bersama kuda-kuda gagah menambah nuansa nyaman untuk mereka.

Tiiiiinnnn!!!!

"Woy! bisa hati-hati enggak, sih!" teriak Elvano kesal yang tiba-tiba turun dari sepedanya hingga Ervin nyaris terjatuh.

"Ada apa, sih Van?" Ervin yang tak tau apa-apa lantas hampir membuat Elvano geram.

"Itu tuh, Si Leo! Dia itu bisa enggak, sih, enggak usah ganggu, barang sehari aja?!"

"Udah, udah, sabar. dia orang kaya bebas, Van," cegat Ervin yang mengetahui penyebab amarah Elvano dari raut wajah dan gerak bibirnya.

"Ya enggak gitu juga kali!" Tak juga bisa reda gejolak darah muda Elvano. Namun, apa boleh buat? Semakin lama ia termakan amarahnya, maka ia juga akan semakin lama sampai di sekolah.

"Huh! Coba aja manusia satu ini enggak cari gara-gara dengan cara mencintai pacar Leo. Pasti semua ini enggak bakalan terjadi!" umpat Elvano sembari terus mengayuh sepedanya.

"Eh, jagoannya sudah datang," sahut Leo menyambut Ervin dan Elvano yang baru saja memasuki gerbang sekolah SMA KARTIKA JAYA. Sebuah sekoah elit tempat para siswa kaya dan berprestasi di kota itu. Yah, mungkin, hanya Ervin yang tak memiliki tunjangan finansial baik. Namun, dalam akademik, ia cukup mumpuni. Walaupun dengan kekurangannya yang terkadang membuat surut semangatnya.

"Eh, tuli! Woy! Tuli!" 

"Eh, enggak usah cari gara-gara duluan dengan sebutan tak pantas itu berulang!" Elvano angkat bicara sembari mendorong tubuh Leo. Hingga pemuda itu tersudut di tembok gerbang.

"Eh, lu enggak usah sok jadi jagoan! Orang emang kenyataannya sahabat kesayangan lu itu tuli kan? Ingat! dia tuli. Gua ingetin sekali lagi, Tu-li!"

Ervin yang seolah tak mengetahui apa yang mereka bicarakan hanya terdiam, seakan benar-benar tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Padahal, sejak tadi Ervin terus mengeja setiap gerak bibir orang-orang yang sedari tadi memperdebatkan prihal dirinya.

Sebenarnya, dalam hati Ervin benar-benar perih. Namun, apa boleh buat? Karena, semua yang dikatakan Leo memang benar adanya. Ia hanya seorang remaja tuli yang tak pantas memiliki seorang kekasih.

"Lalu apa karena dia tuli lu seenaknya menghina dia?"

"Masalahnya dia suka sama Zea--pacar gua!" Sekilas, Elvano terdiam. Karena, apa yang dikatakan Leo benar adanya. Ia juga benar-benar geram dengan Ervin yang masih saja nekat mengejar cinta gadis sombong itu.

"Namanya hati itu punya hak, Yo!" Hampir saja sebuah hantaman mendarat di wajah Leo. Namun, pada kenyataannya, justru Elvano yang merasa kesal karena ia terhalang oleh tangan Ervin yang mencegah dirinya menghajar Leo.

"Nah, orang enggak tau diri pake lo belain? Ha-ha-ha...." Seolah darah di dalam tubuh Elvano mendidih hebat. Hingga ia tak ingin otaknya meletus di tempat.

"Terserah!" gertak Elvano sembari melangkah pergi. Di sisi lain, Ervin tampak sedih menatap amarah sahabatnya itu. Namun, apa boleh dikata? semua memang benar. Dan mungkin, dirinya memang diciptakan untuk tidak mencintai serta tidak untuk dicintai.

***

Hallo rekan pembaca sekalian. Salam kenal dari Elvano juga Ervin, yah. Mereka kayak kembar, ya? Tapi, bukan kok. mereka cuma sahabat. Salam juga dari Authornya "Altaira" yang akan berceloteh banyak tentang mereka? Gimana? Penasaran? jangan lupa stay tune yah. 🧡 Dan jangan lupa votenya. ⭐ Terima kasih. 😘

Nada Tanpa Suara [Terbit] ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang