wanodya

2 0 0
                                    

"Perempuan dengan kecantikan alami yang berbeda dengan kecantikan perempuan kota dan menjadikannya ciri khas, Juro Megumi."

.

.

.

Esoknya aku pergi kembali ke kediaman Megumi. Tentunya mengunakan hakama, untuk menetralisir kecurigaan warga setempat. Kedatanganku disambut oleh kedua adik Juro, Tami dan Mamoru. Keduanya berinisiatif meraih tanganku, tampaknya ingin digandeng.

Pintu digeser dari dalam rumah, menampilkan sosok Juro. Tami dan Mamoru melepas tangannya masing-masing dan berlari menuju Juro. "Aku bahkan tidak memanggil kalian, Tami, Mamoru," kata Juro. "Nee, Sora silakan masuk," sambutnya. Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah Juro. Pemandangan yang sama seperti kemari. Beberapa interior rumah dipindahkan dari tempat semula, habis dibersihkan. "Ini, minum ochanya."

Tanganku mengambil cangkir keramik yang disodorkan Juro padaku. Kali ini teh hijau tanpa pemanis apapun. Rasa pahit menguar ke dalam dinding mulutku dan kerongkongan begitu aku meminum dan menelannya. Angin pagi masuk melalui jendela yang dibuka. "Aku sedang memanggil seseorang, mungkin dia tak akan lama datang kemari, kau tidak keberatan untuk menunggu?" tanyanya memastikan. "Iya, tidak keberatan kok," jawabku.

"Juro, kau tinggal dengan kedua adikmu saja?"

"Dengan Ayah juga Nenek," ucapnya.

"Ibumu?" Kali ini aku agak memelankan suaraku.

"Sudah meninggal, sudah lama sih, kapan ya.. mungkin saat umurku 10 tahun."

Pikiranku berhenti merespon sejenak. Ya ampun. "Eh, maaf aku keterlaluan! Benar-benar minta maaf!" Dengan nada panik aku mengucapkannya sambil menangkupkan kedua tangan sebagai tanda minta maaf. Dia mengibaskan tangan kirinya, "tidak apa."

Pintu rumah diketuk dengan keras. Dari gayanya mungkin yang mengetuk laki-laki, ah, laki-laki yang ada di paling pojok kiri foto itu! Dia tamunya, ya? "Masuk saja tidak dikunci." Disusul dengan tubuh perempuan yang melongok ke dalam, melihat sekitar. Perkiraan ku meleset jauh. Perempuan bersurai pirang bercampur dengan cokelat masuk dengan langkah yang lembut. "Ini Sora 'kan,ya?" tanyanya.

Aku yang merasa terpanggil mengangguk. "Aish! Jadi semakin tampan!" pekiknya yang membuatku merona tipis. Perempuan blasteran ini baru saja memujiku. "Hahaha, terimakasih banyak, ya," balasku. Dia duduk disamping Juro.

Ibu jari Juro mengarah pada perempuan itu. "Namanya Ume Satoru, kau bisa memanggilnya Ume," kata Juro sambil mengunyah jeruk yang baru saja ia kupas kulitnya. "Dia tidak kenal dengan kita?" bisik Ume, walau itu bisikan tapi tetap terdengar olehku.

"Anggap saja hilang ingatan."

Ume mengangguk. "Yang satu lagi, kemana?" tanyaku, tidak melihat keberadaan sosok laki-laki yang datang bersama Ume. "Yang mana?" Juro mengangkat dagunya sebagai respon. Kemudian hening sejenak, dan dipecahkan oleh Ume yang menepuk tangannya seolah berhasil menemukan sesuatu.

"Sano 'kan?"

Aku mengganguk, membenarkan pernyataan dari Ume. Helaan napas terdengar dari Juro, yang membuat atmosfer ruangan menjadi dingin. Ada apa? Kenapa respon mereka seperti ini? Isi otakku berpusing pada Sano. Dia kenapa?

Ume menyenggol lengan Juro, memintanya menjelaskan sesuatu. "Kita akan menghampirinya, ayo," ucap Juro. Dia berdiri untuk memimpin jalan menuju kediaman (?) Sano. Aku tak tahu jelasnya mengapa mereka menjadi diam begini.

Apa aku salah ucap lagi?

Menjahit mulutku setelah ini adalah pilihan bagus.

Kami bertiga keluar dari kediaman Megumi, berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan bambu. Suara tonggerek dan gesekan daun menjadi efek suara yang diperdengarkan selama perjalanan kami. Perjalanan berlanjut dengan menaiki ratusan anak tangga yang terbuat dari batu yang disudutnya ditumbuhi lumut hijau.

tsunagu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang